Jumat malam, aku dan Nova telah berada di Stasiun Bandung. Percaloan tiket masih marak. Pedagang kaki lima masih bisa memasuki peron kereta. Pemandangan ini tidak akan lama lagi berlangsung. Dalam beberapa tahun ke depan, PT KAI akan menertibkan semuanya melalui direktur utama mereka yang baru.
Setiba di Stasiun Yogyakarta, kami hanya perlu berjalan sekitar empat menit untuk mencapai Wake Up Homestay. Harga hotel ini hanya lima puluh ribu rupiah untuk satu malam. Aku dan Nova masing-masing mengambil satu kamar.
"Beneran, aku nggak nyangka bisa dapet penginapan kayak gini. Mana udah termasuk sarapan lagi."
"Enak kan? Lalu di tiap kota wisata juga ada yang kayak gini."
"Luar biasa."
"Ya udah kita istirahat dulu. Nanti agak siangan kita jalan sambil foto-foto ya."
"Oke, selamat istirahat."
Kami masuk ke kamar masing-masing.
Esok siangnya, Yogyakarta memberikan cuaca panas dan terik. Itu yang kami rasakan saat kami pergi ke luar. Di sekitar kami tercium aroma segar dedaunan dan harum bunga.
Matahari memijar merah, Nova mengipas-ngipaskan buku yang dibawanya. Ia langsung mengalihkan pandangannya saat kudapati dirinya sedang menatapku.
"Siang-siang begini memang panas." Kataku.
"Apa yang bisa kita tulis dari cuaca panas begini?"
"Nanti bisa kita simpulkan. Dari cuaca panas di siang harinya hingga malam. Tapi di sini, panas tidak begitu buruk. Ayo kita pergi ke daerah Kaliurang."
"Di sana nggak panas?"
"Ya, sejuk. Dan pikiran bisa lebih jernih."
"Ayo. Aku ikut kamu saja."
Satu jam kemudian kami telah berada di Kaliurang dengan menumpang Colt.
"Kita makan siang dulu." Kataku.
"Apa yang enak di sini?"
"Sudah pernah makan sate kelinci?"
"Sate kelinci? Belum. Kayaknya enak."
"Ayo."
Aku membawanya ke sebuah kedai di sekitar Tlogo Putri. Kami mencicipi sepuluh tusuk sate kelinci.
"Enak ternyata." Kata Nova.
"Itu juga yang pertama kali kurasakan."
Setelahnya, kami pergi ke Tlogo Putri. Terdengar cuitan burung dan para monyet yang sedang bergelantungan.
"Panoramanya indah."
"Alami. Enak buat menyendiri."
"Kamu sering menyendiri?"
"Kadang-kadang."
Kami melangkah lagi.
"Sekarang ke mana lagi?"
"Dari sini kita bisa mengikuti jalan setapak, menuju gua Jepang."
"Gua Jepang?"
"Ya. Kita nggak boleh melewatkan ini kalau di Tlogo Putri. Sayang banget."
Kami mengakhiri siang kam dengan menikmati keindahan alam Plawangan Turgo. Panorama alam yang menawan dan indah.
"Itu hutan tropis." Kataku menunjuk sebuah tempat.
"Sangat dilindungi dan terawat."
"Dari sini, kita juga bisa melihat bebatuan hasil letusan Gunung Merapi."
"Hmmm, berapa usianya."
"Entahlah. Mungkin empat puluh ribu tahun."
Malam sudah menjelang saat kami kembali ke Yogyakarta. Suasana malam menimbulkan haru di kota yang romantis ini. Setiap sudut yang bersahaja lebih mudah kukenali saat malam hari. Kota ini selalu menghadirkan rindu yang mendalam.
Aku terhanyut akan nostalgia. Masa kecilku yang selalu mudik ke kota ini. Pedagang kaki lima mulai menjajakan dagangannya. Sajian-sajian khas Yogyakarta yang lezat. Gudeg, telur, dan sebagainya. Musisi jalanan pun mulai berkeliaran.
Kami berjalan berkeliling kota menutup akhir pekan kami di Yogyakarta. Nova mengambil gambar dari semua sudut yang bisa diambilnya sebelum pulang.
Senin pagi, kami telah kembali menginjakkan kaki di kota Bandung. Kabut putih pun menyambut kedatangan kami di Ganesha.
"Langsung kuliah?" tanya Nova.
"Iya."
"Makasih ya. Untuk semuanya."
"Semoga kamu menang."