webnovel

41

Jika tidak sedang kuliah atau bersama Starla, kuhabiskan hari-hari pertamaku di kampus dengan berkeliling. Student Center masih berdiri dengan tegapnya. Tak lama lagi bangunan ini akan dirobohkan dan diganti dengan Campus Center yang jauh lebih mewah.

Sekalipun begitu, kampus ITB tidak pernah kehilangan keindahannya.

Jika senja hari yang cerah tiba, pepohonan di dalam kampus akan memendarkan cahaya matahari membentuk sebuah lukisan alam yang indah.

Ya Tuhan, lama sekali rasanya tidak kunikmati semua ini. Entah berapa kali aku berjalan-jalan di kampus ini pada kehidupan pertamaku. Rasanya tidak dapat kuingat, tapi semuanya kurindukan.

Seperti hari ini, saat aku menunggu Starla di depan gerbang kampus. Dari kejauhan aku bisa mengenali sosoknya. Ia dengan rambut sebahunya, menggendong ransel berisi buku-buku. Dia satu di antara lima orang mahasiswi di teknik material angkatanku. Tapi justru dia yang terlihat paling kuat.

"Hai," sapaku.

"Hai," ia tersenyum.

"Udah makan?" tanyaku.

"Tadi ngemil doang di KBL."

"Masih minat makan siang?"

"Ayo, di mana?"

Aku mengedarkan pandangan sekitar.

"Gelap Nyawang, ayo!"

"Yuk!"

"Aku baru tahu kalo ada kantin ini di Nyawang." Komentarnya saat aku membawanya makan di Black Romantic.

"Harusnya aku ajak kamu malem-malem ke sini."

"Lho, kenapa?"

"Namanya juga Black Romantic, lebih pantes kalo malem."

"Bisa aja," ia tertawa. "Oh iya," lanjutnya.

"Apa?"

"Aku mau nunjukin sesuatu." Ia mengeluarkan sesuatu dari ranselnya dan menunjukkan padaku.

Beberapa lembar kertas berisi tulisan-tulisan.

"Ini tulisanku, aku nyoba nulis setelah kamu ajarin kemarin. Semua berdasarkan pengalamanku waktu tinggal di Aussie."

Kubaca dengan seksama semua tulisannya.

"Ini keren. Kamu harus bikin blog." Timpalku setelah beberapa menit membaca.

"Beneran? Kamu bukan cuma nyenengin aku kan?"

"Nggak, aku beneran."

"Makasih. Oh ya, aku belum pernah abca tulisanmu selain puisi waktu itu."

"Nggak ah, malu."

"Halaaaah! Sok!"

Aku tertawa.

"Liat!"

"Ngapain?"

"Biar adil, kamu udah liat tulisanku!"

"Bener mau liat?"

"Iya!"

"Habis ini ya, tuh makanan udah dateng." Aku melirik dua porsi nasi kebuli yang diantarkan pramusaji.

"Janji, ya?" Tangan Starla menunjukku sambil memicingkan matanya.

"Iyaa...iyaaa..."

Usai menuntaskan makan siang kami, aku mengajak Starla ke Comlabs, tempat mahasiswa bisa mengakses internet.

"Ferre, ngapain kita ke sini? Kita kan mau liat tulisan kamu.

"Ssst, ayo ikut aja."

Kami mengambil nomor komputer dan mulai mengakses. Kubuka situs Bloomsberg, dan kumasukkan nama dan kata sandi.

Username: Michael Galbraith

Kata sandi: starlaaurora (tentu saja hanya tampak bintang-bintang).

Lalu muncullah halaman akunku, dan semua karyaku. Ini adalah panel untuk penulis melihat dan mengontrol seberapa banyak royalti yang dihasilkannya.

"Kamu... Michael Galbraith? Penulis... Willy Wizard???"

"Ssst...!" kataku. "Hanya kamu yang kukasihtau."

Starla terpana.

"Ferre, Willy Wizard adalah buku cerita bergambar kesukaanku waktu SMP. Si penyihir yang masuk akademi Hogwarts..."

Aku mengangguk, Starla masih menatapku.

"Kamu juga yang gambar komiknya?"

"Enggaklah, aku minta tolong ilustrator. Aku cuma ngasih cerita, dialog, dan gimana harus digambar. Selebihnya ilustrator yang ngerjain."

"Tapi tetap, ini..."

Willy Wizard, si bocah yatim penyihir. Ia menemukan jalan ke Hogward dan dididik menjadi penyihir papan atas. Batu bertuah menjadi musuh pertamanya. Bersama dua temannya, ia melawan sang Lord, seorang penyihir jahat yang sangat berkuasa dan berambisi menaklukkan dunia sihir, menjadi makhluk abadi, juga menjadikan alam semesta berada di dalam genggamannya.

Di Hogward, Willy Wizard melalui masa-masa remajanya.

***

Esoknya aku dan Starla belajar bersama di perpustakaan pusat. Ia mengerjakan tugas-tugasnya dengan sempurna, lembar demi lembar, penuh konsentrasi.

"Harusnya ITB jadiin kamu brand ambassador." Kataku.

"Lah, kenapa?"

"Liatin kamu serius banget dari tadi, kayaknya bener-bener gambaran gimana anak ITB yang seharusnya."

"Gombal."

"Lho, aku jujur."

"Ah, ya. Kamu sejak kapan seneng nulis?"

"Hmmm, SD kalik ya. Ya kamu tahu sejak cerpenku sering dimuat. Habis itu aku kepikir bikin cerita penyihir. Kupikir itu lebih baik dijadiin cerita bergambar. Lalu lahirlah Willy Wizard."

Starla manggut-manggut.

"Nulis emang suatu hal yang kamu inginkan? Atau ada passion lain?"

Aku mengangguk.

"Nulis emang hal paling utama yang aku senangi. Tapi nggak menutup kemungkinan hal lain juga. Aku pengen jadi penulis sepenuhnya."

"Terus kenapa kamu masuk ITB?"

Untuk mengejarmu.

"Memperbanyak teman, memperluas pergaulan, dan belajar hal yang baru."

"Cari pacar juga?"

"Cari pasangan hidup lebih tepatnya."

"Udah ketemu?"

"Udah."

"Yakin?"

"Banget."

"Kok bisa yakin banget?"

"Karena aku mengagumimu."

"Aku?"

"Ya."

"Kenapa?"

"Kamu orang yang paling tangguh, tahan banting, dan pintar."

"Cuma karena itu?"

"Kamu juga mau berjuang meraih mimpi-mimpi kamu, tapi nggak kehilangan kehangatanmu sebagai manusia."

"Kamu memang paling bisa."

"Nggak apa-apa kalau kamu anggap aku gombal. Aku yakin kamu tahu bahwa ucapanku ini beneran."

"Aku lebih suka pembuktian dibandingin ucapan."

"Oke kalau gitu, akan aku buktiin."

"Caranya?"

"Nggak ada cara khusus. Tapi aku bakal jadi teman kamu membahas apa pun mimpi-mimpi kita, juga semua yang terjadi di kehidupan ini."

Starla tersenyum.

"Eh, ada film bagus," katanya.

"Oh ya?"

"Judulnya 'Downfall',"

"Film tentang Hitler ya?"

"Kamu tahu? Udah pernah nonton?"

"Hmmm, belum. Cuma baca aja,"

"Nggak ada di bioskop Indonesia tapi,"

"Kita cari DVD-nya aja,"

"Ada yang nyewain?"

"Kita cari yuk? Kayaknya di BIP ada,"

"Oke, mau kapan?"

"Besok gimana? Malam ini mau belajar buat kuis besok,"

"Boleh,"

"Hai Starla!" suara seorang perempuan menyela pembicaraan kami.

Starla tersenyum dan membalas sapaannya.

"Wah, siapa nih Star?" tanya perempuan itu.

"Ferre, kenalin ini Agith, teman SMA-ku,"

"Oh," kami berjabatan tangan.

"Anak FT ya?" tanya Agith.

"Iya, kok...tahu?"

"Sering lihat,"

"Oh..." aku melirik Starla, Starla mengangkat bahu.

"Oke, sampai ketemu," kata Starla beranjak.

Aku memahami kode Starla.

"Lho, kalian mau ke mana?"

"Pulang," jawabku.

"Oh..."

Kami berjalan menuju labtek 6.

"Ada apa?" tanyaku.

"Nggak, sebenarnya nggak ada masalah,"

"Terus kok buru-buru?"

"Hmmm, gimana ya? Agith sebenarnya nggak kebetulan ada di situ sih,"

"Maksudmu?"

"Dia udah dari berapa hari lalu minta dikenalin ke kamu,"

"Ooh,"

"Kamu senang?"

"Biasa aja,"

"Kalau kamu senang ya kita ketemuan lagi sama dia,"

"Mendingan kita cari 'Downfall' aja yuk,"

Tangan Starla balik menggenggam tanganku saat kami berdua berjalan menuju tempat parkir. Cengkeraman tangannya yang kuat, sama seperti yang kukenal di masa lalu. Tubuh kami berdempetan saat menaiki angkutan kota.

Robbie Williams menyanyikan "Feels" di radio yang diputar oleh supir. Kami berhenti di BIP, dan menuju ke dalam.

Percakapan selama perjalanan mengalir sangat indah melebihi apa yang pernah kuimpikan. Kami membicarakan segala hal, mulai dari hal paling kecil hingga permasalahan negara. Begitupun saat kami memasuki Disc Tara mencari DVD.

Sore itu belum kami temukan 'Downfall', tapi bagiku itu tidak terlalu penting. Akan kudapatkan dengan mudah bagaimanapun caranya, jika perlu akan kuimpor dari Amerika.

Kami menaiki angkutan kota, kembali ke kampus untuk kelas pukul tiga. Lalu setelahnya kuantar dia kembali dengan motorku.

"Mampir?"

"Besok saja ya,"

"Mau belajar ya?"

"Iya,"

"Re,"

"Ya?"

"Yang tadi belum dijawab,"

"Soal?"

"Agith,"

"Nggak ada yang perlu dijawab,"

"Jadi?"

Aku menggeleng.

Starla tersenyum, mengangguk.

"Aku pulang ya, titip salam buat Tante Ina,"

"Iya, makasih ya,"

Aku beranjak.

"Re?"

"Ya?"

"Kamu baik banget,"

Aku tersenyum, melambaikan tangan, dan memacu motorku. Membelah kota Bandung.

Ribuan kilometer kuseberangi lautan untuk kembali ke negeri ini. Semuanya adalah untukmu. Mana mungkin kupikirkan orang lain?

Waktu sudah melewati magrib ketika motorku mencapai rumah. Mama seperti biasa sedang menekuni sudoku-nya.

"Ferre, itu ada surat," kata Mama.

"Oh iya, makasih Ma," kuambil surat yang ditunjuk Mama.

"Lho, nggak ada nama pengirimnya ya Ma?" tanyaku.

"Iya, coba saja lihat,"

Kurobek amplop putih surat itu, isinya hanya selembar kertas. Ketika kubuka, darahku seperti berhenti mengalir. Aku berdiri mematung.

Bagaimana mungkin?

Entah berapa lama aku seperti itu, hingga Mama memanggilku.

"Ferre, ada apa?"

Aku tersentak.

"Nggak apa-apa, Ma,"

"Itu surat dari siapa?"

"Hmmm, kayaknya salah kirim. Lihat Ma, hanya kertas kosong," jawabku sambil memperlihatkan kertas tadi.

Setelah itu aku segera pamit ke kamar.

Di dalam kamar, kunyalakan lampu dan kubaca kembali secarik kertas dalam amplop tadi. Posisi Mama duduk tadi memang cukup jauh dariku, sehingga jika kutunjukkan kertas ini, pasti hanya terlihat seperti kertas kosong. Karena memang hanya ada satu baris kalimat di sana, dan ditulis dengan huruf kecil-kecil:

9/11 seharusnya 2001, bukan?