webnovel

40

Semakin dekat ke usiaku yang sebenarnya, semakin aku dapat mengingat apa yang akan terjadi secara detil.

Kata-kata sambutan Rektor ITB di sidang penerimaan mahasiswa baru, lalu orasi komandan lapangan Orientasi Studi Keluarga Mahasiswa, (semacam ospek untuk mahasiswa baru ITB), semua sama.

Kami dikumpulkan di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga), untuk kemudian dibagi ke kelompok OSKM masing-masing. Setiap kelompok memiliki dua orang pembimbing, yang dinamakan Tablok atau Tatib (tata tertib) Kelompok.

Sementara untuk pengamanan dan pendisiplinan peserta, dibentuk kelompok yang bernama "Rahwana". Mereka yang bertugas memarahi mahasiswa baru agar tertib dalam menjalankan acara.

Ketika namaku disebut untuk masuk kelompok 132, aku tahu bahwa Ardi telah melakukan tugasnya dengan baik. Kami berkumpul dan berkenalan satu demi satu. Yang sebenarnya hanya satu orang yang paling ingin kukenal di sini.

"Ferre, Teknik Fisika,"

"Starla, Mesin,"

Di sinilah akan kumulai.

Starla perempuan terkuat, dia yang terbaik, namun rendah hati. Tidak memiliki rasa takut akan garangnya Rahwana. Ia paling tegar, dan paling serius mengerjakan tugas-tugas OSKM, tapi ia tidak kehilangan kehangatannya kepada orang lain. Aku selalu berdiri di sisinya setiap saat, mengambil bagian tugas kelompok yang sama dengannya.

Agar kami bisa terus bersama.

Tugas kelompok diberikan sebelum peserta dibubarkan di sore hari. Kami harus menunjukkan tugas itu esok paginya. Kelompok kami memilih basecamp di tempat kos salah satu anggota kelompok kami, di Jalan Ciung Wanara.

Ini adalah pertama kalinya aku memasuki sebuah rumah di Ciung Wanara. Sebelumnya aku hanya melewati jalan ini jika hendak shalat Jumat, karena masjid di sini mengadakan khutbah yang sesuai dengan minat mahasiswa, baik secara isi maupun durasi.

Kelelahan mengerjakan tugas, teman-teman merasa lapar. Starla menawarkan diri untuk membeli makanan.

"Aku temenin," kataku.

"Ayo, beli di mana?" jawab Starla.

"Gelap Nyawang aja?"

"Banyak tempat makan di sana?"

"Justru di sana pusatnya anak ITB makan,"

"Kamu udah tahu ya? Kayaknya udah riset soal ITB," Starla tersenyum.

"Namanya juga cita-cita,"

Starla tertawa.

Kami pun berboncengan membeli makan malam untuk teman-teman.

"Pulang sendiri?" tanyaku pada Starla di akhir hari pertama yang telah gelap.

"Iya," jawab Starla.

"Rumahmu di mana?"

"Di Pajajaran,"

"Naik apa?"

"Angkot aja,"

"Bareng aku yuk?"

"Lho, rumahmu emang di mana?"

"Di Ciumbuleuit,"

"Lah, malah jauh dong kalo bareng aku?"

"Nggak apa-apa, males juga kalo sendirian,"

"Ah jangan, ngerepotin kamu,"

"Nggak apa-apa, ayo?"

"Bener ya nggak ngerepotin?"

"Nggak, yuk,"

Starla pun naik ke jok sepeda motorku, dan langsung kunyalakan, lalu kupacu ia membelah jalanan Bandung, menuju Pajajaran.

Bodohnya, aku langsung masuk ke komplek tempat tinggal Starla, dan berhenti tepat di depan rumahnya.

Starla tinggal di perumahan yang sebelumnya ditempati keluarga Belanda. Rumah yang memiliki ciri khas peninggalan kolonial, berhalaman luas, berdinding kuat, dan besar.

Ia tinggal berdua dengan ibunya, sementara ayahnya yang bekerja di Schlumberger pulang setiap tiga pekan.

Starla turun dan membuka helm. Ia langsung berjalan ke hadapanku dan menatapku.

"Kamu...kok tahu kalau aku tinggal di sini?"

Sial, bodohnya aku!

Aku harus berpikir cepat!

"Ferre?" tanyanya lagi.

Ayo cepat! Atau kau harus kehilangan dia!

"Ferreeee...?"

"Aku tahu begitu saja,"

Starla diam.

"Nggak percaya, ya? Tapi ya gimana, itulah kenyataannya," lanjutku.

"Ya gimana mau percaya, alasannya aneh gitu,"

"Tapi emang gitu kenyataannya,"

Starla tertawa.

"Kenapa?" tanyaku.

"Nggak, tapi aku juga nggak melihat tanda-tanda bahwa kamu lagi bohong,"

"Memang nggak bohong,"

"Yasudahlah, mau mampir?" tawarnya sambil tersenyum.

"Masuklah,"

"Makasih, nggak mengganggu?"

"Sama sekali nggak," ia membuka pagar.

"Mama, ini Ferre, teman saya. Tadi nganter saya,"

"Oh...iya, saya Ina, Mamanya Starla," Mama Starla mengulurkan tangannya.

"Ferre, Tante, perkenalkan," aku menyambut uluran tangan Tante Ina dan mencium punggung tangannya.

Tante Ina, masih seumur Mama. Masih nampak muda.

"Satu angkatan dengan Starla?"

"Betul, Tante. Masih sama-sama diospek," jawabku tersenyum.

"Eh, mau minum apa?"

"Air putih saja, Tante. Terima kasih,"

"Star, tolong kasih minum Ferre," Tante Ina menyeru ke arah Starla.

"I'm on it, Ma," jawab Starla dari arah dalam.

"Tante tinggal dulu, ya? Ngobrol aja sama Starla," kata Tante Ina kepadaku saat Starla datang membawakan air putih.

"Baik, Tante, terima kasih," jawabku.

"Rumahmu bagus," kataku kepada Starla.

"Bukannya kamu udah tau?" jawab Starla.

Aku sudah tahu, sejak puluhan tahun lalu.

"Hmm, ya begitulah," hanya itu jawabku.

Starla pun tersenyum sambil menunduk serta menggeleng-gelengkan kepala.

"Sekarang, kenapa?" tanyaku.

"Nggak,"

"Pasti ada yang kamu pikirkan,"

"Misalnya?"

"Ada orang yang baru kamu kenal hari ini, nganterin kamu pulang, dan ternyata dia sudah tahu tempat kamu tinggal dengan tepat,"

"Lalu?"

"Kamu nggak penasaran dari mana aku tahu?"

"Penasaran itu pasti,"

"Tapi...?"

"Aku lebih suka seseorang cerita tanpa paksaan. Kalo kamu mau kasihtau, kasihtau aja kapanpun kamu mau,"

"Walaupun entah aku bakal cerita apa enggak?"

"Semua itu terserah kamu,"

"Baik," aku tersenyum.

Starla membalas senyumku. Untuk beberapa saat kami bertatapan, tanpa ada sepatah kata pun keluar.

"Aneh," kata Starla.

"Aneh kenapa?"

"Aku kayak udah pernah kenal kamu sebelumnya, tapi nggak tahu di mana, apa kita pernah ketemu?"

"Entahlah, antara sudah dan belum kalik ya,"

Starla tersenyum lagi sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Aku mengenalmu, jauh sebelum kau lahir.

"Udah malam," aku melirik arlojiku.

"Aku pulang, ya?" lanjutku.

"Oke,"

Aku berpamitan kepada Tante Ina, lalu Starla mengantarku hingga gerbang.

"Besok pergi jam berapa?" tanyaku.

"Jam setengah enam,"

"Naik angkot?"

"Nggak, kalau pergi suka sekalian ikut Papa ke kantor,"

"Gimana kalo kujemput?"

"Dari Ciumbuleuit?"

"Ya,"

"Nggak merepotkan?"

"Nggak pernah merepotkan,"

"Oke kalo gitu, makasih ya,"

Aku melambaikan tangan, naik ke motorku, dan memacunya menembus malam.

Esok paginya, pukul lima aku telah mencapai rumah Starla. Tante Ina mempersilakanku masuk, memperkenalkanku pada Papa Starla yang baru pulang kemarin malam dari shift-nya di Sclumberger, mencapai rumah saat aku sudah pulang dari mengantar Starla.

"Ayo, sudah sarapan?" Tanya Papa Starla.

"Sudah, Pak, terima kasih,"

Starla meneguk susunya, mencuci gelas dan piringnya, lalu beranjak bersamaku setelah mencium tangan kedua orangtuanya.

"Nggak usah buru-buru, nanti sakit perut," kataku.

"Biar nggak macet," jawabnya.

"Macet? Belum setengah enam!"

"Lalu lintas Bandung siapa yang tahu?" ia mengangkat bahu.

Kami pergi ke kampus, kembali menjalani hari OSKM. Pagi hari dimulai dengan melakukan yel-yel dan olahraga di Lapangan Sipil. Mentari yang cerah mulai menghangatkan kampus kami. Rahwana terus membentak-bentak peserta untuk merapikan barisannya. Beberapa mahasiswi terlihat berkaca-kaca matanya karena ketakutan.

Starla memandang lurus ke depan dan tidak mengacuhkan bentakan Rahwana. Aku tersenyum sendiri melihatnya. Pasukan Rahwana mondar-mandir di depanku. Beberapa dari mereka adalah bawahanku beberapa tahun dari sekarang, di kehidupan pertamaku.

Sinar matahari semakin berpijar. Komandan lapangan terus menerus meneriakkan slogan "Putra-putri Terbaik Bangsa" yang disematkan kepada kami, para mahasiswa baru. Para mahasiswa diberi sebutan "Satria", sementara mahasiswi "Srikandi".

Para Satria dan Srikandi dipindahkan ke Gedung Serba Guna untuk menerima materi dari masing-masing kelompok. Mereka dibagi bersama kelompoknya masing-masing, dengan cara berbaris lurus dan memegang tali tas orang di depannya.

Aku sebagai ketua kelompok menjadi yang berdiri paling depan, dan harus menarik beban paling berat karena aku harus menanggung beban sepuluh orang di belakangku.

Sementara Starla tepat berada di belakangku. Ialah orang kedua setelahku, yang pasti menanggung beban hampir sama denganku.

Cukup jauh jarak yang ditempuh dari Lapangan Sipil hingga Gedung Serba Guna. Kira-kira lima ratus meter. Kami semua terengah-engah saat mencapai tujuan.

"You're good!" kataku sambil menepuk pundak Starla.

"Thanks, kamu juga," Starla tersenyum.

Rahwana kembali meneriaki kami untuk menempati area yang telah diatur untuk setiap kelompok. Lalu di layar besar yang telah disiapkan, diputarlah film tentang perjuangan kemahasiswaan. Di antaranya film perjuangan melawan pemerintah yang otoriter.

"Kamu ingat masa-masa itu?" tanyaku yang duduk di samping Starla.

"Reformasi?"

"Ya, enam tahun lalu,"

"Nggak banyak, aku nggak terlalu ngerti waktu itu. Kayaknya yang di Jakarta lebih kerasa ya?"

"Pasti, di kita nggak ada kerusuhan setahuku,"

"Di Ganesha ini setahuku ada demo juga,"

"Iya, menuhin area sini, sebagian ikut pergi ke Jakarta,"

"Kayaknya keren ya masa-masa itu,"

"Aku sih penasaran, gimana kalo saat ini pemerintahan otoriter masih ada. Apa yang mau kita lakukan?"

"Demo kayak pendahulu kita?"

"Bisa jadi, aku harap kita semua masih bisa seberani mereka,"

"Haruslah, kan di awal udah diterangin tugas-tugas mahasiswa. Di antaranya tugas mahasiswa jadi pengabdi masyarakat,"

"Dan melawan ketidakadilan serta penindasan."

"Mereka berani-berani ya?"

"Kita kan nggak mungkin hidup bebas gini kalau bukan karena melawan. Soekarno, Hatta, dan semua pejuang kemerdekaan. Mereka semua berani melawan kesewenang-wenangan,"

"Makanya bangsa kita bisa merdeka, kan?"

"Tepat,"

"Kamu banyak baca, ya?"

"Pasti kamu juga,"

"Kok tau?"

"Keliatan kalo kamu pinter,"

"Emangnya kamu nggak? Mana mungkin anak ITB nggak pinter,"

"Itu harusnya jadi bahan evaluasi buat ITB kan?"

"Maksudmu?"

"Gini, selama ini kan ITB terkenal dengan lulusannya yang hebat-hebat. Tapi apakah memang mereka hebat karena kuliah di ITB, ataukah karena dari dulunya sudah hebat? Maksudku gini, orang-orang sepertimu diterima di ITB kan karena kamu sudah jago dari sananya. Otomatis di ITB juga nanti kamu akan lulus dengan luar biasa. Artinya sejak sebelum di ITB pun kamu udah jago,"

"Kamu terlalu muji aku. Tapi aku sependapat. ITB baru terbukti hebat kalau mahasiswa yang masuk adalah mahasiswa biasa-biasa, tapi setelah lulus jadi orang-orang luar biasa. Itu maksudmu kan?"

""Exactly,"

Pembicaraan kami terhenti setelah komandan lapangan memberi perintah untuk bergerak.

"Nanti kita ngobrol lagi," kataku.

Starla mengangguk. Kami kembali berlari dengan memegang tas peserta di depan kami.

Mentari menyala di sini

Di sini di dalam hatiku

Gemuruhnya sampai di sini

Di sini, di urat darahku

Meskipun tembok yang tinggi mengurungku

Berlapis pagar duri sekitarku

Tak satupun yang mampu menghalangiku

Menyala di dalam hatiku

Hari ini hari milikku

Juga esok masih terbentang

Dan mentari kan tetap menyala

Di sini di urat darahku...

Lagu yang sama, lagi kemahasiswaan ITB. Puluhan tahun sudah berlalu sejak aku pertama kali mendengarnya. Sampai kini, kesannya selalu membekas. Masih sering kunyanyikan lagu itu ketika kuingat.

Sorenya kembali kami pergi ke basecamp untuk mengerjakan tugas hari tersebut. Kelompokku berjalan sambil menyanyikan lagu Mentari.

Kujejeri langkah Starla yang juga sedang menyanyi. Ia menatapku, aku juga menatapnya. Sepanjang jalan, kami terus bernyanyi.

Di sini, di dalam hatiku...

***

"Pendidikan adalah masalah kaderisasi. Jadi jelas, bahwa pendidikan adalah hal terpenting bagi bangsa ini."

Aku memaparkan uraian tugas yang diberikan pada hari sebelumnya. Semua kelompok diminta beradu argumen terkait pentingnya dan mahalnya biaya pendidikan tinggi saat ini.

"Tapi masalahnya pendidikan perlu investasi. Anda pikir di ITB ini tidak menggunakan peralatan mutakhir? Lalu buku-buku yang diimpor, itu tentu mahal sekali. Karenanya pendidikan mahal pasti tidak dapat dihindarkan,"

Kelompok lawanku memang diarahkan untuk membela opsi pendidikan mahal, apa pun argumen kami. Meskipun aku yakin mereka juga tidak setuju dengan pendidikan mahal. Sementara kelompok kami diperintahkan untuk menentang pendidikan mahal. Juga apa pun argumen lawan kami.

"Tapi dengan demikian, kaum ekonomi lemah jadi tidak memiliki akses kepada pendidikan. Apakah itu yang dinamakan keadilan sosial?" bantahku.

"Lalu bagaimana kita bisa memperoleh dana? Tetap butuh uang. ITB sekarang BHMN, perlu cari dana sendiri."

Ini argumen standar mahasiswa kroco.

"Ssst...Ferre!" Starla berbisik.

"Ya?"

"Nggak harus murah atau mahal kan?"

"Good, aku ngerti,"

"Hajar!"

Aku kembali berdiri.

"Begini rekan-rekan. Bagi kami bukan masalah murah atau mahal. Tapi pendidikan mau berbiaya seratus juta setiap semesternya pun tidak masalah. Selama semua itu bisa dibayar oleh pesertanya. Oleh karena itu, mari kita bangun masyarakat kita. Kita perkuat ekonominya. Sehingga pendidikan dengan harga berapapun bisa kita bayar. Karena yang paling penting saat ini bukanlah pendidikan murah atau mahal. Tapi pendidikan yang terjangkau."

Moderator melakukan standing applause.

"Memang ini yang kita cari. Dan benar apa yang disampaikan Saudara Ferre. Bukan masalah mahal atau murah, tapi yang penting terjangkau."

Diskusi berhenti sampai di situ.

Aku dan Starla melakukan toss tangan.

"Kamu belajar orasi di mana?" tanyanya di perjalanan pulang.

"Banyak, tapi nggak belajar khusus sih, hanya terbiasa,"

Aku adalah kepala divisi perencanaan di pabrik pesawat terbang. Berbicara di depan ratusan orang bisa jadi menu mingguanku.

"Pantes, dulu pernah jadi ketua OSIS?"

"Nggak, cuma beberapa kepanitiaan. Kamu?"

"Nggak juga, aku pernahnya jadi kepala seksi olahraga di OSIS,"

"Pantes kamu kuat,"

"Nggak ada hubungannya kali," Starla tertawa.

Tugas hari terakhir adalah membuat "Dream Book". Kami diminta membuat komik yang berisi mimpi-mimpi kami.

"Kamu gambar apa?" tanya Starla.

"Ini dunia," kataku menunjukkan.

"Kamu mau menguasai dunia?"

"Ya,"

"Caranya?"

Haruskah kuceritakan?

Apakah ia akan percaya?

Dunia ini akan jatuh ke dalam genggamanku saat aku mencapai siklus ketigaku nanti. Semua data sedang kukumpulkan. Tidak akan ada yang luput dari kekuasaanku saat kehidupanku kembali berulang nanti.

"Kamu mau dengar?"

"Boleh,"

"Ceritanya akan panjang. Suatu saat akan aku ceritakan,"

"Dasar," Starla tertawa.

"Kamu sendiri gambar apa?"

"Sayap, dan juga dunia,"

"Artinya?"

"Aku pengen punya sayap yang bisa membawaku terbang ke mana pun yang kuinginkan di dunia ini,"

"Kita sama-sama pemimpi, ya?"

"Tapi mimpi hari ini adalah kenyataan esok hari, kan?"

"Ayo kita berjanji,"

"Janji untuk?"

"Kita wujudkan mimpi kita bareng-bareng,"

"Caranya?"

"Kita saling mengingatkan untuk terus mengejarnya, sampai kita dapatkan,"

"Boleh,"

"Janji?"

"Janji,"

Di hari berikutnya, para peserta diberikan pembekalan yang lebih intensif. Kerumunan mahasiswa baru membentuk lingkaran besar di Lapangan Sipil. Aku mencari-cari celah agar bisa duduk di samping Starla.

Sementara orator mulai membacakan orasinya. Suasana menjadi hening. Matahari memang sangat terik, tapi di bawah pepohonan kampus ITB, suasana sangat sejuk.

Starla sedang memperhatikan orator sambil memuntir-muntir kepang rambutnya. Para mahasiswi baru memang disarankan untuk tidak mengurai rambut saat acara, untuk lebih memudahkan pergerakan saat mobilisasi.

Aku duduk di sampingnya.

"Hai," sapaku.

"Hai," ia menoleh menatapku.

"Ada film bagus," kataku.

"Oh ya?"

"Judulnya The Butterfly Effect,"

"Tentang apa itu?"

"Pernah dengar istilah 'road not taken'?"

"Maksudmu tentang jalan hidup yang berbeda, yang tidak kita pilih?"

"Iya, misalnya ya, kalau kamu nggak memilih masuk ITB, tapi misalnya... Unpar, apa yang terjadi? Semacam itu,"

"Ini film tentang hal tersebut?" Starla tampak mulai tertarik.

"Konon demikian, waktu aku baca review-nya di internet tadi malam."

"Wah, menarik juga ya?" mata Starla berbinar.

"Ayo nonton?"

"Boleh,"

"Minggu depan sehabis OSKM ini beres, gimana?"

"Oke,"

Setelah itu peserta kembali harus berlari untuk mobilisasi keliling kampus. Usai hal tersebut, mereka menaruh tas masing-masing di sudut yang telah disediakan.

Kembali kuhampiri Starla.

"Capek?" tanyaku.

"Dikit,"

"Minum yuk?" kubuka ranselku.

Ia juga membuka ranselnya. Kami berjalan berdampingan menuju pinggiran oktagon.

"Aku bawa green tea, mau coba?"

"Wah, enak kayaknya ya? Aku belum pernah nyoba."

Kubuka tasku, dan kukeluarkan termos dan dua buah cup. Kuseduh dua buah green tea.

"Niat banget sampe bawa termos," komentarnya.

"Kalau bisa sih sama heater-nya," jawabku.

Starla tertawa.

"Makasih," katanya sambil menerima cup-nya dan mulai meneguk.

"Hmmm, enak," katanya.

"Kapan-kapan kita bikin ramuan sendiri yuk?"

"Teh ada ramuannya?"

"Ada, sama kayak kopi,"

"Kalau kopi aku pernah belajar jadi barista,"

"Wah, serius?"

"Iya, mau kuajarin?"

"Barter ya, aku ngajarin cara ngeramu teh, kamu kopi,"

"Deal!"

Kami bersalaman dan kembali tertawa.

Panitia memberi isyarat untuk segera kembali berkumpul.

"Ayo," kataku sambil membereskan termos dan peralatan lainnya.

Starla berdiri bersamaku dan kami berjalan kembali menuju kelompok. Dari sana kami lalui hari demi hari OSKM hingga tibalah hari Minggu, hari terakhir rangkaian acara ini.

Semua mahasiswa baru hadir dengan penuh semangat karena ini adalah hari terakhir mereka disiksa dengan segala macam tugas. Tidak ketinggalan Presiden Keluarga Mahasiswa ITB dan jajarannya juga ikut hadir sejak subuh.

Dalam acara apel pagi yang berlangsung di lapangan sipil, aku diberi tugas membacakan puisi yang kubuat di depan seluruh peserta. Puisi yang sehari sebelumnya telah kutunjukkan kepada ketua panitia OSKM, orang yang dulu menjadi sahabat baikku. Aku sangat yakin bahwa ia pasti akan mengizinkanku membacakannya di depan khalayak, karena aku tahu respeknya kepada para aktivis, terutama aktivis-aktivis junior.

Aku naik ke panggung dan memandang ribuan mahasiswa baru yang menatap ke arahku. Kuambil pengeras suara dan mulai membacakan puisiku yang berjudul "Mahasiswa".

Mahasiswa-mahasiswa

Pembela orang-orang miskin

Di kampung-kampung maupun kota

Di pinggiran kali

Di rumah-rumah nelayan

Di pinggir apartemen mewah

Di sisi mal yang megah

Mahasiswa-mahasiswa

Pembela mereka yang tertindas sampai hancur

Mahasiswa-mahasiswa

Melebur di antara rakyat miskin

Membangun mimpi-mimpi yang terlumat

Menghidupkan cita-cita dan harapan

Mahasiswa-mahasiswa

Membangun peradaban

Menghapus pengangguran

Menghilangkan air mata Ibu-ibu dan anak putus sekolah

Mahasiswa-mahasiswa

Menebar kedamaian di penjuru negeri

Melawan penjajah yang pongah

Membasmi angkara murka

Mahasiswa-mahasiswa

Menjadi pengingat atas penguasa

Meneror oknum aparat

Mahasiswa-mahasiswa

Membangun negeri semakin indah

Nusantara cantik terbentang

Koruptor digusur hilang

Semua orang terdiam. Kulirik kawanku yang ketua panitia OSKM, ia tersenyum ke arahku sambil mengacungkan jempol. Beberapa saat kemudian gemuruh tepuk tangan mulai terdengar. Seluruh peserta maupun panitia memberikan aplaus ke arahku. Sebagian dari mereka membuat siulan.

"Hebat, belajar nulis di mana?" kata Starla saat aku kembali ke kelompok.

"Aku suka nulis, jadi yang kayak gini malah nyalurin hobiku." Jawabku tersenyum.

"Beneran? Hebaat!"

Acara pun berlanjut, tapi berbeda dengan sebelumnya, kini hari terakhir OSKM dipenuhi pembicaraan tentang puisiku. Beberapa mahasiswa bahkan datang dan menyalamiku.

Mereka mengajakku mengobrol dan berdiskusi tentang masalah kebangsaan. Mahasiswa-mahasiswa ini dulu di tingkat dua hingga tiga menjadi rekanku pada kepengurusan kabinet Keluarga Mahasiswa ITB.

Penutupan yang meriah dan berkesan kembali kualami, walaupun pada kehidupan sebelumnya telah kulalui hal ini. Tapi sekarang pun semua itu masih berkesan. Acara telah usai, namun kami melanjutkan makan malam di Gelap Nyawang. Kami berbincang mengenai banyak hal. Sesekali kami tertawa, sesekali kami membicarakan hal serius tidak dapat kusangkal bahwa malam ini sangat indah. Aku yakin baginya juga.

Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam saat kami mencapai rumah Starla.

"Mampir?" tawarnya.

"Sudah malam, aku langsung saja,"

"Oke, makasih ya untuk malam ini,"

"Makasih juga untuk obrolan yang sangat menyenangkan,"

"Iya, aku juga makasih,"

"Salam buat Mama dan Papamu,"

"Akan aku sampaikan,"

"Besok kuliah jam berapa?"

"Jam sembilan, kamu?"

"Sama, kalkulus kan? Di kelas mana?"

"Gedung Kuliah Umum, kamu?"

"Oktagon,"

"Wah jauh,"

"Tapi jamnya sama,"

"Iya ya,"

"Kujemput lagi?"

"Oke,"

***

Tahun Pertama Bersama (TPB) di ITB mewajibkan semua jurusan menempuh kuliah yang sama: Fisika Dasar, Kalkulus, dan Kimia Dasar. Hanya jurusan Arsitektur dan Fakultas Seni Rupa & Desain yang berbeda dalam kurikulum TPB.

Pagi masih dingin, jam menunjukkan pukul enam lebih sepuluh. Aku telah mencapai kampus bersama Starla. Kami memasuki Gerbang Ganesha. Gerbang utama kampus yang dihiasi bunga bougenville berwarna putih, merah, dan ungu dan dipadu bunga congea di pilar-pilar batu sekitarnya. Warna bunga-bunga tersebut akan berubah seiring bergantinya musim, semuanya menjadi kenangan yang tidak akan pernah terlupakan bagi siapa pun yang pernah menimba ilmu di kampus ini.

Aku dan Starla berjalan membelah kampus untuk kuliah pukul tujuh menuju bangunan berbentuk segi delapan yang dinamakan Oktagon. Mahasiswa lebih suka menyebutnya Pentagon.

Kata-kata pembuka dari kuliah pertama Kalkulus, dan kuliah-kuliah setelahnya, semua sama.

Fokusku di kampus ini hanya Starla.

Ucapan selamat pagi menjadi hal rutinku kepadanya dan Tante Ina. Kami bersama pergi ke kampus setiap pagi, apa pun jadwal kami.

"Sore ini ada acara?" tanyaku.

"Sejauh ini nggak,"

"Ke Braga yuk?"

"Ada apa di Braga?"

"Ada kafe yang baru kuliat ulasannya, yuk cobain,"

"Boleh, langsung pulang kuliah?"

"Yuk, ketemu di mana? GKU?"

"Iya, GKU aja,"

"Ok, sampai nanti ya,"

"Sampai nanti,"

Sore hari itu mendung. Kulihat ia yang baru saja menuruni tangga Gedung Kuliah Umum.

"Hai," ia tersenyum mendapatiku berdiri di ujung tangga.

"Gimana kuliah tadi?" sapaku, tersenyum.

"Great," ia balas tersenyum.

"Congratulations,"

"Starla?" kata teman-temannya yang tadi berbarengan menuruni tangga.

"Eh, duluan aja ya!" kata Starla kepada mereka.

Sesuai rencana, kami pergi ke Braga. Kuparkir motorku di ujung jalan Braga karena jalan ini sangat indah untuk dinikmati dengan berjalan kaki. Ternyata tidak hanya kami yang berjalan berpasangan di sana. Sejumlah pasangan muda-mudi juga ada, bahkan yang masih berseragam SMP.

"Wah, anak SMP sekarang udah pacaran ya?" kataku.

"Lho, emang kenapa?" Starla melirikku sambil tertawa kecil.

"Ya nggak apa-apa sih, tapi di zaman kita kayaknya baru anak SMA yang mulai pacaran,"

"Masa sih? Kayaknya dulu banyak juga deh yang SMP udah pacaran,"

"Oh ya? Menurut kamu sendiri orang pacaran idealnya umur berapa?"

"Hmmm, 21 lah idealnya,"

"Kok segitu?"

"Ya menurutku usia segitu udah dewasa pemikirannya,"

"Masa sih? Banyak lho orang umur 40 bahkan 50 yang belum dewasa. Kayaknya kedewasaan nggak mesti dilihat dari umur deh."

"Nggak salah sih pemikiranmu, pastinya balik ke diri masing-masing kan," ia tersenyum.

"Kamu sering senyum, kayaknya kamu suka pacar yang humoris, ya?"

"Humoris jadi salah satu poin, tapi bukan yang utama,"

"Kenapa emangnya?"

"Humoris tapi nggak pengertian, buat apa?"

"Jadi kriteria pacar kamu itu kayak apa?"

"Mandiri, pengertian, dan nggak manja,"

"Mandiri berarti udah bisa hidupin diri sendiri?"

"Ya nggak juga," Starla tertawa. "Yang penting dia bertanggungjawab buat dirinya, nggak dikit-dikit ngandelin orang tua, apalagi orang lain," lanjutnya.

"Eh, ini dia tempatnya," kataku, tidak terasa kami telah mencapai tempat yang kurencanakan.

"Wikie Koffie?" tanya Starla membaca nama tempat yang kutunjuk.

"Iya, pernah ke sini?"

"Belum,"

"Yuk, masuk,"

Starla mengikutiku ke dalam.

"Kamu suka apple pie ya?" tanya Starla melihat pesananku.

"Justru baru pertama kali ini,"

"Enak?"

"Nih, mau coba?"

"Kamu cobain pumpkin pie-ku juga nih," Starla menyodorkan piringnya.

"Enak,"

"Ini juga enak,"

"Kamu sukanya jajan di mana waktu kecil? Aku sih suka inget jajanan chiki-chiki yang dulu masih murah banget,"

"Aku apa ya? Dulu sih sukanya beli cilok, sama gulali,"

"Sering batuk dong?"

"Kok batuk?"

"Bukannya gulali bikin batuk? Apa aku doang ya?"

"Kamu aja itu," ia tertawa kecil.

"Aku inget masa kecil, zaman-zaman itu punya game watch aja seneng banget rasanya. Kamu waktu kecil suka main apa?"

"Badminton," Starla tersenyum lebar.

"Keren dong, nggak semua orang jago main badminton. Kalo nggak ada yang jago badminton, Indonesia nggak akan terkenal di olahraga ini,"

"Sekarang kan udah banyak yang jago,"

"Tapi nggak ada yang sehebat kamu, jago badminton dan masuk ITB juga,"

"Ah aku suka kalah juga kadang-kadang,"

"Harusnya kamu udah jadi atlet,"

"Mungkin juga ya, sekarang kan harus milih antara kuliah atau seriusin badminton,"

"Inget film yang kita tonton tentang 'road not taken'?"

"Ah iya, kenapa?"

"Gimana kalo itu bener-bener terjadi ke kamu? Misal kamu milih jadi atlet badminton dan gak jadi masuk ITB,"

"Pastinya aku harus jadi atlet terbaik, menangin semua medali emas, sampai olimpiade,"

"Olimpiade, hebat,"

"Pastinya, aku nggak mau setengah-setengah,"

"Pasti kamu selalu sungguh-sungguh,"

"Kamu juga kan?"

"Aku kenapa?"

"Kalo kamu setengah-setengah, nggak bakal kamu ajak aku sampe sini,"

"Oh, jadi aku udah ketahuan," aku tersenyum.

Starla menggeleng-gelengkan kepala, ikut tersenyum.

Kami pun melanjutkan makan kami.

"Kamu suka tempat ini?"

"Suka, cozy dan..." ia menengok-nengok ke sekeliling.

"Romantis?"

Ia melirik ke arahku.

"Iya kan?" lanjutku.

"Iya,"

"Besok-besok ke sini lagi yuk?"

"Boleh,"

"Ke tempat lain juga, yuk?"

"Boleh," kali ini ia tertawa kecil.

"Asik,"

"Kok asik?"

"Ya asik, pergi sama kamu,"

"Emang kamu gak pergi sama yang lain?"

"Kali ini, nggak,"

"Maksudmu 'kali ini'?"

"Kalo kamu nggak mau kuajak pergi ya berarti aku bakal ngajak yang lain,"

"Oh oke,"

"Makanya aku ngajak kamu terus, karena aku sebenernya nggak mau ngajak yang lain,"

"Re...Re..." Starla menggeleng-geleng lagi.

"Ya udah, tuh udah mau magrib,"

"Ah, iya,"

"Yuk pulang,"

Kami pun menghabiskan makanan kami, lalu beranjak pergi.

"Makasih untuk sore ini," kata Starla waktu kami mencapai gerbang rumahnya.

"Iya, sama-sama. Besok kuliah jam sembilan?"

"Iya,"

"Ok, kujemput jam delapan ya,"

"Siap,"

Kulambaikan tangan kepada Tante Ina yang baru membuka pintu, lalu beranjak pergi.

***

"Kamu mau ke mana sekarang?" tanyaku usai kuliah esok harinya.

"Pulang, kamu?"

"Sama. Udah makan?"

"Baru jam lima, Re," ia tersenyum.

"Kalo gitu, boleh aku anter kamu pulang?"

"Lagi?"

"Ya,"

Starla tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.

"Tapi sebelumnya, kamu udah pernah ke daerah Lembang?"

"Pernah, kenapa emang?"

"Pernah sampai Lembang?"

"Nah kalau itu belum,"

"Yuk ke sana sebentar, mumpung masih sore,"

"Sekarang banget?"

"Iya, bentar aja,"

"Hmmm, oke,"

Dengan sepeda motorku, kami mendaki Bandung Utara, menuju area Lembang yang dari sana terlihatlah pemandangan kota Bandung.

"Wah, aku belum pernah sampai ke sini," kata Starla begitu kami tiba.

"Bagus kan pemandangannya?"

"Iya, kamu sering ke sini?"

"Kadang-kadang. Tuh lihat!" aku menunjuk langit senja.

"Hmmm," pandangan mata Starla mengikuti tanganku.

"Senja hari sehabis hujan, pemandangan yang sangat sayang untuk dilewatkan. Orang barat menyebutnya 'vanilla sky'."

"Kenapa vanilla?"

"Entahlah, istilah itu kupikir karena langit senja usai hujan nampak seperti vanilla. Langit berawan yang ditingkahi sinar matahari senja yang menyebar. Pemandangan yang seperti mimpi, aku bisa berlama-lama menikmatinya."

"Kamu bisa puitis juga ternyata,"

"Begitulah, ini hasil bertapa mandangin vanilla sky. Mungkin penulis-penulis terkenal zaman dulu juga dapet inspirasi dari sini,"

"Semua penulis harus dari vanilla sky?" Starla tersenyum.

"Oh enggak, ada juga yang liatin harimau lari terus terinspirasi,"

Starla tertawa renyah.

"Tapi nanti kan diterkaaam!" jawabnya, masih tertawa.

"Pengorbanan, Star. Demi sebuah puisi,"

Starla tertawa lagi.

"Kamu belum pernah manggil aku kayak gitu," lanjutnya.

"Kayak gitu gimana?"

"'Star'"

"Reflek kayaknya, dan mungkin karena aku udah sadar,"

"Sadar bahwa...?"

"'Star' artinya kan bintang."

"Laluuu...?" Starla tersenyum.

"Kamu layak jadi bintang,"

"Hah? Kenapa?" ia tertawa geli.

"Kalau disebutin semua, nggak bakal habis sore ini, bahkan sampai matahari terbit lagi besok,"

"Dasar, bisa aja kamu!"

"Serius! Dan kalau kamu itu bintang, maka kamu adalah bintang yang paling tinggi,"

Starla menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Udah puas gombalnya?" tanyanya.

"Mau diterusin sampai matahari terbit..."

"Ah!" potongnya.

Kami tertawa.

"Capek nggak?" tanyaku.

"Dikit, tapi lebih ke laper,"

"Ayo makan kalo gitu,"

"Makan di mana sekitar sini?"

"Di area Lembang jual susu murni dan kue-kue yang enak, ayo!" aku mengajaknya untuk naik motor lagi.

Kami mencapai kedai-kedai susu murni di Lembang. Di sana, selain susu murni, juga menjual penganan-penganan seperti kue mangkuk, nagasari, surabi, dan sebagainya. Aku dan Starla memilih salah satu kedai dan memesan susu murni. Kuambilkan beberapa potong penganan untuk kami.

"Enak banget," kata Starla usai mencicipi nagasari dan susu murni.

"Apalagi abis capek kayak gini, makin terasa kan?"

"Iya,"

"Kapan-kapan ke sini lagi yuk?"

"Boleh, asik ternyata,"

"Enaknya pas libur,"

"Hu um," kata Starla dengan mulut penuh.

Aku tersenyum. Kuambilkan beberapa potong penganan lagi. Kami berada di sana hingga magrib menjelang. Setelahnya kuantar Starla pulang.

"Mampir?" tanyanya.

"Next time aja, kamu pasti capek. Istirahatlah."

Starla tersenyum, mengangguk.

"Aku pulang ya, salam buat Tante Ina,"

"Iya,"

Aku menyalakan motorku.

"Re..."

"Ya?"

"Makasih,"

Aku mengangguk, tersenyum.

"Aku juga makasih, kamu mau aku culik-culik gini,"

Starla tertawa.

Aku memacu motorku, diiringi lambaian tangan Starla.

Ketika mencapai rumah, kusadari betapa lunglainya badanku. Kutarik napas panjang, dan kujatuhkan tubuhku di kasur. Walaupun persendianku serasa mau lepas, tapi aku tersenyum.

Jalan sudah semakin terbuka. Starla sudah mulai memanggilku "Re".

***

"Hai." Sapaku.

Starla yang sedang berkutat dengan kertas tugasnya tampak terkejut, tak menyangka aku mendatanginya di perpustakaan pusat pada suatu siang yang panas.

"Hai, kamu kok di sini? Ngerjain tugas juga?"

"Nggak, lagi pengen ke sini aja. Kamu ngerjain apa? Kidas?"

"Iya, tugas kelompok sih, tapi jadinya dibagi-bagi, masing-masing ngerjain bagiannya,"

"Mau kubantuin?"

"Beneran mau bantuin?" Starla tersenyum.

"Sini," aku menarik kursi dan duduk di sebelahnya.

"Nih, kamu tolong periksain aja yang udah aku bikin, bener apa enggaknya," Starla menyorongkan beberapa lembar kertas yang sudah ditulisinya.

Aku membacanya barus demi baris. Ini merupakan pekerjaan mudah bagiku, heran kenapa dulu terasa sulit sekali. Aku pernah mengulang mata kuliah Kimia Dasar ini.

"Kenapa? Banyak salahnya, ya?" tanya Starla setelah beberapa saat.

"Sebaliknya, bener semua."

"Masak?"

"Coba kuliat yang itu," kutunjuk kertas yang sedang dikerjakannya.

"Belum selesai, yang ini masih bingung."

"Oh, ini gini caranya," kutunjukkan langkah demi langkah.

"Wah, wah, kamu udah ahli banget ya."

"Dosenku neranginnya jago. Eh, buku-buku kamu sampulnya pemandangan kota-kota Eropa semua." Kutunjuk beberapa buku tulis miliknya.

"Aku emang punya cita-cita keliling Eropa, bahkan dunia,"

"Kayak yang kamu ceritain waktu OSKM?"

"Iya, masih inget ternyata kamu,"

"Masih lah, mimpi-mimpi seseorang adalah sesuatu yang penting bagiku."

"Kenapa gitu?"

"Karena mimpi adalah sesuatu yang membuat kita hidup."

"Jadi orang tanpa mimpi adalah orang yang nggak hidup?"

"Bisa dibilang demikian."

"Terus gimana dengan orang-orang yang nggak bisa meraih mimpinya, let's say, karena keadaan?"

"Maksudmu?"

"Kita harus realistis, contohnya aja mimpiku, buat keliling dunia pasti perlu biaya. Aku harus kerja untuk ngumpulin uang dulu. Dan untuk itu, mungkin aku harus ngerjain hal yang nggak aku suka."

"Kita nggak ngomongin pencapaian. Yang kumaksud adalah mimpi itu sendiri. Tercapai atau nggak, itu urusan lain. Tapi bagiku, seseorang harus terus memelihara mimpinya, dan berjuang meraihnya sampai kapan pun, nggak peduli di usia berapa pun."

"Sampai usia seratus tahun sekalipun?"

"Ya."

"Kamu optimis banget."

"Aku tahu kamu juga."

Starla tersenyum.

"Jadi, menurutmu apa yang harus kulakukan?"

"Untuk keliling dunia?"

"Ya."

"Jadi travel writer?"

"Hmmm, bisa. Tapi siapa yang mau ngajarin aku nulis?"

"Aku."

"Bener?"

"Janji." Aku mengulurkan tangan. Starla menyambutnya.

"Hei, tugasmu gimana?" kataku.

"Oh iyaaa!"

Kami tertawa, lalu kembali tenggelam dalam tugas kimia dasarnya.

***

Mentari pagi di hari minggu telah menyeruak dari balik gunung. Ia membuyarkan embun yang menyelimuti dataran tinggi Bandung. Tanah yang basah menimbulkan aroma khas untuk dinikmati setiap orang. Warga mulai keluar rumah untuk sebagian berdagang, dan sebagian lagi membersihkan pekarangannya. Suasana yang santai di hari libur membuat siapa pun menjadi ingin bermalas-malasan.

Tebing Keraton Dago Bandung, saat ini belum terlalu ramai karena baru beberapa tahun lagi ia menjadi viral di media sosial. Hanya tiga puluh menit dari terminal Dago dengan menggunakan sepeda motor, kami telah mencapainya.

Starla berjalan di sampingku usai kami memarkir sepeda motor. Wajahnya berseri-seri. Tanah kering berpasir di sini cukup licin bila dipijak. Hutan yang penuh dengan pepohonan hijau menghiasi pemandangan dan gunung-gunung di sekitarnya. Kabut menghiasi sekitar kami, memberikan sensasi luar biasa yang tidak akan mudah dilupakan.

Perlahan sinar matahari mulai membelah kabut. Keindahan gunung Tangkuban Parahu juga nampak dari kejauhan. Tidak ada pemandangan yang layak dilewatkan di sini.

"Makasih udah bawa aku ke sini, sekarang aku jadi senang makan," katanya.

"Lho, efeknya malah ke makan ya?"

"Ya gimana, enak sih," ia tertawa.

"Soalnya makanan di sini alami,"

"Bagus, supaya gemuk,"

"Ayo kita jalan, biar sarapannya turun,"

"Yuk,"

Kami berjalan berjejeran. Sesekali mata Starla kudapati sedang menatapku, saat aku mencuri pandang ke arahnya. Butir-butir keringat mulai muncul di wajahnya saat perjalanan kami mulai jauh.

"Mau minum?" tanyaku.

"Aku bawa, kamu?"

Aku mengeluarkan botol minuman dari tasku.

Tak terasa kami telah mencapai daerah Dago Pakar. Pemandangan dari tempat ini sungguh menyejukkan hati. Awan-awan yang menyelimuti kota Bandung terlihat jelas. Kabut tipis masih mengelilingi kami. Kuhembuskan napas, dan uap air pun keluar. Starla melakukan hal yang sama. Kami tertawa cekikikan saat melakukannya.

Aku kembali menatap pemandangan kota bandung dari atas bukit.

"Pemandangan kayak gini, aku bisa berlama-lama di sini, entah sampai kapan,"

"Memang indah, Re,"

"Banget,"

"Aku jadi pengen punya rumah di sini,"

"Kalau gitu masukin ke janji kita,"

"Janji yang...waktu OSKM?"

"Iya, jadiin punya rumah di sini sebagai salah satu mimpi yang kita akan selalu saling ngingetin,"

"Boleh juga,"

"Jadi...?"

"Janji,"

"Janji,"

Kami bertatapan, tersenyum. Kabut tipis masih menyelimuti kami. Angin sepoi-sepoi meniup rambut Starla yang sebahu. Matahari mulai ditelan awan. Titik-titik air menimpa rambut kami.

"Eh, gerimis..." katanya.

"Ayo..."

Kami pun berlari-lari kecil meninggalkan tempat itu, mencari tempat teduh. Tangan kami bergandengan. Akhirnya kami temukan sebuah warung, lalu kami masuk dan memesan bandrek.

"Hujan pertama di bulan September," kataku.

"Iya, bener juga ya?"

Tangan kami masih bergandengan, melihat rintik hujan turun dari langit yang putih.

"Ada banyak misteri di Tebing Keraton ini," kataku.

"Oh ya? Apa aja?"

"Ada tapak kaki raksasa di desa Cilame, diyakini ada hubungannya dengan Tebing Keraton. Selain itu ada sumber mata air dengan debit air yang sangat besar, namun tidak pernah habis. Persis di bawah puncak bukit Tebing Keraton,"

"Banyak juga ya, jadi penasaran,"

"Kapan-kapan kita lihat, sayang kalo dihabisin sekarang,"

"Jadi pengen sering ke sini,"

"Banyak lho tempat-tempat di Bandung yang indah kayak gini,"

"Aku juga baru sadar, padahal sejak lahir udah di Bandung,"

"Karenanya sekarang kita jelajahi,"

"Makasih ya udah mau ajak aku,"

"Makasih terus dari tadi,"

Starla tertawa.

"Gerimisnya udah reda. Yuk jalan-jalan lagi,"

"Yuk,"

Kami membayar bandrek, dan mulai pergi.

Hari Minggu tak terasa telah berakhir. Kembali kuantar Starla pulang setelah puas berkeliling. Tante Ina membukakan pintu pagar saat kami tiba.

"Gimana, seneng jalan-jalannya?" tanya Tante Ina.

"Seneng, Ma" jawab Starla.

"Tante," sapaku.

Tante Ina mengangguk tersenyum.

"Minum apa?" tanya Starla.

"Air putih aja, makasih," jawabku.

"Capek?" tanyanya usai kuhabiskan airku.

"Lumayan, kamu?"

"Dikit,"

"Besok kuliah biasa jam sembilan?"

"Iya,"

"Kujemput jam delapan lagi seperti biasa ya?"

"Oke, makasih ya,"

Aku pun pamit pada Tante Ina, dan pulang. Mengakhiri sebuah akhir pekan pertamaku bersamanya yang selalu kuimpikan. Besok akan menjadi awal pekan yang baru.

***

Sabtu pagi yang mendung, kami bertemu di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga). Di sini terdapat berbagai macam fasilitas olahraga. Dari mulai lapangan sepakbola, futsal, basket, volleyball, kolam renang, hingga lintasan lari. Tempat ini membebaskan mahasiswa dan mahasiswi untuk masuk dan menggunakan fasilitas jalur lari tanpa dikenakan biaya, selama mereka menunjukkan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM).

Aku dan Starla memandangi lintasan yang mengelilingi lapangan sepakbola.

"Udah seminggu nggak olahraga, rasanya pegel-pegel," kataku.

"Aku juga, untung sempet ke sini ya sekarang,"

"Kamu kan udah olahraga otak tiap hari,"

"Ah engga, kalo olahraga otak terus nanti cepet tua"

Kami tertawa.

"Ayo, kuat berapa keliling?" tanyaku usai pemanasan.

"Hajar aja, sepuluh keliling?"

"Ayo!"

"Mulai!"

Kami berlari dengan pelan. Satu keliling, dua keliling, tiga keliling, napasku masih terjaga. Sepanjang lintasan berkali-kali aku melirik ke arah Starla. Ia juga melirik ke arahku.

Lintasan keenam berhasil kami lalui, napasku mulai memburu, tapi bisa kukendalikan. Begitu juga napasnya. Hingga lintasan ketujuh, kami masih dapat melaluinya. Baru di akhir lintasan kedelapan, kami mulai terengah-engah.

Kuulurkan tanganku.

"Ayo, satu lagi!" kataku.

Starla menggenggam tanganku.

Kami berlari bergandengan tangan. Satu lintasan, lalu masuk ke lintasan terakhir. Langkah kami mulai melambat.

"Dikit lagi, ayo!" kataku.

"Ayooo!"

Setengah lintasan, dan kami mulai melambat.

"Setengah lagi!" kini Starla yang berbicara, lebih terdengar seolah menggumam.

"Hajar!" kukerahkan seluruh tenagaku.

Seperempat, tiga perempat.

"Dikit lagiii!!" aku tidak mau kalah.

"YESSS!!!" teriak Starla begitu kami mengakhiri lintasan kesepuluh kami.

Kami duduk di lapangan rumput, dengan napas terengah-engah. Segera kami teguk air minu kami.

"Habis nggak?" tanya Starla tertawa.

"Tinggal kurang dari seperempat." Jawabku.

Kami tertawa.

Aku pun duduk bersila. Kuulurkan tanganku. Perlahan ia juga mengulurkan tangannya, dan ikut duduk bersila. Jari-jari kami bersentuhan.

"Re..."

"Ssst..."

Suasana pun berubah hening.

Kami saling bertatapan.

Mulut kami tidak saling bicara, namun aku yakin bahwa kami sedang berbincang.

"Starla, kalau kamu punya waktu dua puluh empat jam penuh untuk melakukan apa pun yang kamu suka, apa yang akan kamu lakukan?"

"Aku ingin bermain badminton seharian, tanpa ada yang mengganggu,"

"Lalu setelah kamu lelah bermain badminton?"

"Aku ingin minum kopi yang paling enak,"

"Apakah kamu membagi kopimu denganku?"

"Bukankah kamu sudah bermain badminton denganku, Ferre?"

"Badminton hanyalah awalan,"

"Awalan dari apa?"

"Dari petualangan-petualangan berikutnya,"

"Kenapa kamu suka sekali bertualang?"

"Entahlah, mungkin karena aku ingin membuatmu makan lebih banyak."

Entah berapa lama kami seperti itu. hingga sejumlah orang datang untuk juga memulai lari paginya.

"Mau sarapan?" tanyaku.

"Ayo." Jawabnya.

Kami pun membereskan bawaan kami, dan beranjak meninggalkan Sabuga.

***

Hari Senin baru saja berlalu. Hanya ada satu mata kuliah, yaitu kalkulus bagi kami, mahasiswa TPB. Pukul dua belas siang, kami telah pulang.

Starla membuka sendiri pintu depan, yang biasanya dibukakan oleh Tante Ina begitu melihat putrinya telah membuka pagar rumah. Rumahnya sepi saat kami tiba.

"Tante Ina ke mana?" tanyaku.

"Lagi ada acara sama teman-temannya,"

"Ooh,"

"Ferre, masuklah,"

Aku mengikutinya dan duduk di ruang tamu seperti biasa.

"Maksudku, ayo sini," ia mengajakku ke ruang tengah, bahkan memintaku duduk di meja makan.

Starla masuk ke kamarnya, lalu kembali dengan membawa sejumlah cetakan artikel.

"Kamu Ferre Praditya, perancang dan pemegang hak paten atas pesawat B-219 yang awal tahun kemarin sudah terbang perdana di Seattle," katanya.

Aku menunduk, lalu tersenyum.

"Kamu nyari aku di internet?" jawabku.

"Ferre, setiap ada laki-laki yang deketin aku, aku pasti nyari tahu soal latar belakangnya,"

"Pasti kamu udah banyak nyari latar belakang sejumlah laki-laki,"

"Dulu memang nggak semudah sekarang. Waktu SMA, aku harus nanya-nanya teman-teman sekelasnya kalau ada laki-laki yang deketin aku. Sekarang syukurlah sudah ada Google,"

"Dan kamu google aku?"

"Ya. Kejutan, aku nggak menemukan namamu di SMA manapun di Bandung atau kota lain di Indonesia. Namamu justru ada di Interlake High School, Seattle, sebagai murid paling berprestasi. Kamu murid SMA pertama yang berhasil membuat pesawat terbang,"

"Apa lagi yang kamu dapat?" kataku tersenyum.

"Well, ayahmu adalah juga seorang insinyur pesawat terbang. Merancang sebuah pesawat komuter dan dua buah pesawat penumpang berkapasitas di atas seratus orang. Beliau pasti jenius, dan kamu mewarisi kejeniusannya,"

"Bisa dibilang demikian, lalu?"

"Surprise lagi, kamu juga sempat terkenal sebagai penulis cerpen anak-anak sampai tahun 1998,"

"Iya, sebelum aku pindah ke Amerika,"

"1998 itu waktu umurmu tiga belas kan? Dan cerpen-cerpenmu sudah terkenal sejak 1991 atau 1992, artinya waktu kamu baru berumur enam atau tujuh tahun,"

"Begitulah," aku mengangkat bahuku.

Starla tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Kulihat tangannya di atas meja. Perlahan kusentuh punggung tangannya dengan, dan kutatap matanya lekat-lekat.

Tawanya berhenti.

"Jadi, sebenarnya apa yang mau kamu bilang?" tanyaku.

Starla balas menggenggam tanganku.

"Sebenarnya Cuma satu yang mau aku tanya," ia menatapku tak kalah lekatnya.

"Apa?"

"Why me?"

"Maksudmu?"

"Dengan semua yang kamu punya, kamu bisa dapetin banyak cewek. Nggak harus aku. Di kelompok OSKM kita aja, jangan jauh-jauh, ada Armin misalnya, atau Revi? Kenapa aku yang kamu deketin?"

"Karena kamu Starla Aurora,"

Ia terdiam, dan terpana.

Entah berapa lama kami bertatap-tatapan, yang kulihat hanyalah binar di matanya.

Tatapan yang kurindukan selama bertahun-tahun.

Mata yang selalu menjadi bagian dari mimpiku sejak siklus kehidupanku yang pertama.

Ia, Starla Aurora, adalah kasih tak sampaiku, yang terpaksa tidak pernah kukejar karena dulu aku telah memilih Rita.

"Assalamualaikum!" pintu depan terbuka, suara Tante Ina memecah keheningan.

"Waalaikumsalam," jawabku dan Starla hampir bersamaan.

"Ma, ada Ferre," kata Starla tersenyum.

"Iya, Mama lihat motornya di depan," Tante Ina tersenyum kepadaku.

Aku menyalami dan mencium tangannya.

"Kalian sudah makan?"

"Belum, Ma," jawab Starla.

"Ayo makan. Ferre juga, ini Tante sudah masak tadi pagi, tinggal menghangatkan.

"Makasih, Tante,"

Kami pun makan siang bersama. Setelahnya aku pamit pulang. Starla mengantarku hingga gerbang.

"Mamamu tahu tentang latar belakangku?" tanyaku sebelum pergi.

"Tahu dong, aku googling bareng Mama tadi malam,"

Aku tertawa.

"Sampai besok," kataku pamit.

"Iya," jawabnya sambil melambaikan tangan.

Esoknya kujemput dia, lalu kami berpisah di kampus seperti biasa. Kami bertemu saat makan siang. Ia tiba lebih dulu di kantin GKU, melambaikan tangannya ke arahku yang mencarinya. Kami berajak, mengambil makanan prasmanan yang tersedia, lalu kembali ke meja kami.

Setelah itu kami pergi ke Salman untuk shalat. Pukul satu, kami kembali berpisah untuk kuliah. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul enam saat aku mengantarnya hingga gerbang rumahnya.

"Star..."

"Ya?"

"Kayaknya pembicaraan kita kemarin belum selesai,"

"Kemarin?"

"Iya, di meja makanmu,"

Ia tersenyum.

"Apa yang mau kamu bilang?" tanyanya.

"Ayo kita jalanin,"

Starla menunduk, tapi aku masih bisa melihat senyumnya. Beberapa saat kemudian ia menengadah, menatapku, lalu menggenggam kedua tanganku dengan kedua tangannya.

"Kita lihat apa yang akan terjadi ke depannya. Tapi yang pasti, aku menyambutmu," jawabnya.