webnovel

31

Aku masih memikirkan kejadian penyelamatan Bu Lastri. Hampir saja aku gagal menyelamatkannya. Selain itu, aku masih penasaran dengan keberadaan penjual siomay yang begitu tepat waktu.

"Kebetulan Mamang lagi mau ngambil air, Den." Kata si Mamang.

Sepertinya kecurigaanku terlalu berlebihan atas si Mamang. Aku jadi lupa bahwa aku harus segera mengemasi pakaianku. Beberapa hari dari sekarang, aku harus izin dari sekolah dan ikut terbang bersama Papa ke luar negeri.

Keberhasilan pesawat B-250 membuat kami sering bepergian ke Amerika. Beberapa kali Papa diundang untuk pergi ke Seattle untuk menyaksikan proses sertifikasi B-250. Pesawat ini hampir memenuhi syarat 1700 jam terbang untuk dinyatakan layak diproduksi secara massal.

Aku ikut diajak dan menyaksikan pesawatku menembus angkasa berkali-kali. Meskipun demikian aku belum pernah menaikinya. Dari menara pemantau, semua aktivitas pesawatku dapat terlihat. Pesawat yang menjalani uji terbang diikuti oleh satu pesawat pengintai. Pesawat pengintai ini berfungsi untuk merekam dan mendokumentasikan perjalanan pesawat uji. Selain itu, ia juga digunakan untuk melaporkan apabila ada yang terlihat tidak beres.

Kuperhatikan secara detil setiap aktivitas pesawatku. Tidak akan kulewatkan setiap momen yang terjadi. Karena tidak setiap kesempatan juga aku diizinkan ikut serta ke Seattle. Bagaimanapun aku harus tetap tampil sebagai seorang anak sekolah dasar.

Sejauh ini semua berjalan lancar. Tidak ada masalah yang berarti. Kalaupun ada, itu hanya masalah-masalah kecil seperti pemasangan baut atau hal remeh lainnya. Sebisa mungkin aku ikut ke Amerika untuk menyaksikan semuanya. Hidupku jadi benar-benar berubah karena di usia ini aku sudah sering bolak-balik Indonesia-Amerika.

Sementara di dalam negeri, demam serial Return of The Condor Heroes mulai melanda Indonesia, membawaku bernostalgia untuk kesekian ratus kalinya.

Nostalgia yang kujalani sambil kualami. Serial yang lebih populer disebut dengan "film Yoko" (mengambil dari nama tokoh utamanya, Yo Ko) ini menjadi kegemaran orang dewasa maupun anak-anak. Papa dan Mama kurang tertarik, tapi ibu-ibu tetanggaku hampir setiap hari membicarakan episode paling aktual dari serial ini.

Yo Ko yang Tampan dan Bibi Lung yang cantik sangat wajar jika menjadi idola masyarakat. Popularitas mereka bersaing dengan sinetron Si Doel Anak Sekolahan yang juga mulai merebut hati pemirsa dengan kisah cinta segitiganya. Tapi film Yo Ko lebih berpengaruh di kalangan anak-anak, sementara Si Doel sangat kuat pengaruhnya di dunia remaja. Karena apa yang terjadi di film Yo Ko membentuk karakter dan pola permainan anak-anak di masa ini.

Ketika diceritakan Yo Ko kehilangan salah satu tangannya, anak-anak menirukan bermain dengan memasukkan satu tangan ke dalam baju, menyisakan lengan baju yang melambai-lambai. Persis seperti yang ditampilkan Yo Ko. Golongan anak yang berusaha bersikap dewasa menasihati mereka.

"Kamu bener pengen tangannya buntung kayak Yo Ko?"

Jika dinasihati demikian, tidak terlalu banyak anak-anak yang menggubris. Namanya juga anak-anak.

Selain itu, aku kembali menjadi ketua kelas untuk kelima kalinya secara berturut-turut sejak kelas dua. Kupikir aku sudah seperti pemimpin orde baru yang tidak tergantikan.

Mau bagaimana lagi? Tidak ada murid yang bisa mencapai nilai sempurna untuk setiap pelajaran sepertiku. Bahkan para juara kelas lainnya tidak ada yang mampu menyamaiku.

Sementara mulai banyak anak yang absen setiap Sabtu. Bu Lastri kebingungan kenapa setiap Sabtu selalu saja lebih dari lima anak yang absen. Dulu misteri ini tidak pernah terpecahkan. Aku sendiri sekarang sudah tahu bahwa Sabtu pagi pukul sepuluh adalah waktunya RCTI memutar film Vampir.

Mereka semua membolos sekolah karenanya.

Budaya vampir ini cukup kuat. Menjadi permainan yang cukup populer dengan menempelkan kertas di dahi seseorang, lalu orang yang ditempeli kertas itu akan berlagak seperti vampir. Secara otomatis, tanpa harus diperintah.

Kelas enam yang menjadi tahun terakhirku di sekolah dasar selalu kukenang sebagai tahun terindah masa kecilku. Bahkan di siklus kehidupan pertamaku pun aku menjadi seorang superior di kelas.

Aku menjadi begitu gemar akan matematika dan sains saat itu, dan membuatku berubah dari pecundang menjadi tokoh yang disegani dalam kelas. Sayangnya hanya untuk pelajaran matematika dan sains aku superior.

Aku lemah dalam hapalan, dan hanya bisa meraih nilai bagus saat pelajaran sosial memasuki bahasan tentang gerakan tiga puluh September.

Filmnya kusaksikan setiap tanggal tersebut dan wajib diputar oleh semua stasiun televisi. Propaganda yang sangat kuat membuatku sangat mengidolakan Pak Harto dan bercita-cita menjadi Jenderal besar seperti beliau.

Nilaiku di pelajaran sosial naik drastis berkat subyek ini karena aku membacanya seperti membaca buku cerita.

Yang mengganggu kenikmatan hanya karena kami selalu ditakut-takuti dengan Ebtanas yang segera menjelang. Seolah Ebtanas merupakan hantu yang sangat mengerikan dan dapat membunuh masa depan kami.

Kini aku tak peduli. Kunikmati kelas enam dengan semaksimal mungkin. Selain investasi, yang kulakukan adalah bermain dan menonton televisi. Serial Kisah Kasih Abadi yang ditayangkan RCTI dan tidak sempat kusaksikan akhir ceritanya karena aku kebagian masuk sekolah siang, kini kusaksikan. Walaupun aku harus bolos.

Tidak ada yang protes dengan bolosnya seorang peringkat satu.

Kuborong komik-komik tahun ini. Kumkom, Dragon Ball, Kung Fu Boy, juga Tapak Sakti, Pukulan Geledek, Tiger Wong, dan lainnya. Kunikmati indahnya membaca di loteng seperti dahulu kala.

Kupimpin tim sepakbola sekolah maupun jalanan menjadi juara kompetisi.

Setiap Selasa siang adalah waktunya pelajaran olahraga yang menjadi favorit kami. Hanya di waktu inilah kami bisa bermain sepakbola.

Bu Yani melarang keras murid-muridnya bermain sepakbola di luar jam pelajaran olahraga. Alasannya adalah ia tidak suka kelas kami menjadi bau keringat.

Gacok, Rendy, dan para pembangkang beberapa kali mencoba melanggarnya dengan bermain sepakbola di jam istirahat. Ganjarannya adalah hukuman skors dari Bu Yani.

Baru setelah mendapatkan skors dari Bu Yani, semua anak patuh dan hanya bermain sepakbola pada hari Selasa sore.

Pak Endang, guru olahraga kami, membagi murid laki-laki menjadi dua grup dengan jumlah sama banyak. Lalu beliau memerintahkan kami bertanding.

Aku yang secara tidak resmi telah menjadi pencetak gol sepanjang masa, kini diperebutkan oleh kedua grup agar bermain untuk mereka. Gol-gol indah yang kutiru dari gaya Ronaldo dan Vieri membuat tim yang kubela tidak pernah kalah. Sebaliknya, kami selalu menang dengan selisih gol di atas lima.

Setiap hari Selasa sore itu, kami selalu kecewa saat bel tanda pelajaran sekolah telah berakhir berbunyi. Artinya kami harus menunggu sepekan lagi untuk bermain sepakbola di sekolah. Memang kami bisa bermain di lapangan perumahan, tapi bermain sepakbola di sekolah memberikan sensasi tersendiri.

Setiap pulang sekolah di Selasa sore, kami masih menggiring bola yang baru kami mainkan seiring perjalanan kami ke rumah. Kami berkejaran di jalanan, saling merebut bola, hingga satu demi satu berpisah untuk menuju rumah masing-masing.

Setiap Senin, Rabu, dan Jumat Bu Yani mengadakan les di rumahnya. Rumah beliau tidak jauh dari rumah kami.

Seperti kelas-kelas sebelumnya, waktu les disesuaikan dengan jadwal masuk sekolah. Hanya saja Bu Yani lebih tertib administrasi.

Jika Bu Ami dan Bu Lastri membebaskan tarif les dan menerima kapanpun dibayarkan maupun berapa jumlahnya, maka Bu Yani membuat semacam kartu tanda bukti pembayaran.

Kartu yang terdiri atas dua belas kolom yang setiap bulan akan diparafnya satu buah, menandakan lunasnya pembayaran bulan itu. Tarifnya juga jelas, lima belas ribu rupiah satu bulan.

Sementara harga bahan bakar premium saat ini masih dua ribu rupiah, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika masih dua ribu lima ratus.

Hanya saja sebagian teman-teman mengikuti les karena diperintahkan oleh orangtua masing-masing. Banyak yang tidak serius, sehingga tidak menambah apa pun.

Saat yang kami gemari adalah ketika pulang les, kami bersepeda beriringan, melintasi kompleks perumahan maupun menembus kampung-kampung penduduk. Biasanya itu kami lakukan jika sedang mendapatkan jadwal sekolah pagi, sehingga jadwal les kami menjadi siang hari, dan berakhir pada pukul empat.

Pada jam tersebut matahari sedang hangat-hangatnya menjelang malam. Kegiatan bersepeda kami menjadi lebih indah ketika matahari mulai menampakkan cahaya khasnya menjelang terbenam. Tidak ada yang kami lakukan sambil bersepeda, hanya tertawa-tawa tanpa beban. Tujuan pun tidak ada, cukup mengikuti ke mana kaki kami mengayuh.

Selain itu, semakin kugemari permainan mengejar layang-layang putus bersama teman-teman. Kami berkejar-kejaran, memprediksi arah jatuhnya layang-layang, sambil saling menjatuhkan.

Harga layang-layang tidak seberapa, hanya dua ratus rupiah. Sementara uang jajan anak-anak pada saat itu telah mencapai lima ratus rupiah setiap harinya.

Jadi jelas, yang diburu bukanlah layang-layang gratis, tapi lebih kepada persaingan. Semua perbuatan curang, saling jegal, saling menghambat, adalah demi kebanggaan mendapatkan layangan. Seolah orang yang mendapat layangan putus adalah orang yang baru saja memperoleh piala.

Pada akhirnya layang-layang yang semula diperebutkan akan rusak saat mencapai bumi. Entah karena sejak awal putus memang sudah rusak, atau rusak akibat diperebutkan.

Seingatku tidak ada anak yang mempersoalkan layang-layang rusak tersebut.

Tak seorangpun nampak kecewa melihat benda yang mereka perebutkan justru rusak dan tak bisa dimiliki ataupun dimainkan.

Kesenangan sesungguhnya adalah saat berebut mengejar layangan putus.

Kudatangi tukang cendol yang mulai berdagang di tahun ini, dengan keunikannya berupa campuran roti di dalamnya. Sampai akhir siklus kehidupan pertamaku, belum pernah lagi kutemui cendol yang dicampur roti.

Ebtanas tentu saja kulewati dengan mudah dan mencapai nilai sempurna.

Selain itu, kami juga merasakan sedihnya perpisahan. Ketika masa sekolah dasar berakhir, kami semua bertangis-tangisan. Semua rasa kesal atau ketidak sukaan yang ada, seolah berbalik menjadi rasa sayang.

Semua tidak ingin kehilangan.

Masa enam tahun berada di satu kelas membuat kami sudah seperti saudara. Aku heran kenapa aku juga merasa sedih, padahal aku telah mengalami ini sebelumnya.

Selain itu, melihat pengalaman Bu Neneng, sepertinya aku akan mengalami ini semua lagi. Entah sampai kapan.

Aku memeluk teman-temanku, satu per satu, tanpa kecuali. Aku juga tidak lupa meminta maaf atas perilakuku selama enam tahun ini. Kusadari arogansiku untuk balas dendam bisa jadi melukai perasaan sejumlah orang di antara mereka.

Kusewa sebuah vila di Lembang, dan kuundang mereka untuk menginap sepekan penuh. Semua keperluan termasuk makanan dan kebutuhan lainnya menjadi tanggunganku.

Itulah akhir sekolah dasarku, kami berpisah, saling mengucapkan terima kasih untuk enam tahun yang indah. Sebagian dari diriku berharap akan mengulangi ini semua lagi, lagi, dan lagi.

Di siklus kehidupanku berikutnya.