webnovel

19

Besoknya telah menjadi hari yang baru.

Jam pelajaran pagi dimulai, anak-anak yang dikomandoi oleh ketua kelas memberi salam kepada wali kelas yang baru masuk.

"Sikap! Beri salam!" teriak ketua kelas.

"Seeeelaaaaamaaaattt....pagiiiiii....Buuuuu....!!!!!" Salam dengan irama yang seolah merupakan sebuah lagu, rutin kami lakukan setiap hari sekolah, sampai enam tahun ke depan.

Seperti yang kuduga, Rendy dan Gacok masih bermain bersamaku, seperti tidak pernah terjadi perkelahian. Mereka memang benar-benar masih anak kecil. Tidak seperti jika perkelahian kemarin terjadi sepuluh tahun dari sekarang, kejadian kemarin sangat bersih dari dendam. Kami bermain bola, ucing-sumput, galasin, dan lainnya. Bedanya, aku adalah pemimpin mereka sekarang.

Aku memimpin permainan ucing-sumput dengan strategi yang brilian. Ini adalah permainan petak-umpet versi anak-anak Bandung. Seorang anak yang terkena giliran menjadi "ucing" alias pencari harus menutup matanya dengan menangkupkan wajahnya di dinding dan menghitung sampai sepuluh. Setelahnya, ia harus mencari semua peserta lainnya.

Menemukan seorang peserta bukan berarti ia menang. Mereka tetap harus berpacu ke dinding tempat si "ucing" menangkupkan tangannya saat menghitung tadi dan menyentuh area tersebut sambil berteriak "dua-lima!".

Sampai kini aku tidak mengerti apa maksud dua-lima di sana.

Jika si "ucing" berhasil menyentuh dinding tersebut, maka resmi ia berhasil mengalahkan si anak yang ketahuan tempat persembunyiannya. Jika sebaliknya, si anak tadi akan mendapat predikat "pembela".

Setelah semua anak ketahuan tempat persembunyiannya, maka si "ucing" akan kembali menangkupkan tangannya ke dinding sementara semua anak lain berbaris di belakangnya.

"Ucing" akan memilih nomor secara acak, dan anak yang berdiri di antrean nomor yang disebut si "ucing" akan menjadi "ucing" berikutnya. Jika sialnya si "ucing" menyebutkan nomor antrean si "pembela", maka otomatis si "ucing" harus kembali mendapat giliran menjadi pencari. Selain itu, jika ada anak yang baru datang dan bergabung di tengah permainan, ia otomatis menjadi "ucing".

"Rendy, Gacok, kalian sembunyi di tempat yang terpisah dan jauh, terus nanti usahain agak kelihatan sama ucingnya,"

"Hah? Buat apa?" timpal Rendy.

"Gini, pas kalian ketauan, yang lain cepetan keluar, dan rebut posisi pembela. Ucingnya pasti gak bisa ngejar,"

Mereka mengangguk-angguk.

Saat si "ucing" sibuk mencari Rendy dan Gacok, aku dengan santai berlari ke dinding dan berteriak "dua-lima!". Itu kami lakukan dengan beberapa orang sehingga jumlah "pembela" menjadi sangat banyak.

Sederhana, namun brilian untuk ukuran anak seumur mereka (kami). Serta semakin menegaskan kepemimpinanku di antara mereka. Usai permainan, semua anak mengikutiku di belakang saat berjalan pulang.

Aku telah menjadi ketua geng.