webnovel

12

Tanpa terasa, tahun baru 1990 telah tiba.

Selama lebih dari satu bulan aku telah beberapa kali mengikuti Papa dan Mama berjalan-jalan di akhir pekan. Bandung belum menunjukkan kemacetan yang pada masa kehidupanku sebelumnya telah membuatku frustrasi hampir setiap hari. Mobil-mobil yang beredar masih didominasi oleh jenis minibus. Cukup jarang kulihat sedan.

Sampai saat ini aku masih menyusun rencana apa saja yang hendak kulakukan. Terlebih aku masih menikmati suasana masa kecilku yang tanpa beban. Aku bisa bermain atau menonton televisi seharian tanpa ada yang protes, walaupun acara televisi yang ada juga hanya TVRI dan setengah hari RCTI.

Masa depan masih panjang, berbagai hal telah ada di pikiranku.

"Presiden Soeharto hari ini mengumumkan..."

Suara berita di radio warung pinggir jalan, radio butut kuno, berukuran kotak besar terdengar saat aku melewatinya. Semua sudah pernah kudengar, walaupun aku sudah lupa, setidaknya suara itu tidak asing di telingaku.

Sambil Mbok Jah menggandengku pulang sekolah, tidak bosan-bosannya kupandangi sekeliling. Entah ada yang menyadari atau tidak, pasti aku memandang semuanya dengan tatapan takjub.

Dunia ini begitu indah, bahkan sangat indah. Walaupun dengan tubuh kecilku yang sebahu Mbok Jah pun tidak, aku bisa menikmatinya. Mungkin karena itu juga orang-orang tidak ambil pusing dengan tingkah lakuku. Aku berjalan dengan sangat ceria dan tertawa-tawa.

Suara pesawat terbang menderu melewati kami. Anak-anak kecil berlarian mengejarnya, bersama-sama mereka pun berteriak, "Kapaaaaal....minta duiiiittt!!!"

Aku bahkan sudah lupa tentang kebiasaan ini. Entah siapa yang pertama kali memulainya, tapi memang demikianlah kebiasaan kami. Meminta uang dari pesawat terbang yang lewat.

Bandung yang indah, dingin, dan seringkali berkabut. Aku sudah hampir lupa bahwa Bandung pernah berada dalam keadaan seperti ini. Sekarang aku kembali menikmatinya.

Semuanya masih terasa seperti mimpi bagiku.

Dunia ini lebih indah daripada dunia yang kutinggalkan.

Tidak pernah terbersit di pikiranku bahwa aku akan mengalami masa-masa ini lagi. Ini adalah zaman ketika hampir setiap sore aku dapat menyaksikan Pak Raden membawakan dongeng boneka Unyil di TVRI.

Pak Raden dan seluruh warga Desa Sukamaju ciptaannya, yang dulu (sekarang) begitu digemari anak-anak seusiaku, termasuk aku di kehidupanku yang dulu. Anak-anak yang di rumahnya tidak memiliki televisi berkumpul di rumah tetangga yang lebih beruntung karena memiliki benda tersebut.

Setiap sore hari tiba, suasana rumah yang memiliki televisi di perkampungan sudah seperti rumah yang mengadakan pengajian. Teras rumah dipenuhi alas-alas kaki yang berserakan. Belasan bahkan bisa puluhan orang datang hanya untuk menonton televisi, sebagian di antara mereka hanya kebagian menonton dari luar pagar karena ruangan dalam rumah sudah tidak tersisa.

Sementara warga yang memiliki televisi akan ditarik iuran berlangganan oleh TVRI. Besarnya bervariasi, tergantung ukuran televisi. Paling kecil adalah seribu rupiah, sementara televisi paling besar dikenakan iuran paling mahal enam ribu rupiah setiap bulannya.

Setiap bulan, petugas dari TVRI menagih iuran bulanan televisi dengan formulir berwarna pinknya yang khas. Petugas berseragam hitam-putih yang rutin mendatangi kami. Pada masa ini juga sudah marak yang dinamakan penipuan. Lahan yang bisa digunakan antara lain iuran televisi ini.

Sejumlah oknum mengaku pegawai TVRI dan berpura-pura menagih iuran televisi. Sayangnya saat ini kejahatan belumlah terlalu canggih. Penipuan seperti ini begitu mudah dikenali. Antara lain para penipu tidak berpakaian layaknya pegawai TVRI.

Mereka juga hanya menggunakan kertas fotokopi yang diakui sebagai formulir. Sepertinya kertas cetak berwarna merah muda masih sulit didapat. Ataupun kalau ada, harganya cukup mahal sehingga para penipu memilih untuk tidak menggunakannya.

Aku mengetahui ciri-ciri para penipu ini. Aku juga bisa membedakan mana petugas TVRI yang asli dan bukan, hanya dari penampilan. Sangat mudah sebenarnya, penjahat di masa ini belum secanggih penjahat di masaku. Tidak ada penipu yang benar-benar berdandan necis sehingga sulit dibedakan dari orang yang bukan penipu.

Petugas TVRI selalu berpakaian rapi dan tampak perofesional. Sementara para penipu terlihat jelas berusaha untuk meniru kerapian petugas TVRI, hanya saja mereka tidak punya cukup modal untuk membeli pakaian yang sama dengan petugas TVRI.

Maka ketika sejumlah orang yang mengaku sebagai petugas TVRI mulai memasuki area perumahanku, aku meminjam kamera "tustel" milik Papa. Aku bersembunyi di dalam rumah, dan begitu mereka datang, aku mengambil gambar mereka dari dalam secara diam-diam.

Aku harus bersembunyi di balik kursi karena kaca depan rumahku belum berupa kaca Rayban. Jadi, pasti aku bisa terlihat dari luar seperti aku melihat ke luar.

Untung saja diriku masih memiliki keahlian fotografi, sehingga dapat dengan mudah mengambil gambar mereka.

Kuberitahu Mbok Jah untuk tidak membukakan pintu, sementara aku bersembunyi dan membidik gambar orang-orang yang berada di terasku.

"Dek, ngapain?" tanya Mbok Jah.

"Ssst, mereka itu orang jahat, Mbok,"

"Tahu dari mana?"

"Nanti deh, sekarang saya foto dulu mereka, terus saya kasih ke Pak Kusmana,"

Mbok Jah menurut.

Pak Kusmana adalah tetanggaku yang sudah senior dan merupakan seorang pensiunan polisi. Meskipun telah pensiun, aku yakin bahwa ia pasti masih memiliki kontak dengan teman-temannya di kepolisian. Kepadanya kuserahkan foto yang telah dicuci setelah berhasil kuambil gambar orang-orang yang mendatangi rumahku. Orang-orang yang dengan kecewa pergi karena tidak ada yang membukakan pintu.

Beberapa hari kemudian koran Pikiran Rakyat memuat berita ditangkapnya sindikat penipu yang mengatasnamakan TVRI. Mbok Jah memberitahu Papa dan Mama bahwa ini adalah berkat laporanku kepada Pak Kusmana. Entah bagaimana cerita menyebar, tetangga-tetangga pun mengetahui jasaku tersebut. Mereka berdatangan ke rumah kami dan memujiku.

Kutanggapi mereka dengan senyuman.

Bagiku semua itu hanya selingan. Era 90-an baru akan menjelang. Kejadian dengan Dimas membuatku sadar akan posisiku saat ini. Posisi dan keuntunganku berada kembali di masa lalu.

Aku tahu semua yang akan terjadi. Aku tahu bagaimana harus bertindak. Aku bisa melakukan apa pun. Begitu banyak pilihan yang bisa kubuat mulai sekarang.

Dunia terbuka lebar, begitu juga dengan masa depan.