webnovel

11

Aku memilih ikut membuka pintu dan melihat apa yang membuat gaduh.

Bu Anne, salah satu guru, sedang dipapah dan lalu dibaringkan di ruang guru.

Sebentar... rasanya aku ingat ini semua. Aku ingat kegaduhan ini. Bu Anne... guru kelas sebelah yang baik hati itu. Setelah ini ia akan diopname. Begitu cerita Mbok Jah yang kuingat beberapa hari setelahnya, di kehidupanku yang dulu.

"Bu Anne diopname, kepalanya pusing." kira-kira demikian kata Mbok Jah ketika itu.

Tapi ada hal yang buruk...lebih buruk lagi. Ya, Bu Anne setelah ini akan meninggal. Ia akan meninggal setelah lebih dari sepekan diopname!

Aku berlari ke luar saat Bu Anne hendak dibawa.

"Pak! Pak! Mau dibawa ke mana???" kataku pada seorang Bapak yang membawa Bu Anne.

"Ke puskesmas, dik,"

"Pak, bawa ke Santosa!!" seruku menyebut nama rumah sakit yang letaknya kira-kira lima kilometer dari tempat kami sekarang.

"Santosa?" jawab si Bapak keheranan.

"Iya, Rumah Sakit Santosa, Pak." Terangku.

"Di mana itu?" tanyanya lagi.

"Apa itu Santosa, Ferre?"

Ya Tuhan, orang-orang ini, bagaimana mungkin tidak tahu nama rumah sakit yang baru itu.

Tapi...tunggu..baru?

Rumah sakit baru?

AAAAHHHH....

Santosa baru berdiri sekitar 2016.

"Ke Immanuel, Pak! Bu!" ralatku.

"Lho, Immanuel kan jauh, Dik. Puskesmas saja yang dekat," kata si Bapak.

"Dia perlu diperiksa, Pak! Bu Anne bukan pusing biasa!!"

Semua tertegun.

"Ferre, kamu bicara apa?" kata Elly.

Lalu aku terkesiap, bahkan mungkin tidak semua dari mereka yang tahu apa penyakit Bu Anne. Aku saja baru mengetahuinya empat tahun dari sekarang. Lagipula, siapa yang akan percaya ucapan anak yang belum genap berusia lima tahun?

Baiklah, tidak ada jalan lain. Aku menghambur ke arah bu Anne yang terduduk lemas. Kusingkap lengan bajunya, lalu kuremas tangannya sekeras mungkin.

"Ferre, kamu apa-apaan???" kata Ivonne, ia berusaha menarikku.

Tenagaku tentu tak seimbang dengannya. Tapi tetap kupegangi tangan bu Anne.

"Bu, tolong! Biarkan saya memegang tangannya sebentar lagi!"

"Ferre, kasihan bu Anne!" Ivonne masih menarikku.

Tetap kucengkeram lengan Bu Anne, sekeras mungkin, sekuat tenaga, sambil Ivonne terus menarikku. Empat...lima, enam, hingga sepuluh detik, akhirnya aku tak kuat lagi.

Cengkeramanku terlepas.

"Sudah Pak, dibawa saja," Kata Ivonne.

"TU...TUNGGU!!!" aku paksakan untuk berteriak.

Hampir tidak ada yang menanggapiku.

"LIHAT TANGANNYAAA!!!!" teriakku dengan segenap tenaga sisa.

Mereka menoleh, melihat arah telunjukku ke tangan Bu Anne.

"Lihat..." kataku sambil terengah-engah.

Orang-orang melihat ke arah lengan Bu Anne.

"Berbintik-bintik merah... itu demam berdarah. Kalau dibiarkan, dia akan meninggal." lanjutku.

Mereka semua mengerumuni Bu Anne. Lalu tampak berdiskusi.

"Tolong, bawa Bu Anne ke Immanuel, saya mohon..." kataku sebelum terduduk lemas.

Semua langsung tergopoh-gopoh membawa Bu Anne. Sepertinya mereka benar-benar membawanya ke Rumah Sakit Immanuel.

Matahari terik saat itu, tapi aku menghembuskan napas lega.

Jam pelajaran berakhir tak lama setelahnya, kami semua pulang.

***

Satu bulan kemudian, Bu Anne telah mulai kembali mengajar.

Aku memandanginya dengan takjub. Di kehidupanku sebelumnya, kejadian Bu Anne yang dibawa ke puskesmas adalah saat terakhir aku melihat beliau. Aku bahkan tidak pernah menghadiri pemakamannya.

Kini, ia kembali mengajar seperti biasa.

Bu Anne hidup.

Bu Anne tidak jadi meninggal.

Aku tersenyum puas, tapi lama kelamaan aku merinding.

Aku telah mengubah sejarah. Dua kali, paling tidak. Pertama tentang Dimas, kini Bu Anne. Semuanya tidak akan sama lagi, sama sekali tidak.

"Ferre!" suara ceria Bu Anne usai jam pelajaran memanggilku.

Aku menoleh, lalu rasanya seluruh tubuhku seperti tidak ada darahnya.

Bu Anne tersenyum, mendekatiku.

"Kata guru-guru, kamu yang menyelamatkan Ibu." Bu Anne masih tersenyum.

Aku tidak menjawab, masih termenung memandanginya.

"Kalau Ibu nggak dibawa ke Immanuel saat itu, mungkin Ibu sudah meninggal saat ini. Setidaknya itu kata dokter." Lanjutnya.

Ya, ia memang seharusnya sudah meninggal. Orang yang seharusnya sudah lewat umurnya, kini berada di depanku.

Ia...tidakkah ia sama dengan hantu?

"Ferre, kok diam?"

"I...iya Bu,"

"Sekali lagi, terima kasih, ya! Ini Ibu belikan coklat Silver Queen buat Ferre,"

Kuterima coklat itu perlahan, dan tangan bergetar, mengucapkan terima kasih, lalu pulang. Sepanjang perjalanan, aku terus termenung.

"Ferre, kok diam saja dari tadi?" tanya Mbok Jah sambil masih menggandengku.

Aku memaksakan senyum. Peristiwa Bu Anne berputar-putar di kepalaku.

Apa yang telah kulakukan?

Aku telah mengubah takdir.

Benarkah perbuatanku ini?

Aku tidak pernah ingat apakah Bu Anne sudah menikah atau belum. Jika sudah, dan mungkin saja ia juga sudah memiliki anak, sebelum kehidupan keduaku ini tentu anaknya akan menjadi anak yatim. Mungkin juga suaminya akan menikah lagi.

Kini, suaminya tidak akan menikah lagi, dan tentu saja perempuan yang menjadi jodoh suaminya di kehidupanku yang dulu kini tidak lagi memiliki jodoh.

Lalu jika Bu Anne belum menikah?

Sekarang ia memiliki peluang untuk bersanding dengan seorang laki-laki. Laki-laki yang mungkin di kehidupan kami sebelumnya akan berjodoh dengan perempuan lain. Kini, perempuan itu tidak akan memiliki jodoh. Atau berjodoh dengan orang lain yang di kehidupanku sebelumnya sudah memiliki jodoh sendiri.

Ah, semuanya berputar-putar di kepalaku.

Gara-gara memikirkan itu, aku jadi tidak merasa lapar sampai sore hari tiba. Untuk menenangkan diri, kuputuskan untuk berjalan-jalan keliling kompleks tempat tinggalku.

Mbok Jah mengingatkanku dengan khawatir untuk tidak pergi jauh-jauh. Kukatakan padanya untuk tenang. Penculikan anak belum separah tiga puluh tahun dari sekarang. Sekalipun ada yang mau menculikku, aku tahu apa yang harus kulakukan.

Aku merasa seperti Detektif Conan.

Kupandangi lagi tanah-tanah kavling kosong yang bertebaran di mana-mana. Cahaya matahari senja masih sama dengan dunia yang kutinggalkan. Dari dulu sudah seperti itu. Hanya bedanya langit sore banyak dihiasi layang-layang. Juga seperti siang harinya, langit ini begitu bersih. Warna jingga siluet matahari terbenam benar-benar nyata, tanpa gangguan selimut awan putih tipis.

Tak lama kemudian suara sejumlah langkah kaki berdebum menghajar jalanan terdengar semakin dekat. Aku beralih ke pinggiran jalanan, membiarkan mereka lewat sambil memandanginya. Mereka yang memburu layangan jatuh, berlarian tanpa alas kaki, beradu dengan jalanan yang berbatu-batu runcing.

Betapa kuatnya mereka, pikirku.

Tak lama kemudian sekumpulan anak-anak lain datang, juga dengan berlari. Jika tadi yang memburu layangan adalah kumpulan anak laki-laki, kini anak perempuan dan laki-laki bekumpul di satu tempat. Mereka menggambar beberapa kotak yang terhubung di jalanan, lalu melompat-lompat di dalam kotak itu. Kuingat permainan mereka disebut dengan "engkle".

Aku telah kembali ke masa ini. Masa di mana tidak ada sakit hati, juga tidak ada tangisan kepedihan. Saat hidup hanya memikirkan jajan, main, main, dan main. Hari-hari yang hanya mengenal tertawa dan bergembira.

Di masa ini, generasi sembilanpuluhan benar-benar mendominasi jalanan.