webnovel

1.3: Kiel, Kierra, Leon

"Kak!"

Secepat kilat, Leon zei Vaseo berpindah tempat ketika melihat Kiel oleng di tengah duduknya. Sigap dia langsung berada di sisi sang Kakak dan menopang bahu lelaki itu. Kekhawatiran merajah pemuda berusia dua puluh tahun itu.

Dia mengkhawatirkan Kiel. Apalagi mendapati betapa pucat wajah lelaki di dekapannya ini. Praduga yang tidak-tidak terhempas begitu saja. Ia mengira sang Kakak merencanakan sesuatu yang buruk dengan memanggilnya kemari, mengingat seperti apa hubungan mereka.

Namun semua terhempas begitu melihat lelaki pirang di hadapannya.

Dari cara ia duduk, tampak betapa rapuhnya pria itu. Betapa pucatnya lelaki yang beberapa bulan ini jarang berinteraksi dan selalu mendekam diri di rumah saja ini.

Menggigit bibir, lelaki bertubuh tegap itu langsung bergerak, berusaha menggendong kakaknya. Dia buru-buru menelusupkan tangan ke bawah lutut si pirang dan hendak mengangkatnya menuju kasur.

Namun belum juga dia bisa mengangkat, dorongan pelan ia rasakan dari dalam dekapnya. Tidak kuat, tapi tak lemah. Di sana, di pelukannya, Kiel berusaha mendorongnya.

"Kak. Diam dulu, aku akan mengang—"

"Aku tahu semua orang membenciku."

Leon terhenyak. Dia menunduk melihat kakaknya menegang. Pandangan lelaki itu entah bagaimana menerawang jauh. Hati Leon berdebar kencang melihat ini. Ketakutan perlahan merangkak naik.

Dan ketika sang kakak mendongak ... saat si pemilik kelereng tosca itu tersenyum lemah ... segala rasio Leon seperti meledak.

Meski senyum itu tampak normal, ia bisa melihat sinar mata Kiel. Di sana ia dapati sedih, resah dan lelah.

Ia seperti lelah dengan semua kepalsuan.

"Kau pasti juga sama, Leon."

Leon tergugu. Tubuhnya menegang.

"A-ap—kakak bicara apa?!" Leon berseru. Ia terkejut setengah mati dengan ucapan lelaki itu.

Berbeda dengan Leon, jalan berpikir Kiel jauh melenceng dalam menginterpretasikan tindak tanduk sang adik. Ia bahkan sampai tak tahu bagaimana dan tiba-tiba capek ... capek dengan apa yang terjadi secara beruntun.

OG—original—Kiel, apa yang sudah kau lakukan, Gusti?! Ia bahkan sampai berteriak dalam hati.

Hei, bagaimana tidak?! Kalian melihatnya sendiri kan?! Apa yang tertera pada sistem begitu ia melihat adiknya masuk tadi?!

Dia merasa sudah melakukan hal tak senonoh dan adalah villain utama di sini hanya dengan mengetahui Leon termasuk dalam kandidat haremnya. Bima ... Bima yang terbiasa membaca novel-novel BL di kehidupan lalu, tahu pasti, seseorang dinyatakan menjadi capture target jika ada rasa terlibat antara kedua partisipan atau mereka memiliki 'sejarah'. Tapi hei! Ini ke adik sendiri lho! Ini incest! Atau jangan-jangan ada plot dimana sebenarnya Leon bukan adiknya?! Aish!

Dan dari situ Bima berpikir ... bagaimana bila OG Kiel diam-diam suka melakukan sexual harassment pada Leon? Itulah trigger sistem ini menjadikan Leon sebagai capture target.

Mavel, para maid, juga kesatria pasti mengetahui sexual harassment yang OG Kiel lakukan. Hanya saja karena kedudukan Kiel sebagai penerus Duke menjadikannya lebih tinggi dari siapa saja dan memiliki wewenang di bawah Duke, mereka tak bisa berbuat apa pun untuk menyelamatkan jiwa Leon yang malang; selain membuat Kiel dan Leon tak bertemu.

Karena itulah Mavel berbuat begitu tadi ... lalu itu juga alasan Leon kaku sekali di dekatnya.

Kalau bertanya mengapa Bima di tubuh Kiel tak ingat jika ia pernah melakukan sexual harassment, nah ini Bima pun tak mengerti. Ada banyak hal yang sukar dipahami. Apalagi fakta sepertinya tak 100% ingatan OG Kiel ia dapatkan.

Membulatkan tekad, Kiel mendorong Leon dan berdiri. Mantap, seolah tak terjadi apa pun, ia berjalan ke jendela super besar dan panjang di bagian Timur kamarnya. Dua tangan tertaut di belakang punggung. Sambil memunggungi Leon ia kemudian berkata, "Maaf sudah mengganggu harimu, kau bisa keluar sekarang."

Sesaat hening menerpa.

Leon terdiam, dia menganga.

What?! Siapa tadi yang menyuruhnya untuk kemari kalau lagi senggang?! Dan apa-apaan perlakuan ini?! Fvck!

Tak bisa menahan kecamuk emosi karena diperlakukan tak adil, Leon menaikkan suara, "selalu saja ... kau selalu saja seenaknya sendiri!" ia mengepalkan tangan kuat saat bicara hal ini. Matanya melotot sampai urat-urat di pelipis nampak.

Kiel bisa melihat hal ini. Serta merta dia merinding. Ngeri, ngeri ... Sepertinya original Kiel selalu memaksakan diri pada Leon sampai Leon bisa se-mengamuk ini.

"..." karenanya Kiel memilih bungkam. Matanya lurus menatap ujung pohon cemara yang jauh di sana dan sedang goyang-goyang.

"Kalau tahu kau begini, aku tak akan datang kemari! Sumpah, begitu nganggurnya kah penerus Vaseo Duchy ini sampai hobi membuang waktu orang lain?!" kalimat demi kalimat dengan nada tinggi terlempar.

Dari sini Bima tahu betapa Leon tak menghormati Kiel. Hatinya merasa dipelintir dengan fakta ini. Pedih mengarak dalam relung. Mungkin OG Kiel berduka menyadarinya, tapi Bima menjadi Kiel saat ini, tetap diam; kukuh ia memunggungi Leon. Punggungnya bahkan lebih ia tegakkan. Dalam pikiran Bima, ndang ngamuk o ndang wes, aku kuat—cepetan keluarin amarahmu dan gas pergi dari sini, aku kuat.

Namun belum juga Leon selesai mengata-katainya, tiba-tiba pintu kamar Kiel terbuka. "Kiel. Aku dengar mereka meminta kehadiranmu kemar—eh? Leon? Tumben melihatmu bersama Kiel. Ada apa?"

Di sini, Kiel langsung menoleh ke sumber suara. Ia memandang lurus ke arah perempuan ayu berambut pirang mentah yang sedang menggok dan menghampiri Leon itu. Ekspresi mukanya tak berbentuk. Keterkejutan merajah dan hasrat ingin mengumpat menonjol. Setitik amarah juga tampak di wajah kokoh si pirang.

Kierra, adik kembar Kiel, tak acuh dengan pandangan membunuh Kiel, dia justru lebih memperhatikan keberadaan Leon di sini. Perempuan berambut panjang lurus yang tengah dikuncir separuh ini memandangi adiknya penuh makna. Dia bahkan sibuk menjulurkan tangan dan menangkup pipi kanan lelaki setinggi 186 cm itu.

"Wah, ini benar kamu," ujar wanita ayu itu sembari merekahkan senyum dan mengusap-usap pipi Leon dengan ibu jari. "Kau tidak ada acara bermain hari ini? Kudengar Marcus sedang ada di sini," lanjutnya diikuti gerakan menarik pipi Leon kuat-kuat. Tampak sekali Kierra gemas pada adiknya. Kukunya sampai melesak di pipi Leon dan baru melepaskannya setelah pemuda itu mengaduh.

"Sakit, kak Ki ...," Leon cemberut, wajahnya bersingut kesal sedang tangannya mengusap-usap pipi yang panas. Interaksi ini sungguh berbeda dengan apa yang terjadi saat ia bersama Kiel, tak ada ketegangan di percakapan ini dan semua mengalir secara harmonis. Bahkan terdengar pula tawa lembut Kierra seiring tepukan sayang mendarat di punggung Leon.

Kiel melihatnya. Dan entah mengapa hatinya seolah teriris.

Dia ingin bergabung dengan mereka ... hanya saja ada secuil rasa di dada yang memberi tahunya jika 'jangan ... jangan kotori mereka dengan hawa keberadaanmu. Biarkan mereka berbahagia, dan cukuplah kamu menonton dari sini, di tepian ini.'

Membuang pandang, Kiel yang tak kuasa menahan perih di dadanya sendiri, memutuskan untuk bergerak ke meja besar beberapa meter darinya. Keberadaan meja ini tadi merupakan hal terakhir yang menarik perhatian Bima. Dia tak ingin langsung bekerja di hari pertamanya mendarat di sini. Ia ingin tahu lebih banyak. Namun agaknya hari ini tak mungkin dia pergi ke kota.

Meski dia baru selesai sarapan, dari posisi matahari yang terlihat dari tempat ia berdiri tadi, Kiel tahu ini sudah hampir tengah hari. Kiel berpikir lebih baik dia mempelajari dari kertas saja untuk hari ini. Karenanya dia duduk di belakang meja dan mulai memilih-pilih berkas.

Melihat saudara kembarnya sibuk sendiri, Kierra menghela napas. Ia berkacak pinggang sembari menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Apa yang dilakukan Kierra ini membuat Leon pun ikut memperhatikan lelaki pirang di sana. Dan mukanya yang kesal karena terus menerus digodai oleh Kierra, melunak.

"Kak Ki, apa maksud kakak tadi?" tanya meluncur dari bibir tipis sosok termuda di ruangan itu. Ia pandang Kierra lekat, menelisik dalam mikro ekspresi wanita di depannya. Dia tahu benar jika saat masuk tadi Kierra tampak emosi, yang artinya sesuatu terjadi pada si sulung.

"Tidak, tak ada apa-apa. Ah, ngomong apa sih kamu?" Kierra memukul lembut lengan Leon. Dia tertawa canggung di sini.

Leon berdecak. Sudah ia duga. Dia tak akan diberi tahu.

"Sudah, sudah. Kamu tidak pergi bermain?" membelokkan percakapan, Kierra bertanya tentang rencana Leon pergi. Bukan bermain sebenarnya, rencana Leon adalah pergi berpatroli, tapi duo saudara kembar ini terlalu demen untuk menganggap Leon sebagai bocah. Seluruh kegiatannya dianggap 'bermain'.

Leon melengos mendengar hal ini. Dia memonyongkan bibirnya, "permainan apa itu mencari penjahat? Apa lebih baik main-main saja ya mencari penjahatnya, seperti seseorang ...," Leon melirik ke arah Kiel. Tajam ia menyeringai. Dari sarkas yang terlempar, jelas ia mengindikasikan seseorang di sini adalah Kiel.

Kierra yang menyadari hal ini berpura-pura tergelak. Berikutnya sambil mendorong tubuh Leon ke arah pintu, Kierra berdendang, "Jangan begitu dooong~ Kapten kesatria laksanakanlah tugasmu dengan rajin dan jangan ada rasa tak ikhlas begitu~"

"Tapi kak!"

"Ingat, harus ikhlas, sayang! Kalau enggak, yang kamu dapat dari bekerja cuma capek!"

Mereka terus betukar kata sampai akhirnya Leon keluar dari kamar. Setelah dadah-dadah dan memastikan si hitam pergi, perempuan ayu berambut panjang itu langsung membanting pintu dan menguncinya.

"Tsk, tsk, kasar sekali ...," Kiel yang sedari tadi memperhatikan dua adiknya berkomentar sambil meletakkan lembaran yang telah ia setujui di tumpukan sebelah kanan. Selama Leon dan Kierra bergojek ria, Kiel mempelajari tugasnya dan langsung melanjutkan apa yang belum ia selesaikan.

Kierra membalas decakan Kiel dengan decakan pula. Dia menoleh ke arah saudara kembarnya itu, menatap sosok di balik meja tajam. Mukanya mengeras, keseriusan terpancar jelas dari mimik di sana. Ia kemudian berjalan mendekati Kiel. Langkahnya berdebam.

Uh-oh, sepertinya dia marah.

Dan benar saja, beberapa saat kemudian ... setelah sosok jelita sampai di depan meja Kiel, ia menaikkan tangannya. Sinar biru cerah menyelimuti seluruh tubuh.

Sedetik kemudian ... BLAAAAAM! dia menggebrak meja Kiel sampai seluruh kertas di atas sana jatuh berhamburan.

[]