webnovel

Untuk Apa Semua Itu?

Alexander terbangun akibat mimpi buruk sialan yang kerap kali datang beberapa waktu terakhir. Kelopak matanya mengerjap beberapa kali untuk mencari tahu ruangan apa yang sedang ditempati saat ini. Lima detik kemudian Alexander terbatuk-batuk, menyadari jika ia tidur di ranjang yang sama dengan Hailexa.

Ini kesalahan. Tidak, bukan kesalahan. Alexander tidak sengaja. Lagi pula mereka hanya tidur dalam artian sebenarnya.

Alexander memaki dirinya di hadapan cermin kamar mandi. Memalukan sekali. Film itu membuat rasa kantuk menguasai tubuhnya dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Parahnya, jika sudah tertidur Alexander akan sulit untuk dibangunkan.

"Ah, aku pikir kau pulang," sapa Hailexa ketika Alexander kembali. Gadis itu bersandar pada kepala ranjang dengan wajah yang sedikit basah.

"Belum. Aku pergi ke kamar mandi." Meskipun Hailexa memberikan izin untuk masuk ke kamar tidurnya, Alexander masih memilih untuk menggunakan kamar mandi di luar sana. "Maaf untuk semalam. Kau pasti kesulitan membangunkanku," tebak Alexander.

"Tidak. Aku tidak pernah mencoba untuk membangunkanmu. Setelah tahu kau tidur, aku langsung ikut tidur. Jangan meminta maaf."

Alexander menempatkan dirinya di hadapan Hailexa. "Jika tidak keberatan, bisakah kau memelukku sebentar? Aku terbangun karena mimpi buruk," pintanya tanpa menyebut mimpi yang seperti apa. Belum saatnya Hailexa untuk tahu.

Wajah Alexander tenggelam pada ceruk leher Hailexa. Hidungnya mengendus aroma khas tubuh yang mampu membuatnya jadi lebih tenang. Dalam beberapa detik Alexander teringat soal perlakuannya pada Hailexa kemarin, di mana telapak tangannya bergerak lembut tepat pada leher.

Alexander tahu saat Hailexa menunjukkan respons terkejut. Alexander juga tahu saat mata Hailexa tiada henti mengamati kamera pengawas.

"Apa sangat buruk, sampai-sampai tubuhmu bergetar," ujar Hailexa. Nadanya terdengar cemas.

"Sekarang sudah tidak lagi." Alexander menarik diri. Seketika wajah mereka berada dalam jarak dekat. Mata biru Hailexa memandang lurus padanya. Warnanya indah seperti kristal.

Tanpa disadari kening mereka bersentuhan. Napas Hailexa begitu terasa. Ketika Alexander menutup mata, bibirnya sudah bergulat dengan milik Hailexa. Satu tangan gadis itu menarik tengkuknya, sedangkan yang lain mengusap lengannya naik turun.

Suhu ruangan mendadak jadi lebih panas dari sebelumnya. Ini bukan ciuman lembut seperti yang pertama kali dilakukan. Keduanya beradu untuk saling merasakan. Tubuh Hailexa bergerak turun, sampai pada posisi berbaring.

Kini giliran Alexander mengambil alih. Setelah erangan kecil keluar dari bibir Hailexa karena kecupan pada leher, Alexander menyelipkan satu lengannya di bawah punggung gadis itu. Dalam satu kali gerakan, posisi mereka sudah bertukar. Hailexa kini duduk di atas pangkuan Alexander.

"Hailexa," panggil Alexander dengan napas yang tidak beraturan. "Jangan memaksakan diri. Bukan berarti aku menolakmu. Aku hanya ingin kau berpikir ulang."

"Kau tahu. Pernah sekali aku hampir melakukannya, namun tidak jadi karena muntah. Malam itu aku minum terlalu banyak. Saat kesadaranku kembali, aku bersyukur dan tidak lagi minum saat pesta."

"Tidak peduli dengan siapa, kau hanya boleh melakukannya saat sudah siap. Jangan buat dirimu menyesal."

Hailexa turun dari pangkuan Alexander sambil tersenyum. "Aku akan ambil air. Kau tunggu di sini dan jangan tidur," ledeknya lalu segera berlari keluar.

Alexander berjalan ke arah jendela untuk membuka tirainya. Sekarang kamar Hailexa menjadi jauh lebih terang. Tatapan Alexander jatuh pada meja yang mungkin digunakan Hailexa untuk belajar. MacBook, beberapa buku, tumpukan kertas, serta alat tulis tersusun rapi di atasnya.

Cybercrime and Digital Forensics.

Cyberspace, Cybersecurity, and Cybercrime.

Untuk apa mahasiswa Sastra Inggris belajar kentang kejahatan di dunia maya? Bukankah mereka seharusnya belajar soal literatur, menulis essai, atau linguistik. Kenapa juga Hailexa membaca soal forensik digital. Ini jelas-jelas bukan buku yang direkomendasikan.

"Kau akan pulang pukul berapa?"

Alexander mencoba untuk bersikap tenang saat mendengar suara Hailexa. Kakinya juga melangkah menjauhi meja. "Sekarang. Daddy membutuhkan bantuanku," kilahnya. "Aku akan kirim pesan jika sudah tiba. Terima kasih sudah mengizinkanku menginap."

"Hati-hati," pesannya.

Tidak ada yang namanya membantu Terry. Rumah sedang sepi sejak dua hari lalu. Terry dan Emma pergi ke Milan untuk alasan yang tidak Alexander ketahui. Mereka hanya bilang jika akan pulang hari ini.

Tujuan utama Alexander saat ini adalah rumah Austin. Reiji Foley—ayah kandung Austin merupakan seseorang yang bekerja pada bidang teknologi. Setelah melihat buku milik Hailexa, rasa penasaran Alexander naik drastis. Reiji dianggap sebagai orang yang tepat untuk membantu mengatasi rasa penasarannya.

"Alex. Bagaimana kabarmu, Nak?" tanya Reiji yang duduk di halaman belakang.

"Sangat baik. Austin belum bangun?"

"Sudah. Aku memintanya untuk memindahkan barang ke gudang. Kau ingin sarapan apa?"

Alexander menggeleng. "Tidak perlu. Aku akan sarapan di rumah saja. Lalu, maaf jika kedatanganku dirasa cukup menganggu."

"Jangan seperti itu, Alex. Kau bisa datang kapan saja. Aku menganggapmu seperti putraku sendiri. Jadi, ada perlu apa?"

"Begini," Alexander menggaruk tengkuknya, "apakah mungkin jika mahasiswa Sastra Inggris belajar semacam cybercrime atau cybersecurity?"

"Hal yang seperti itu kurasa tidak dipelajari dalam jurusan Bahasa. Akan tetapi Alex, cybersecurity cukup penting. Banyak orang yang mengambil sertifikasi semacam itu. Mereka mendaftar di sebuah kelas khusus, dan biasanya bisa dilakukan secara online. Jika sudah selesai, maka akan ada uji kemampuan."

"Aku baru tahu."

"Harvard menyediakan program kelas cybercrime. Untuk persyaratannya saat ini, aku tidak punya informasi apa pun. Namun jika kau ingin, aku akan membantu."

Lagi-lagi Alexander menggeleng. "Aku hanya ingin bertanya saja. Bagaimana dengan forensik digital? Maksudku, apa gunanya mahasiswa Bahasa belajar semua itu?"

Reiji menyentuh dagunya. Pria yang merupakan lulusan Harvard tampak sedang berpikir keras. "Sedikit tidak masuk akal. Forensik digital, ini aneh. Rasanya berlebihan jika sebatas mahasiswa Sastra Inggris. Kenapa tidak langsung mengambil jurusan yang sesuai saja?"

Alexander mengangkat bahu karena tidak tahu harus berkomentar apa. Reiji benar. Aneh jika Hailexa harus belajar seperti itu. Beban utamanya saat kuliah sudah cukup berat. Belum lagi paruh waktunya di kafe. Kenapa masih menambah hal yang di luar ranah?

"Apakah Harvard membuka program kelas forensik digital?" tanya Alexander yang kesekian kalinya.

"Kenapa kau tiba-tiba bertanya soal Harvard? Ingin kuliah lagi?"

Decakan kesal sengaja diucapkan Alexander sebab kehadiran Austin menganggu suasana. "Ssshhh... diamlah. Aku hanya bertanya, bukan ingin kuliah lagi," tuturnya.

"Sepertinya tidak. Austin," Reiji menatap Austin lekat. "Lihat sarapannya sudah siap atau belum. Setelah ini bawa Alex untuk sarapan."

Punggung Austin menghilang di balik dinding. Alexander kembali memusatkan perhatiannya pada Reiji. Sebenarnya rasa penasaran di kepalanya belum hilang. Masih banyak yang inin Alexander tanyakan. Akan tetapi keterbatasan informasi serta waktu, membuat Alexander memilih mengubur dalam seluruh pertanyaannya.

"Terima kasih sudah menjawab rasa penasaranku. Banyak informasi baru yang kudapat. Sisanya yang belum terjawab, aku akan mencarinya sendiri."

"Hm. Kau bisa menghubungiku jika ada pertanyaan lain. Aku akan ambil ponsel. Pergilah ke ruang makan, kita sarapan bersama."

Alexander masih duduk pada tempatnya meski Reiji sudah lama pergi. Sambil memandangi ponselnya, Alexander tidak bisa berhenti berpikir mengenai buku-buku Hailexa. Apa mungkin Hailexa bergabung dengan tim yang mengurus kejahatan di dunia maya? Rasa-rasanya juga tidak. Dia hanya mahasiswa Sastra Inggris. Lalu untuk apa semua itu?