webnovel

Tidak Pernah Berjuang?

Demi Tuhan, Alexander nyaris tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia sangat mencintai Teresa, bahkan siap untuk memberikan segalanya. Dan sekarang seperti ini balasan yang didapatkan?

"Ke mana saja aku selama ini? Hebat sekali," sarkasnya.

"Kau ingin tahu alasannya?" Ellard menutup pintu, membiarkan mereka bertiga terjebak di tempat yang sama. Teresa sempat menyela agar Ellard tidak melanjutkan ucapannya, akan tetapi laki-laki itu tidak mau mendengarkan. "Kau hanya pengalihan, Alex. Orang tua Teresa melarangku dekat dengan putrinya. Kehadiranmu tentu saja untuk menutupi hubungan yang terjadi di antara kami. Terima kasih untuk itu."

Bak disambar petir, Alexander merasakan dirinya bergetar. Sebagian dari nyawanya seperti ditarik paksa untuk keluar. Dadanya begitu sesak. Telapak tangan Alexander mengepal guna menahan emosi serta kekecewaannya.

"Orang tua Teresa bisa menerimamu dengan mudah, kenapa tidak denganku? Kita ini sama, hanya saja kau sedikit beruntung. Kau dilahirkan untuk bisa memiliki beberapa hal dengan mudah, sedangkan aku masih harus berjuang. Itu alasannya. Tetapi coba bayangkan jika kau punya posisi yang sama denganku atau bahkan lebih buruk."

Alexander memejamkan mata, berusaha keras untuk mengabaikan setiap ucapan Ellard.

"Tanpa nama Peterson, kau ini bukan apa-apa. Mungkin hanya sampah. Orang-orang di sekitarmu, yang terlihat begitu menyayangimu, bisa saja mereka justru bersikap sebaliknya. Mereka hanya peduli dengan apa yang kau miliki, bukan dirimu. Kata-kataku menyakitkan? Memang. Orang sepertimu, yang tidak pernah berjuang, harus menyadari jika dunia tidak seindah yang dikira. Lihat kenyataan pahit ini, Alexander."

Tidak ingin semakin memperkeruh suasana, Alexander memilih untuk melangkah pergi. Namun belum sempat ia mencapai pintu, Ellard menahan pergelangan tangannya.

"Jangan menahanku, Ellard. Maaf karena aku pernah mencintai Teresa. Kau, sebagai orang yang terbiasa berjuang, lakukan hal itu sekali lagi. Jika kau memang mencintai Teresa, perjuangkan dia, termasuk di depan orang tuanya. Jangan bertingkah seolah kau yang paling menderita. Dan Teresa, kau tidak perlu cemas. Keluargamu tidak akan pernah tahu tentang ini."

Ellard yang merasa tersinggung, langsung melayangkan beberapa pukulan hingga Alexander jatuh tersungkur. Alexander tidak sempat melawan, ia meringis pelan merasakan nyeri di bagian perutnya. Ellard tetap tidak berhenti meski teriakan Teresa sudah memenuhi ruangan.

"Bajingan. Berani-beraninya kau bicara seperti itu," maki Ellard tidak terima.

Alexander menendang Ellard dari atas tubuhnya. Ia bangkit sembari mengusap sisi dahinya yang sempat terbentur sudut meja.

"Berikan gitarnya. Aku hanya datang untuk mengambil gitar, bukan mencari keributan."

Lagi-lagi Ellard tidak mendengarkan. Gitar itu justru dipukulkan pada lantai hingga kondisinya menjadi rusak. Alexander menganga. Kali ini dirinya benar-benar marah dan tidak bisa tinggal diam.

"Sebenarnya kau punya masalah apa denganku, hah?" teriak Alexander setelah meninju tepat di wajah Ellard.

"Diam kau bocah! Akui saja jika kau tidak selalu berarti di mata orang lain. Bagi kami, kau hanya mainan. Sekarang tiba saatnya untuk menghancurkanmu."

Pukulan demi pukulan terus didapatkan Alexander. Ada darah segar yang kini mengalir dari hidungnya. Ia sudah mencoba membalas namun sering kali kalah. Alexander sudah kehilangan tenaga sejak awal. Pengakuan Teresa dan setiap kalimat yang dilontarkan Ellard membuatnya ditekan hingga ke dasar. Pukulan Ellard bahkan tidak lebih menyakitkan dari apa yang Alexander dengar.

Serangan ini berakhir dengan tubuh Ellard yang ditarik ke belakang.

Alexander merasakan tangan-tangan lembut menyentuh tubuhnya. Dengan pandangan yang sedikit buram, ia bisa melihat jika Nicholla dan Amber sedang membantunya untuk bangkit. Di depan sana, Austin dan Allard sedang menahan tubuh Ellard.

"Teresa? Kau gila?"

"Apa-apaan ini?"

Austin dan Allard berucap bersamaan. Amber menahan tubuh Alexander agar tidak jatuh, sementara Nicholla berjalan mendekati Teresa. Telapak tangannya terangkat, bersiap untuk menampar. Akan tetapi Nicholla mengurungkan niat dan hanya menepuk bahunya pelan.

"Lihat apa yang kau perbuat? Dia mencintaimu dengan tulus tetapi kau justru mengecewakannya. Ke mana perginya otakmu, Teresa? Seseorang melakukan kekerasan dan kau hanya diam sambil menangis. Keterlaluan. Dan kau," Nicholla menunjuk ke arah Ellard. "Aku bisa saja membawamu ke jalur hukum. Jadi jangan cepat puas karena berhasil—."

"Nicholla cukup. Sebaiknya kita cepat pergi. Keadaan Alex lebih penting," potong Allard.

"Austin, bisa kau hubungi Daddy atau Mommy? Allard, tolong bawa gitarnya," pinta Nicholla yang sedang menahan diri untuk tidak menangis.

Alexander tersenyum kecil ketika Nicholla meraih dan menuntun tubuhnya. "Menjauhlah sedikit Nicholla, seragam sekolahmu bisa kotor terkena darah," ucapnya putus-putus karena menahan sakit. Setiap kali Alexander menarik napas, maka nyerinya akan terasa.

"Persetan dengan seragam. Aku masih bisa mendapatkan yang baru."

"Maaf soal gitarnya," Alexander berucap penuh penyesalan. Gitar itu merupakan hadiah dari Nicholla di hari ulang tahunnya. "Aku akan mencoba memperbaikinya setelah ini."

"Jangan dipikirkan. Ini bukan masalah besar. Aku akan membeli yang baru untukmu. Biarkan yang sudah hancur pergi dan berlalu. Untuk sekarang, cukup fokus pada dirimu."

Nicholla tahu jika Alexander hanya berpura-pura untuk bersikap tegar. Tubuh laki-laki itu bergetar, napasnya juga tidak beraturan. Dia sakit luar dalam. Ini terdengar buruk, namun Nicholla meyakini jika kejadian ini akan sangat membekas bagi Alexander. Entah kapan dia bisa menerima kenyataan ini, pasti butuh waktu yang tidak sebentar.

Manik hazel itu menatap kosong pada sesuatu di depan sana. Pikirannya pun sama, kosong. Semua kalimat dengan tujuan membangun ditolak mentah-mentah. Bibirnya bungkam. Tidak ada yang tahu apa yang sedang dirasakan oleh Alexander saat ini. Jika diizinkan, mungkin orang-orang akan menyebutnya seperti mayat hidup.

Satu minggu berlalu sejak pengakuan menyakitkan dari Teresa. Entah ke mana dia sekarang dan bagaimana nasibnya. Alexander tidak sedikit pun ikut campur mengurus permasalahan yang ada. Itu karena dirinya terjebak di rumah sakit dan belum diperbolehkan untuk pulang.

"Boleh aku pulang hari ini?" tanya Alexander pada dokter yang sedang melakukan kunjungan rutin ke ruangannya.

"Apa tadi pagi kau kembali muntah setelah sarapan?"

Alexander mengangguk.

"Kalau begitu tidak boleh."

"Jika besok tidak terjadi, maka aku boleh pulang?"

"Tidak juga. Wajahmu sudah tidak sepucat dua hari lalu, tetapi kondisimu belum membaik. Kau satu-satunya kunci agar bisa sembuh. Berhenti memikirkan sesuatu yang akan membuatmu terus terluka."

Sial. Sekarang Alexander benar-benar muak. Ia ingin pulang, tidur di kamarnya sendiri. Ia ingin bergerak dengan bebas, tanpa perlu terikat pada selang yang mengalirkan cairan untuk tubuhnya. Alexander merindukan kehidupan normalnya.

Setiap kali semangatnya untuk pulih membara, bayangan soal tragedi menyedihkan itu selalu datang menyusul. Alexander tidak pernah menghitung berapa kali ia terbangun dalam keadaan terkejut, penuh keringat, dan tubuh yang gemetar karena mimpi buruk. Hal ini membuatnya marah, kesal, membenci dirinya sendiri serta orang lain. Alexander masih ingat ketika dirinya kelepasan membentak orang-orang yang datang untuk menjenguk. Allard, Austin, Leanore, Nicholla, bahkan Amber. Sekarang yang tersisa hanyalah penyesalan.

Apa tidak ada cara yang lebih elegan untuk berpisah? Alexander membenci Teresa. Ia membenci Ellard. Ia juga benci dengan dirinya sendiri yang lemah, rapuh, serta tidak berguna.

Kau hanya pengalihan.

Tanpa nama Peterson kau ini bukan apa-apa.

Mereka hanya peduli dengan apa yang kau miliki, bukan dirimu.

Orang sepertimu, yang tidak pernah berjuang.

Mungkinkah hidupnya memang tidak seberharga itu? Sampai-sampai seseorang tidak berpikir dua kali untuk menyakitinya. Perkataan Ellard ada benarnya. Tanpa nama Peterson atau Walter sekali pun, dirinya tidak berarti.

Apa ada orang yang mencintainya, menyayanginya murni sebagai Alexander? Sepertinya tidak. Mungkin setelah ini Austin dan Allard juga akan menjauh. Alexander merasa dirinya pantas mendapatkan itu. Memangnya siapa yang ingin berteman dengan orang yang tidak pernah berjuang? Ia hanyalah sampah.