webnovel

Ternyata Kau Orangnya

Alesya mengikat rambut panjangnya bersamaan dengan Nicholas yang memasuki ruangan. Perempuan itu berdeham, mencairkan suasana yang sempat tegang. Mungkin bukan suasana, melainkan Alesya sendiri yang merasa tegang.

Nicholas meletakkan sebuah map di atas meja. Alesya sudah akan meraihnya, namun Bedric mengambil alih dengan cepat. Di saat seperti ini biasanya Alesya buka suara mengajukan protes. Kali ini sedikit berbeda. Alesya hanya diam dan menanti Bedric selesai membaca.

"Huh, menarik," komentar Bedric.

Nicholas menyetujui. "Mereka membuatku harus bolak-balik rumah sakit dan markas. Begitu saja dalam sebulan."

"Bulan depan kau akan kembali melakukannya." Bedric menutup map, menyerahkan benda itu kepada Alesya. "Dua orang korban hanya selisih beberapa hari. Mereka juga bekerja di tempat yang sama. Kalian sudah tutup tempatnya?"

"Sudah," jawab seorang pria yang datang bersama Nicholas. "Tidak boleh dibuka sampai investigasi selesai."

Napas Alesya berembus kasar. Kedua matanya terpejam seolah-olah ingin menyerah. Kepalanya menunduk. "Kapan hasil autopsinya keluar?"

"Besok siang," sahut Nicholas.

"Kalau begitu kita hentikan pertemuan ini sejenak. Aku ingin makan siang. Grace," panggil Bedric. "Ingin makan siang denganku?"

Hailexa yang sejak tadi diam mengamati diskusi, akhirnya memberikan respons dengan satu gelengan. "Aku akan makan nanti. Terima kasih."

Semua orang keluar, menyisakan Hailexa dan Alesya yang duduk bersebelahan. Alesya masih menunduk. Hailexa ingin memanggil serta menanyakan apa yang terjadi. Namun mengingat sifat Alesya yang terkadang tidak suka diusik, membuatnya mengurungkan niat.

"Grace," rengek Alesya. "Kenapa kau tidak bicara padaku?"

Kening Hailexa mengernyit. Perempuan ini, benar-benar menyebalkan. "Itu karena aku menganggapmu tidak ingin diganggu. Biasanya jika aku bertanya, kau justru marah padaku," serang Hailexa kesal.

"Kali ini berbeda. Aku membuat kesalahan."

"Kesalahan apa?"

"Kenapa kau bertanya seperti itu? Tidak baik menanyakan urusan seseorang."

Angkat tangan. Hailexa sunggung tidak mengerti jalan pikiran Alesya. Belum sampai dua menit dia memintanya untuk bicara. Ketika sudah ditanya, kenapa jawabannya jadi seperti itu.

"Oke oke. Terima kasih sudah bertanya. Tapi aku belum bisa mengatakannya padamu. Intinya, karena kesalahan itu aku jadi tidak fokus dengan pekerjaan. Semua hal yang dibicarakan Bedric dan tim," Alesya menelan ludah, "tidak ada yang bisa kupahami."

"Kalau seperti itu, istirahat saja. Kau perlu merenung."

"Tidak mungkin. Bagaimana bisa aku meninggalkan tanggung jawab?"

"Alesya," panggilan Hailexa mengalun lembut. "Kita adalah manusia yang suatu saat bisa lelah. Tubuhmu meminta untuk berhenti sejenak. Hasil autopsinya baru keluar besok. Manfaatkan waktu ini untuk istirahat."

Telapak tangan Alesya mengusap-usap wajahnya secara cepat. Setelah beberapa menit berpikir, dia berdiri. Seluruh barang-barang miliknya dirapikan. "Kau benar. Aku senang kau menyadarkanku. Terima kasih," ungkapnya lalu melangkah pergi.

Hailexa masih menetap sambil membaca ulang poin-poin yang sempat dicatatnya. Dunia sungguh mengerikan. Dua orang tewas dalam waktu yang berdekatan. Ini menunjukkan seolah-olah pembunuhan sangat mudah untuk dilakukan. Para pembunuh itu, apa mereka tidak merasa ketakutan saat mengayunkan senjatanya?

"Ke mana Alesya?" tanya Bedric yang baru kembali.

"Dia kurang sehat."

"Altea dan Micole," ujar Hailexa menyebut dua nama korban. "Apa ada kemungkinan jika Altea yang membunuh Micole?"

Kedua alis Bedric terangkat bersamaan. "Tentu saja. Ada banyak kemungkinan saat ini. Mereka berdua bekerja di tempat yang sama. Ketika keterangan sudah lengkap, kita akan tahu kemungkinan mana yang punya persentase paling besar," jelasnya.

"Apa orang-orang akan datang kemari saat introgasi?"

"Tidak semua. Terkadang kita perlu datang ke tempat mereka, untuk mengetahui situasi sebenarnya. Kau, akan ikut bersamaku. Katakan Grace, menurutmu apa yang sedang terjadi?"

Bahu Hailexa terangkat. Ada banyak hal yang ia pikirkan. Setiap kali mendengar data yang terungkap, dugaannya selalu bertambah. Kejadian ini jelas tidak melibatkan dua orang saja. Jika memang Altea yang membunuh Micole, lalu mengapa Altea juga terbunuh?

"Aku pikir, ini terlihat seperti drama. Ada orang lain yang terlibat."

"Berapa banyak?"

"Satu atau dua?"

Bedric tertawa dan berhasil membuat Hailexa kebingungan. "Aku akan sangat senang jika hanya dua orang yang terlibat. Itu memudahkan tim dalam bekerja." Bedric memejamkan mata, seperti sedang berdoa dengan samar-samar. "Semoga ucapanmu adalah kenyataan."

"Bagaimana jika tidak?"

"Kita perlu mengusutnya sampai batas yang ditentukan."

"Batas?" Hailexa mengernyit heran. "Kenapa tidak sampai tuntas?"

"Ada saat di mana kau harus berhenti. Ada saatnya juga kau harus membiarkan yang salah tetap salah. Jika kasus ini melibatkan banyak pihak, aku yakin mereka belum tentu saling mengenal. Beberapa hal termasuk identitas, perbuatan keji, atau kecurangan perlu untuk tetap menjadi rahasia. Dunia tidak sebaik itu, Grace."

Bedric bertopang dagu pada satu tangan. Matanya terus memperhatikan Hailexa. Tangan lain yang menganggur digunakan untuk melempar pena ke udara, lalu menangkapnya kembali. Tindakannya ini berulang dalam beberapa menit.

"Semua orang pasti pernah melakukan kesalahan, memiliki masalah. Entah besar atau kecil. Tetapi kenapa sesuatu yang salah, harus dibiarkan tetap salah, Bedric?"

"Terkadang, tidak tahu apa-apa punya dampak lebih baik daripada mengetahui segalanya. Beberapa orang berduka karena kehilangan, sementara itu yang lain justru tertawa melihat penderitaan. Tidak semua orang siap menerima kebenaran. Hari ini kau mungkin berterima kasih karena masih diberikan hidup. Namun di lain hari kau bisa sangat-sangat membenci kehidupanmu."

"Kau membuatku takut menghadapi kenyataan di masa depan," bisik Hailexa seraya memeluk tubuhnya sendiri.

"Aku tidak bermaksud seperti itu. Sungguh."

Hailexa mengibaskan tangannya di udara, berusaha menepis segala pikiran negatif yang tiba-tiba datang. "Lupakan. Kapan kita bisa pergi?" Matanya melebar penuh antusias.

"Dalam dua atau tiga hari. Aku pasti akan langsung menghubungimu. Jika pekerjaanmu sudah selesai, kau bisa pulang."

Usai berpamitan pada Bedric, Hailexa memutuskan untuk pergi ke perpustakaan sebelum pulang. Ia ingin melihat koleksi buku-buku yang ada. Saat tiba di sana Hailexa dihadapkan dengan situasi yang terlampau sepi. Penjaga perpustakaannya saja tidak ada. Apa orang-orang di sini tidak suka membaca buku?

Setiap langkah kakinya mengingatkan Hailexa pada kenangan di masa lalu. Sang ayah pernah mengajaknya mengunjungi salah satu perpustakaan milik universitas ternama di Seattle. Tata letak serta desainnya tidak jauh berbeda dengan apa yang Hailexa lihat sekarang. Dulu ia berkeinginan akan kembali ke sana dengan status mahasiswa. Namun keinginan hanyalah sebatas angan-angan.

"Oh, kau datang lagi?"

Hailexa membalikkan tubuh. Senyum canggung terbentuk dibibirnya kala mendapati Emma tersenyum ramah padanya. Di sebelah Emma berdiri seorang pria mengenakan kemeja putih, dengan bagian lengan yang digulung sebatas siku. Pandangan Hailexa jatuh pada tangan yang memeluk pinggang Emma erat. Seolah tak ingin lepas.

"Ya, aku datang untuk melihat-lihat," sahutnya terbata-bata.

Dalam sekejap pandangan Hailexa sudah berganti pada wajah pria itu. Sorot matanya begitu tajam, seperti menyeleksi sesuatu. Namun kemudian Hailexa merasa jika tidak asing dengan wajahnya. Tidak mungkin jika mereka sudah pernah bertemu sebelumnya. Tetapi darimana datangnya perasaan ini?

"Kembali Terry. Kita bertemu nanti."

"Jangan terlalu lama," pesannya lalu keluar dari perpustakaan.

"Hailexa, ada yang bisa kubantu? Kau kenapa? Apa dia membuatmu takut?"

Hailexa yang salah tingkah, hanya bisa menggaruk tengkuknya walau tidak gatal. "Bukan Emma. Aku hanya terkejut karena kau menyapaku. Di sini sepi sekali," kilahnya.

"Aku benar-benar minta maaf untuk itu. Pria tadi, dia suamiku. Terry. Dia yang memberitahuku jika tempat ini punya anggota baru. Dan ternyata kau orangnya."

"Maaf jika pertanyaanku terdengar lancang. Kau boleh untuk tidak menjawabnya. Aku penasaran, apakah kalian masih bekerja di sini?"

"Tidak secara resmi. Hanya datang saat diperlukan atau saat kami ingin. Kami punya pekerjaan lain di luar sana. Tetapi aku lebih sering datang dibandingkan Terry. Ada lagi yang ingin kau tanyakan?"

Hailexa menggeleng. "Aku akan pinjam buku saja. Terima kasih sudah menjawab, Emma," ucapnya lalu segera melangkah mendekati rak-rak buku.