webnovel

Rumor yang Menyebar

"Austin, terlalu rendah." Alexander menginterupsi. "Aku lebih suka sebelumnya."

"Oh ya? Kita ulangi mirip yang kau inginkan."

Alexander kembali memetik gitarnya selama beberapa detik, mengiringi permainan piano asal Austin. di saat lagunya terhenti, Alexander menatap layar MacBooknya lalu tersenyum.

"Kau benar. Ini lebih baik," komentar Austin yang telah mendekatkan wajahnya pada layar. Tadinya Alexander tidak mampu melihat wajah lelaki-laki itu menggunakan kentara karena posisinya terlalu jauh.

Malam ini Alexander sedang melakukan panggilan video bersama salah sat temannya semenjak usia sepuluh, Austin Foley.

Alexander mengenal Austin ketika SD, di mana pria keturunan Jepang Amerika itu baru saja pindah ke Italia. Austin tidak bisa bicara bahasa italia, serta Alexander adalah siswa yang bahasa inggrisnya paling lancar pada kelas. sejak hari itu mereka menjadi teman dekat. Alexander menggunakan sabar terus mengajari Austin agar mampu berbicara menggunakan bahasa italia. Cerita yang sama jua terjadi pada Allard saat mereka memasuki middle school.

"Allard baru saja datang."

"Dia sedang ada di rumahmu?"

"Ya. Mampir buat mengambil sepatu."

Alexander memundurkan kursinya hingga mencapai ke sisi ranjang. dia meletakkan gitar di atas sana serta berganti merogoh ponsel. waktu Alexander kembali menatap layar, Allard sudah bergabung dalam panggilan.

"Hei Austin, kau sudah beri tahu Alex?"

"Beri tahu apa?" tanya Alexander penasaran.

"Belum rupanya. Alex, besok ikutlah ke pesta bersama kami. Pestanya diadakan oleh sahabat Austin. saya dengar mantanmu akan tiba."

"Allard, aku bahkan tidak peduli dia akan tiba atau tak. Kami telah berpisah dan tidak saling bicara."

Allard tertawa rendah. "Saya memahami, yang tadi hanya bercanda. Jadi, kau ikut atau tidak? banyak gadis-gadis rupawan yang akan tiba. Ini saatnya kau memberikan pesonamu, Alex. Kita baru saja lulus, luangkan sedikit waktu buat bersenang-senang."

"Aku akan bicara dengan Mom—"

"Tidak perlu. Austin sudah mengurusnya. Bukankah begitu, Austin?"

"Tentu saja," jawab Austin percaya diri. "aku sudah menghubungi Aunty Emma. Jika pestanya sampai larut, kita menginap di apartemenku saja. Kecuali Alex lebih suka tinggal di apartemennya."

Alexander memutar bola matanya. ia ingin murka , tetapi tidak sanggup. sahabat-temannya ini memang selalu beranjak cepat Bila menyangkut urusan pesta. Alexander sendiri bukan orang yang terlalu suka menggunakan suasana pesta. Baginya lebih baik buat menghabiskan waktu dengan berdiam diri di kamar.

"Baiklah, aku segera tiba. Kita bicara lagi lain saat."

"Sounds great. See you, Bro."

Alexander menutup layar MacBooknya dan buru-buru pergi keluar kamar. kawasan yang pertama beliau tuju bukanlah ruang makan, melainkan kamar Nicholla. Sebelum beliau pergi ke pesta besok, terdapat hal kecil yang wajib Alexander pinjam asal adiknya.

"Nicholla!"

"Alex!" Nicholla memekik sekaligus menatapnya kesal. "Tidak bisakah kau mengetuk pintu terlebih dahulu? Bagaimana Bila aku sedang bersama dengan kekasihku di sini?"

"Pertama, pintunya tidak dikunci. kedua, aku tak akan biarkan itu terjadi. Ketiga, kalimatmu beracun sekali, Nicholla."

Nicholla membalik tubuhnya, yang tadi sedang telungkup di atas ranjang, menjadi menghadap ke samping. "Apa yang kau inginkan?"

"Aku pinjam mobilmu besok malam."

"Alex aku heran, waktu aku sedang berada di Seattle, mobilku menganggur dan kau bisa memakainya kapan saja. Tetapi kenapa waktu saya kembali kau justru ingin meminjamnya? kemudian kapan giliranku?"

"Kau terlalu banyak mengoceh, Nicholla." Alexander mendengus. "Hanya besok malam."

"Pasti kau akan pulang ke pesta bersama Austin."

Satu alis Alexander terangkat. dia berjalan mendekati Nicholla karena ingin memahami berasal mana beliau mendapatkan gosip ini. "Jangan katakan kau pula akan ada," tukasnya.

"Aku bertemu dengan Austin kemarin, beliau menghubungi Mommy dengan ponselku serta bicara soal pesta. Ya, beliau mengajakku buat datang, namun aku menolak."

"Sialan! Kenapa kau tidak pribadi mengatakannya padaku, Nicholla? Kenapa pula kau meminjamkan ponselmu padanya? Kau harus membayar untuk ini. Pinjamkan mobilmu."

"Tidak," tolak Nicholla mentah-mentah. dia bahkan tidak mau menatap di Alexander selama bicara.

"Beri kuncinya, maka aku akan membantumu meminta pada Daddy untuk bisa pulang ke Positano."

Alexander tersenyum dalam hati ketika menyadari Nicholla tampak menimbang-nimbang tawarannya. Gadis ini simpel sekali goyah, terlebih Jika menyangkut kepentingan pribadinya. Alexander merasa beruntung mengetahui kelemahan Nicholla.

"Setuju. Dapatkan izinnya sebelum besok malam. Sekarang keluarlah dari kamarku!"

Tawa kencang Alexander mengudara setelah pintu kamar balik ditutup. Kakinya bergerak cepat melangkah menuju kamar orang tuanya. Pintunya tidak dikunci tetapi waktu dibuka ruangannya pada keadaan kosong. Alexander menetapkan untuk turun dan baru menemukan orang tuanya sedang berbincang di atas sofa, menggunakan televisi yang menyala.

"Mommy, bisa bicara sementara waktu?"

Terry menarik lengannya yang tadi berada pada pundak Emma. Posisi duduknya sedikit bergeser, sengaja buat memberi celah. Terry hanya membisu, balik memandang televisi yang sempat diabaikan.

"Berdua saja? perihal apa? Austin yang mengajakmu ke pesta? Jika itu maka pergilah," balas Emma sembari menepuk sisi kosong pada sebelahnya.

Alexander menggeleng. "Mom, aku baru bicara dengan Nicholla soal Positano. Kenapa tak biarkan dia pergi? Nicholla bukan bocah. Lagi pula Nicholla tidak akan pergi sendiri," ujarnya menggunakan suara keras. Alexander melakukan ini dengan tujuan agar Terry pula mendengarnya.

"Apa yang membuatmu tiba-tiba bicara seperti ini?" Terry berdeham, menanggapi ucapan Alexander. Matanya memang masih memandang hal yang sama, namun telinganya telah penekanan di bunyi Alexander sejak awal. "Bersama siapa Nicholla akan pergi?" tanyanya lagi.

"Mungkin teman-temannya."

"Sudah kukatakan berulang kali," Emma masuk pada percakapan, "Nicholla sudah dewasa, Terry. Kau melepasnya ke Seattle, namun cemas saat dia akan pergi ke Positano. aku memahami kita punya pengalaman buruk di sana, tetapi bukan seperti itu cara menyikapinya. Nicholla telah banyak belajar."

"Aku tidak cemas, Emma. Aku hanya tidak suka dengan pikirannya. dari sekian banyak kawasan pada Italia, kenapa harus Positano?"

Tenang. tidak ada yang mampu menjawab pertanyaan Terry termasuk Alexander. dia sendiri bahkan tak tahu kenapa Nicholla memilih buat pergi ke Positano. Apa yang akan gadis itu lakukan pada sana, Alexander juga belum mengetahuinya.

Napas Terry berembus kasar. "Baiklah, Nicholla bisa pergi." Putus Terry final.

Bertepatan dengan itu, Nicholla ada di antara mereka. Mulutnya terbuka lebar sesudah memahami ia menerima izin buat pulang. Alexander tersenyum penuh kemenangan karena usahanya berhasil, walau faktanya beliau mendapat sedikit donasi. yang terpenting merupakan mobil Nicholla yang akan Alexander bawa besok malam.

"Amor tiba buat berkunjung. Apa aku bisa memintanya menginap. Boleh 'kan?" tanya Nicholla masih dengan aktualisasi diri terkejutnya.

"Kau tak perlu meminta dia untuk itu, Sayang. Jangan biarkan Amor menunggu."

Estelle Richardi, tetapi lebih suka dikenal menjadi Amor. Gadis ini seumuran dengan Alexander. Amor tinggal selisih tiga tempat tinggal dari rumah famili Peterson. Alexander dan Nicholla mengenalnya waktu Terry membawa mereka berjalan-jalan keluar rumah waktu masih berumur lima tahun. Kala itu Amor sedang belajar bersepeda dan nyaris menabrak tubuh Alexander.

Terry yang kebetulan memiliki saat luang berbaik hati buat mengajari Amor mengendarai sepeda, sekaligus mengenalkan sahabat baru buat Alexander serta Nicholla.

"Bukankah mereka pendiri universitas yang rumornya memiliki jabatan pada DIS?" celetuk Alexander selesainya melihat gosip yang sedang ditayangkan di televisi.

pulang ke Pemakaman, Dean Merindukan oleh saudara termuda, Jack Russell.

Amor menyahut, "DIS? Dipartimento delle Informazioni per la Sicurezza? Itu departemen intelijen negara, yang benar saja."

"Rumor. Kurasa info ini pulang naik karena memperingati dua puluh tahun meninggalnya Jack Russell. Kau tahu. berdasarkan rumor itu, ada yang mengatakan Jika universitas yang mereka dirikan mempunyai sekolah buat calon mata-mata profesional."

"Bicaramu sok memahami sekali, Alex," cibir Nicholla. "Itu hanya universitas biasa yang tidak jauh tidak sinkron dengan universitasmu."

"Terlihatnya memang mirip itu. akan tetapi apa kau pernah mendengar siapa yang pernah lolos ke universitas itu? Mahasiswanya seperti sengaja disembunyikan."

"Bukan disembunyikan, tetapi mereka memang punya sistem asrama yang ketat. teman berasal temanku lolos ke jurusan usaha. beliau tidak pernah pulang kecuali libur panjang. Rumor akan selalu jadi rumor."

"Nicholla, saya tahu itu rumor, hanya—"

"Alexander." Terry memanggil dengan sangat fokus. "Kau sendiri yang mengatakan Jika itu rumor. Berhenti menyampaikan soal rumor di balik berita duka. Ini sudah terlalu malam buat memulai perdebatan. Usahakan kalian naik, sekarang."

Alexander mengerucutkan bibirnya namun tetap mengikuti perkataan Terry. ketika kakinya akan melangkah pulang, tubuhnya menyempatkan diri buat berbalik. "Dad, boleh Jika aku membahasnya lain ketika? tampaknya Daddy tahu banyak mengingat Daddy bukan orang baru pada Turin."

"Daddy-mu tidak tahu apa pun, Alex. Sebagian hidupnya dihabiskan di New York," ujar Emma sebagai penengah. "Jika memang bertanya-tanya, coba cari tahu di internet. Selamat malam, Parta."

"Baiklah. Selamat malam, Mommy."

"Austin, terlalu rendah." Alexander menginterupsi. "Aku lebih suka sebelumnya."

"Oh ya? Kita ulangi mirip yang kau inginkan."

Alexander kembali memetik gitarnya selama beberapa detik, mengiringi permainan piano asal Austin. di saat lagunya terhenti, Alexander menatap layar MacBooknya lalu tersenyum.

"Kau benar. Ini lebih baik," komentar Austin yang telah mendekatkan wajahnya pada layar. Tadinya Alexander tidak mampu melihat wajah lelaki-laki itu menggunakan kentara karena posisinya terlalu jauh.

Malam ini Alexander sedang melakukan panggilan video bersama salah sat temannya semenjak usia sepuluh, Austin Foley.

Alexander mengenal Austin ketika SD, di mana pria keturunan Jepang Amerika itu baru saja pindah ke Italia. Austin tidak bisa bicara bahasa italia, serta Alexander adalah siswa yang bahasa inggrisnya paling lancar pada kelas. sejak hari itu mereka menjadi teman dekat. Alexander menggunakan sabar terus mengajari Austin agar mampu berbicara menggunakan bahasa italia. Cerita yang sama jua terjadi pada Allard saat mereka memasuki middle school.

"Allard baru saja datang."

"Dia sedang ada di rumahmu?"

"Ya. Mampir buat mengambil sepatu."

Alexander memundurkan kursinya hingga mencapai ke sisi ranjang. dia meletakkan gitar di atas sana serta berganti merogoh ponsel. waktu Alexander kembali menatap layar, Allard sudah bergabung dalam panggilan.

"Hei Austin, kau sudah beri tahu Alex?"

"Beri tahu apa?" tanya Alexander penasaran.

"Belum rupanya. Alex, besok ikutlah ke pesta bersama kami. Pestanya diadakan oleh sahabat Austin. saya dengar mantanmu akan tiba."

"Allard, aku bahkan tidak peduli dia akan tiba atau tak. Kami telah berpisah dan tidak saling bicara."

Allard tertawa rendah. "Saya memahami, yang tadi hanya bercanda. Jadi, kau ikut atau tidak? banyak gadis-gadis rupawan yang akan tiba. Ini saatnya kau memberikan pesonamu, Alex. Kita baru saja lulus, luangkan sedikit waktu buat bersenang-senang."

"Aku akan bicara dengan Mom—"

"Tidak perlu. Austin sudah mengurusnya. Bukankah begitu, Austin?"

"Tentu saja," jawab Austin percaya diri. "aku sudah menghubungi Aunty Emma. Jika pestanya sampai larut, kita menginap di apartemenku saja. Kecuali Alex lebih suka tinggal di apartemennya."

Alexander memutar bola matanya. ia ingin murka , tetapi tidak sanggup. sahabat-temannya ini memang selalu beranjak cepat Bila menyangkut urusan pesta. Alexander sendiri bukan orang yang terlalu suka menggunakan suasana pesta. Baginya lebih baik buat menghabiskan waktu dengan berdiam diri di kamar.

"Baiklah, aku segera tiba. Kita bicara lagi lain saat."

"Sounds great. See you, Bro."

Alexander menutup layar MacBooknya dan buru-buru pergi keluar kamar. kawasan yang pertama beliau tuju bukanlah ruang makan, melainkan kamar Nicholla. Sebelum beliau pergi ke pesta besok, terdapat hal kecil yang wajib Alexander pinjam asal adiknya.

"Nicholla!"

"Alex!" Nicholla memekik sekaligus menatapnya kesal. "Tidak bisakah kau mengetuk pintu terlebih dahulu? Bagaimana Bila aku sedang bersama dengan kekasihku di sini?"

"Pertama, pintunya tidak dikunci. kedua, aku tak akan biarkan itu terjadi. Ketiga, kalimatmu beracun sekali, Nicholla."

Nicholla membalik tubuhnya, yang tadi sedang telungkup di atas ranjang, menjadi menghadap ke samping. "Apa yang kau inginkan?"

"Aku pinjam mobilmu besok malam."

"Alex aku heran, waktu aku sedang berada di Seattle, mobilku menganggur dan kau bisa memakainya kapan saja. Tetapi kenapa waktu saya kembali kau justru ingin meminjamnya? kemudian kapan giliranku?"

"Kau terlalu banyak mengoceh, Nicholla." Alexander mendengus. "Hanya besok malam."

"Pasti kau akan pulang ke pesta bersama Austin."

Satu alis Alexander terangkat. dia berjalan mendekati Nicholla karena ingin memahami berasal mana beliau mendapatkan gosip ini. "Jangan katakan kau pula akan ada," tukasnya.

"Aku bertemu dengan Austin kemarin, beliau menghubungi Mommy dengan ponselku serta bicara soal pesta. Ya, beliau mengajakku buat datang, namun aku menolak."

"Sialan! Kenapa kau tidak pribadi mengatakannya padaku, Nicholla? Kenapa pula kau meminjamkan ponselmu padanya? Kau harus membayar untuk ini. Pinjamkan mobilmu."

"Tidak," tolak Nicholla mentah-mentah. dia bahkan tidak mau menatap di Alexander selama bicara.

"Beri kuncinya, maka aku akan membantumu meminta pada Daddy untuk bisa pulang ke Positano."

Alexander tersenyum dalam hati ketika menyadari Nicholla tampak menimbang-nimbang tawarannya. Gadis ini simpel sekali goyah, terlebih Jika menyangkut kepentingan pribadinya. Alexander merasa beruntung mengetahui kelemahan Nicholla.

"Setuju. Dapatkan izinnya sebelum besok malam. Sekarang keluarlah dari kamarku!"

Tawa kencang Alexander mengudara setelah pintu kamar balik ditutup. Kakinya bergerak cepat melangkah menuju kamar orang tuanya. Pintunya tidak dikunci tetapi waktu dibuka ruangannya pada keadaan kosong. Alexander menetapkan untuk turun dan baru menemukan orang tuanya sedang berbincang di atas sofa, menggunakan televisi yang menyala.

"Mommy, bisa bicara sementara waktu?"

Terry menarik lengannya yang tadi berada pada pundak Emma. Posisi duduknya sedikit bergeser, sengaja buat memberi celah. Terry hanya membisu, balik memandang televisi yang sempat diabaikan.

"Berdua saja? perihal apa? Austin yang mengajakmu ke pesta? Jika itu maka pergilah," balas Emma sembari menepuk sisi kosong pada sebelahnya.

Alexander menggeleng. "Mom, aku baru bicara dengan Nicholla soal Positano. Kenapa tak biarkan dia pergi? Nicholla bukan bocah. Lagi pula Nicholla tidak akan pergi sendiri," ujarnya menggunakan suara keras. Alexander melakukan ini dengan tujuan agar Terry pula mendengarnya.

"Apa yang membuatmu tiba-tiba bicara seperti ini?" Terry berdeham, menanggapi ucapan Alexander. Matanya memang masih memandang hal yang sama, namun telinganya telah penekanan di bunyi Alexander sejak awal. "Bersama siapa Nicholla akan pergi?" tanyanya lagi.

"Mungkin teman-temannya."

"Sudah kukatakan berulang kali," Emma masuk pada percakapan, "Nicholla sudah dewasa, Terry. Kau melepasnya ke Seattle, namun cemas saat dia akan pergi ke Positano. aku memahami kita punya pengalaman buruk di sana, tetapi bukan seperti itu cara menyikapinya. Nicholla telah banyak belajar."

"Aku tidak cemas, Emma. Aku hanya tidak suka dengan pikirannya. dari sekian banyak kawasan pada Italia, kenapa harus Positano?"

Tenang. tidak ada yang mampu menjawab pertanyaan Terry termasuk Alexander. dia sendiri bahkan tak tahu kenapa Nicholla memilih buat pergi ke Positano. Apa yang akan gadis itu lakukan pada sana, Alexander juga belum mengetahuinya.

Napas Terry berembus kasar. "Baiklah, Nicholla bisa pergi." Putus Terry final.

Bertepatan dengan itu, Nicholla ada di antara mereka. Mulutnya terbuka lebar sesudah memahami ia menerima izin buat pulang. Alexander tersenyum penuh kemenangan karena usahanya berhasil, walau faktanya beliau mendapat sedikit donasi. yang terpenting merupakan mobil Nicholla yang akan Alexander bawa besok malam.

"Amor tiba buat berkunjung. Apa aku bisa memintanya menginap. Boleh 'kan?" tanya Nicholla masih dengan aktualisasi diri terkejutnya.

"Kau tak perlu meminta dia untuk itu, Sayang. Jangan biarkan Amor menunggu."

Estelle Richardi, tetapi lebih suka dikenal menjadi Amor. Gadis ini seumuran dengan Alexander. Amor tinggal selisih tiga tempat tinggal dari rumah famili Peterson. Alexander dan Nicholla mengenalnya waktu Terry membawa mereka berjalan-jalan keluar rumah waktu masih berumur lima tahun. Kala itu Amor sedang belajar bersepeda dan nyaris menabrak tubuh Alexander.

Terry yang kebetulan memiliki saat luang berbaik hati buat mengajari Amor mengendarai sepeda, sekaligus mengenalkan sahabat baru buat Alexander serta Nicholla.

"Bukankah mereka pendiri universitas yang rumornya memiliki jabatan pada DIS?" celetuk Alexander selesainya melihat gosip yang sedang ditayangkan di televisi.

pulang ke Pemakaman, Dean Merindukan oleh saudara termuda, Jack Russell.

Amor menyahut, "DIS? Dipartimento delle Informazioni per la Sicurezza? Itu departemen intelijen negara, yang benar saja."

"Rumor. Kurasa info ini pulang naik karena memperingati dua puluh tahun meninggalnya Jack Russell. Kau tahu. berdasarkan rumor itu, ada yang mengatakan Jika universitas yang mereka dirikan mempunyai sekolah buat calon mata-mata profesional."

"Bicaramu sok memahami sekali, Alex," cibir Nicholla. "Itu hanya universitas biasa yang tidak jauh tidak sinkron dengan universitasmu."

"Terlihatnya memang mirip itu. akan tetapi apa kau pernah mendengar siapa yang pernah lolos ke universitas itu? Mahasiswanya seperti sengaja disembunyikan."

"Bukan disembunyikan, tetapi mereka memang punya sistem asrama yang ketat. teman berasal temanku lolos ke jurusan usaha. beliau tidak pernah pulang kecuali libur panjang. Rumor akan selalu jadi rumor."

"Nicholla, saya tahu itu rumor, hanya—"

"Alexander." Terry memanggil dengan sangat fokus. "Kau sendiri yang mengatakan Jika itu rumor. Berhenti menyampaikan soal rumor di balik berita duka. Ini sudah terlalu malam buat memulai perdebatan. Usahakan kalian naik, sekarang."

Alexander mengerucutkan bibirnya namun tetap mengikuti perkataan Terry. ketika kakinya akan melangkah pulang, tubuhnya menyempatkan diri buat berbalik. "Dad, boleh Jika aku membahasnya lain ketika? tampaknya Daddy tahu banyak mengingat Daddy bukan orang baru pada Turin."

"Daddy-mu tidak tahu apa pun, Alex. Sebagian hidupnya dihabiskan di New York," ujar Emma sebagai penengah. "Jika memang bertanya-tanya, coba cari tahu di internet. Selamat malam, Parta."

"Baiklah. Selamat malam, Mommy."

***