webnovel

Jangan Sakit Lagi

"Aku akan pulang, Mom," janjinya. Alexander berjalan keluar dari restoran cepat saji dengan ponsel yang terapit di antara bahu dan telinga. Masing-masing dari tangannya sibuk memegang burger serta minuman yang belum sempat dihabiskan.

"Good then. Daddymu uring-uringan karena Cedar terus menggodanya."

"Cedar selalu bisa membuatku bangga. Bulan depan aku akan memberinya teman baru."

"Alex," tekan Emma penuh peringatan.

"Mom, kita bicara lagi nanti. Ada pekerjaan yang menunggu."

Panggilan ditutup. Masih dengan posisi yang sama, Alexander melanjutkan langkahnya mendekati mobil. "Sedang apa di sini?" tanyanya dengan senyum yang dipaksakan.

Gadis itu balas tersenyum seraya menaikkan bahu. Alexander hanya bisa diam ketika ponselnya diambil kemudian dimasukkan ke saku jaketnya.

"Kau mengikutiku?"

"Habiskan makananmu. Kita perlu bicara. Sebentar."

"Apa yang ingin kau bicarakan, Teresa? Kurasa semuanya berakhir dua tahun lalu." Alexander berjalan ke sisi lain mobil, berniat untuk langsung pergi. Akibat sedang menahan emosi, ia menelan setengah dari sisa burgernya dalam satu kali suapan. Sialnya tindakan bodoh ini sukses membuatnya tersedak.

Alexander menepuk-nepuk dadanya menggunakan telapak tangan. Di lain sisi ia merasakan Teresa juga melakukan hal yang sama terhadap punggungnya. Alexander tidak menolak. Ia benci mengakuinya, namun tindakan Teresa sedikit membuat keadaan jadi lebih baik.

"Kau marah padaku. Kau masih membenciku."

"Sudah tidak," ralat Alexander.

"Lalu kenapa harus menghindariku? Menolak mendengar kabar tentangku, menolak membicarakanku."

Alis Alexander terangkat. "Apa tindakanku yang seperti itu merugikanmu, Teresa?"

"Kau membuatku merasa bersalah. Ditambah lagi kau belum pernah memberiku kesempatan untuk meminta maaf secara langsung. Hidupku menjadi tidak tenang."

"Jadi kau berpikir hidupku selalu tenang? Tidak Teresa. Kau membawaku ke dalam mimpi buruk. Kau membuatku takut untuk memulai hubungan baru, bahkan untuk sekadar merasakan jatuh cinta. Ketika seseorang menanyakan tentangmu, dadaku begitu sesak."

Alexander tertawa hambar untuk menghibur dirinya. Wajahnya mendongak, dengan kedua tangan yang berkacak pinggang. Bibirnya mendesis panjang. Ia berusaha sebisa mungkin untuk membuat hatinya tetap tenang. Meluapkan kemarahan atas perbuatan Teresa sama saja membuka luka di masa lalu.

"Kalau begitu kita lupakan segalanya."

"Tentu. Kau bisa memulainya dengan menyingkir dari hadapanku."

"Bisakah kita kembali berteman?"

Gadis ini, apa dia sedang ingin bercanda?

"Kurasa jawabannya tidak," sambung Teresa setelah menangkap raut wajah Alexander. "Itu mengartikan kau belum bisa melupakannya. Kau masih terbayang-bayang tentangku, tentang kejadian di masa lalu."

Geraman halus terdengar dari bibir Alexander. Ia berjalan maju, sampai berhasil membuat punggung Teresa menyentuh badan mobil. Jarak antara mereka kian sempit ketika Alexander berhasil mengapit tubuh teresa dengan kedua lengannya.

Tangan Alexander terkepal, kemudian dipukulkan pada bagian kaca mobil hingga menimbulkan getaran.

"Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku, Teresa?"

Awalnya Teresa hanya bergeming. Namun ketika Alexander memejamkan mata, Teresa mendekatkan wajahnya agar bisa mencium bibir lelaki itu. Beruntung Alexander cepat menangkap pergerakan Teresa, membuat rencanaya gagal.

"Teresa. Apa tunanganmu sudah meninggalkanmu sekarang? Sampai-sampai kau melakukan hal nekat dan menyerah pada keadaan. Tell me the truth."

"Alexander!" bentaknya. "Kalimatmu berhasil menyakitiku."

"Jika ini berhasil menyakitimu, maka kalimatmu sudah menghancurkanku. Aku terbangun dengan sesak napas dan berkeringat, karena kau datang membawa hal buruk di mimpiku. Tentu ini tidak terjadi sekali. Keluar dari rumah sakit bukan berarti penderitaanku berakhir. Entah berapa banyak psikolog yang kutemui, berapa banyak psikiater yang menyarankan berbagai macam obat hanya untuk menyembuhkan traumaku. Di saat aku sedang berjuang, kau dengan teganya mengirimkan surat-surat yang berisi kalimat sadis. Di mana hatimu Teresa?"

"K-kau ini bicara apa? Surat?"

"Hm. Entah itu surat atau buku harian yang pernah kau tulis. Jangan berlagak bodoh. Jangan berpura-pura kau tidak tahu tentang hal ini. Kau benci melihatku bahagia. Itu alasanmu datang bukan? Kembali menghancurkanku."

"Aku memang tidak tahu," bantah Teresa cepat. "Surat apa? Tidak ada surat. Aku menemuimu untuk minta maaf, sehingga tidak lagi merasa terbebani dengan dosa sebelum hari pernikahan. Tentunya juga mengundangmu untuk datang. Mengertilah, Parta. Kumohon."

"Stop. Lying. To. Me," ujar Alexander dengan penekanan serta amarah di setiap katanya. "Kau tidak lelah berbohong? Satu lagi. Kau bukan Mommy, jadi jangan pernah memanggilku Parta."

Alexander meraih pergelangan tangan Teresa, menuntun gadis itu ke belakang mobilnya. Ia membuka pintu, meraih kotak kecil di antara tumpukan kardus.

"Kebetulan aku sedang membersihkan apartemen dan menemukan kotak ini. Baru akan kubakar di lahan kosong dekat rumah. Rupanya dia ingin berjumpa dengan pemiliknya. Jumlahnya lebih banyak dari yang pernah kuterima. Kurasa Nicholla yang menyembunyikan kertas ini namun lupa untuk membuangnya. Ambil, baca dan renungkan."

Bibir Teresa bergetar, bersamaan dengan kertas kedua yang dia buka. Air mata gadis itu tiba-tiba jatuh. Sayangnya sekarang Alexander tidak ingin berbaik hati. Teresa harus tahu, seberapa pintarnya dia menghancurkan Alexander.

"Aku nyaris terbuai dalam pelukanmu, namun semuanya berakhir karena aku sadar kau hanyalah bidak catur yang sedang kumainkan."

"Hari ini kau menyentuhku, padahal semalam aku baru bercumbu dengannya."

"Alex, aku menikmati setiap detik percintaan kita. Namun hatiku tidak."

"Kau pasti sedang berusaha melupakanku. Jangan berharap banyak, Alex. Jika bulan depan kau gagal, sebaiknya mati saja. Lemah."

"Hal yang kusadari selama dekat denganmu adalah, kau bukan orang yang berharga. Kau pantas disakiti. Hidupmu tidak akan pernah berguna."

Sebagian isi dari kertas-kertas itu masih teringat jelas pada pikiran Alexander. Itu karena Teresa selalu datang dan meneriakkannya di dalam mimpi. Menyebalkan. Kapan gadis ini akan berhenti menganggunya walau di alam mimpi?

"Alex, a-aku sungguh tidak mengerti. Ini bukan perbuatanku. Aku berani bersumpah."

"Bukan berarti semuanya bisa berubah. Kau pernah menyakitiku. Ingat baik-baik." Alexander berbalik. Ia harus segera meninggalkan tempat ini sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi. Akan tetapi langkahnya terhenti sejenak, ia menarik napas panjang dan kembali bicara, "Aku tidak bisa berjanji untuk datang. Namun demi menghormati undanganmu, akan kuusahakan. Semoga kau bahagia, Teresa."

Sakit. Sejak tiba di area parkir apartemen, Alexander terus meremas pakaiannya karena rasa nyeri yang menjalar pada bagian dada. Seharusnya ia langsung pulang setelah kembali dari restoran cepat saji. Namun keadaan berubah total, membuatnya harus mengistirahatkan tubuhnya sebentar.

Alexander mencoba mengatur napas. Mulutnya dibuka lebar-lebar demi menambah pasokan udara yang masuk. Ia bahkan berjalan sambil berpegangan pada dinding agar tubuhnya tidak ambruk. Sial. Alexander tidak ingin kembali ke rumah sakit.

"Mom, Dad, Nicholla," lirih Alexander bersamaan dengan datangnya rasa mencekik pada leher.

"Mama, kupikir dia bangun."

Kedua mata hazel itu mengerjap berulang kali saat mendapati seorang gadis menatap tepat pada wajahnya. Alexander mengamati keadaan sekitar, lalu mengetahui jika dirinya sedang berbaring di atas sofa. Perlahan rasa pening di kepalanya hilang, berganti dengan sebuah pertanyaan.

Aku di mana?

"Syukurlah. Bagaimana keadaanmu?" tanya seorang wanita yang Alexander ketahui bernama Sarah—tetangga apartemennya yang pernah ia bicarakan bersama Hailexa.

Dalam tiga detik Alexander langsung tahu di mana sekarang ia berada. "Baik," balasnya. Kini pertanyaan berganti. "Apa yang terjadi?"

"Kau pingsan di lorong dan kebetulan aku sedang keluar untuk membuang sampah. Karena apartemen kita bersebelahan, kupikir akan lebih praktis jika kau beristirahat di tempatku."

Oh, shit. "Terima kasih sudah menolongku Sarah. Aku baru saja mengalami hari yang buruk."

"Kau pasti akan segera melewatinya." Sarah mengulurkan gelas yang berisi minuman hangat untuk Alexander. "Danio senang setiap kali kau mengajaknya pergi. Maaf sudah mengganggu ketenanganmu dengan pertengkaran yang terjadi. Setelah ini kau tidak lagi mendengarnya karena kami akan segera bercerai."

Alexander bisa melihat dengan jelas ada penderitaan di mata Sarah. Saat berperan sebagai seorang ibu, mungkin Sarah bisa menyembunyikan kepedihannya. Namun sekarang Sarah sedang menjadi seorang wanita yang ingin didukung dan didengar.

"Santai saja, Sarah. Terima kasih karena kau sudah menjadi ibu yang kuat. Mungkin ini adalah keputusan yang berat, tetapi kedua anakmu pasti akan lebih senang saat melihat ibunya bahagia."

"Kau manis sekali. Bergabunglah untuk makan malam."

Alexander menerima tawaran Sarah dengan mengikuti wanita itu ke meja makan. Di sana Danio—putra Sarah yang kerap Alexander ajak untuk makan di restoran cepat saji, sudah duduk dengan tenang sambil tersenyum. Lain halnya dengan Deliah, gadis kecil itu tampak menikmati acara di televisi.

"Kuharap kau suka sup kentang," ujar Sarah usai menuangkan sup ke dalam mangkuknya.

"Aku menyukainya, ini enak. Daddy juga sering membuatkannya untukku."

Gerakan tangan Alexander harus terhenti saat merasakan pakaiannya ditarik perlahan. Deliah, dia sedang berdiri di sampingnya, kembali menatap melalui dua matanya yang bulat.

"Deliah, duduklah Sayang. Alex meminjam kursimu untuk malam ini saja."

"Tidak tidak." Alexander memilih mengalah. "Aku akan pindah saja."

"Jangan," larang Deliah cepat. "Kau bisa duduk denganku. Ini kursi terbaik."

Ketika Deliah mengangkat kedua lengannya, saat itu Alexander paham jika gadis ini meminta untuk dipangku. Deliah duduk dengan tenang. Mereka bahkan makan dari mangkuk yang sama. Setelah beberapa suap Deliah meletakkan sendoknya. Gadis ini memutar tubuh kemudian memeluk Alexander erat.

"Jangan sakit lagi," bisiknya disertai tepukan pelan. "Mama selalu sedih saat aku atau Danio sakit."

"Baiklah. Aku tidak akan sakit."

"Janji?"

Alexander mengangguk walau sebenarnya tidak yakin, mengingat traumanya bisa datang di saat yang tak terduga. Namun tentu saja ia selalu berharap jika ini yang terakhir.