webnovel

Cukup Berikan Kartu Identitasmu

Hujan deras mengguyur Turin sejak pukul lima pagi. Beberapa jam kemudian intensitasnya menurun, akan tetapi temperatur suhu tidak berubah, justru jadi jauh lebih dingin. Berdasarkan ramalan cuaca yang disiarkan oleh media, hujan baru akan berhenti pada pukul sepuluh dan kembali turun setelah pukul dua belas.

Sebagai gadis yang tumbuh di Washington, hal semacam ini tidaklah mengejutkan. Langit mendung, gerimis, atau hujan deras bisa datang meski musim panas belum berakhir. Terlebih lagi ketika harus mengunjungi Forks, kota lembab yang dipenuhi hujan.

"It's a great rainy morning, right?"

Sambil melepaskan jaketnya, Hailexa tersenyum kecil menanggapi sapaan Bedric.

"Washington, aku lupa itu," tambah Bedric. "Semakin bertambah tahun perubahan iklim semakin tidak beraturan. Baru kemarin aku mengeluh karena panas dan hari ini hujan sedang menertawakanku."

"Bumi ini sudah terlalu tua. Kita pergi sekarang?"

Bedric melakukan peregangan untuk melemaskan otot-ototnya. Mata laki-laki ini menyipit, melihat pada jam di layar komputer. "Masih ada waktu dua puluh menit. Kau tidak ingin sarapan? Ada croissant dan cappuccino hangat. Tentunya sereal seperti biasa."

Hailexa memutar bola mata, merasa bosan dengan menu tersebut. Bekerja di kafe membuatnya sering mencoba berbagai jenis kopi serta makanan pendamping lainnya. Namun mengingat jika dirinya belum makan apa pun, Hailexa terpaksa mengabaikan rasa bosannya.

Pandangan Hailexa mengedar, mengamati setiap sudut dari ruangan yang dipijaknya. Pencahayaannya dibuat redup, beberapa meja dipenuhi oleh perangkat komputer serta alat komunikasi lainnya. Bibir Hailexa menganga, menyadari betapa menakjubkannya tempat ini. Persis seperti yang ia lihat pada film-film.

Usai sarapan Bedric langsung mengajaknya turun, pergi ke ruangan yang telah disepakati. Sesuai rencana sebelumnya, hari ini Bravo Munoz datang untuk dimintai keterangan tambahan. Sebagai pemula tentu saja Hailexa hanya diizinkan bekerja di belakang layar. Memanfaatkan fungsi dari cermin dua sisi, ia dan beberapa anggota lain bisa melihat dengan jelas proses interogasi di ruangan sebelah.

"Duduklah," ujar Bedric seraya menarikkan kursi untuknya.

Jika ruangan yang Hailexa tempati cenderung gelap, maka hal ini berbanding terbalik dengan ruang interogasi. Pencahayaan di sana sangatlah cukup. Terdapat meja, kursi, serta dua buah layar monitor. Beberapa benda-benda pendukung seperti mikrofon kecil, jam dinding, serta kamera tersembunyi juga ikut diletakkan.

Bravo belum dipersilakan masuk, tim masih dalam tahap uji coba agar proses berjalan lancar. Di ruangan sebelah sudah ada satu orang pria dan satu orang wanita berpakaian formal. Mereka nantinya bertugas untuk mengajukan pertanyaan pada Bravo.

"Kamera satu, dua, dan tiga sudah berfungsi."

"Kau bisa lihat di mana kameranya?" tanya Bedric. Hailexa membalasnya dengan gelengan. Tidak ada satu pun kamera yang terlihat. Akan tetapi layar komputer menunjukkan jika kameranya sudah berfungsi. Bedric memberikan sebuah headphone pada Hailexa sekaligus membantunya memasang benda itu. "Dengan ini kau bisa mendengar suara di dalam lebih jelas, bahkan gerak benda di atas meja. Tidak digunakan juga tidak masalah."

"Apa yang Bravo lihat nanti, ini seperti cermin biasa bukan?"

Bedric mengangguk. "Tetapi kurasa semua orang juga tahu ini cermin dua sisi."

Bravo masuk didampingi seorang wanita. Hailexa tidak tahu siapa wanita itu. Kemungkinan dia seorang pengacara yang sengaja disewa atau justru detektif lain.

Hailexa merasakan ketegangan dalam dirinya meningkat. Awal-awal hanya percakapan biasa, pertanyaannya juga begi mendasar. Namun setelah berjalan sepuluh menit, ketika sebuah video mulai diputar, saat itulah jantungnya mulai berpacu lebih keras.

"Bravo Munoz. Kau tertangkap sedang memukuli seorang pria di luar bar. Kejadiannya pukul satu dini hari. Kenapa kau lakukan ini?"

Lima menit berlalu belum juga ada jawaban. Bravo terlihat begitu tenang. Matanya memandang lurus pada kamera tersembunyi, namun tidak menunjukkan ekspresi apa pun.

"Setelah pria itu tak sadarkan diri, kau mengambil sesuatu dari saku jaketnya."

"Aku," lirih Bravo. "Dia sudah berjanji untuk melunasi utangnya, tetapi tidak segera dilakukan. Hari itu aku sedang butuh uang."

"Kalian punya hubungan keluarga?"

"Tidak. Dia hanya pegawaiku. Setelah malam itu dia datang ke toko daging dan membayar utangnya, kemudian pergi. Sampai hari ini aku belum lagi melihat wajahnya."

"Kau tahu di mana dia tinggal?"

"Tidak," jawabnya tegas. "Bukan urusanku."

Dua lembar foto diletakkan ke atas meja dan diperlihatkan pada Bravo. Dua foto itu menunjukkan isi dari galian lubang yang berlokasi di dekat rumahnya. "Bisa kau jelaskan mengenai ini?"

"Aku memang pernah mengubur hewan di sana, namun bukan anjing. Kau tahu, aku ini pecinta anjing. Jika anjingku mati, aku akan membawa tubuhnya untuk dikremasi."

Layar monitor kembali menampilkan sebuah video rekaman kamera pengawas. Tanggalnya tertulis satu hari sebelum tubuh Emily ditemukan. Video itu menunjukkan Emily baru keluar dari bar bersama seorang pria yang jelas bukan Bravo, melainkan pegawainya.

"Pukul dua lebih dua puluh delapan dini hari. Di bar. Sedang apa mereka?" tanya si pria berjas.

Bravo mengedikkan bahu sambil menggeleng. Hal ini tentu saja tidak bisa membuat dua detektif diam dan merenung. Pria itu kembali bertanya, "Kau mengatakan kalian saling mencintai. Bagian mana yang disebut mencintai ketika wanitamu berciuman dengan lelaki lain?" Suaranya terdengar lebih tegas dari sebelumnya. Dia menekan kata berciuman tepat ketika rekaman menunjukkan hal yang sama.

"Dia berselingkuh dari Belinda, tentu saja bukan hal yang aneh jika dia berselingkuh denganku. Aku ini bukan pengangguran seperti suaminya yang bisa mengawasi setiap tingkah laku Emily. Bahkan Belinda yang pengangguran tidak pernah sekalipun mengawasinya."

"Apa kau tahu Emily berbuat seperti ini? Bagaimana perasaanmu?"

Bravo menggaruk hidung bersamaan dengan dua matanya yang terpejam. Bahu pria itu melemas, raut wajahnya tampak tersiksa, merasakan pedih yang mendalam. "Tidak," jawabnya disertai senyum getir. Bravo meraih gelas yang berisi air mineral di sudut meja kemudian meneguknya hingga tandas. "Bukti rekaman dan pertanyaan ini membuatku lelah. Boleh aku ke toilet?"

"Tentu. Bernapaslah dengan baik. Lima belas menit."

Ketika Bravo dibawa ke luar, Hailexa langsung bangkit dari kursinya dan mengambil segelas the hangat yang baru saja datang. Kedua tangannya dilipat di depan dada, mata biru itu memperhatikan Bedric yang sedang menulis sesuatu pada buku catatannya.

"Apa yang kau tulis?" tanya Hailexa penasaran.

"Bukan apa-apa, hanya catatan pribadi. Setiap kali memikirkan sesuatu, aku selalu menulisnya."

Tiba-tiba pintu dibuka secara kasar, mengejutkan beberapa orang di dalam ruangan. Pelaku utamanya adalah pria berjas yang tadi menginterogasi Bravo. Hailexa memperkirakan jika usianya awal tiga puluhan. Di sekitar dagunya ditumbuhi rambut-rambut halus. Dengan rambut gelapnya yang disisir rapi, dia terlihat begitu tampan, segar, dan seksi.

"Oh, anak baru."

Hailexa menganga sebab mendengar sapaan yang dilontarkan pria itu.

"Namaku Aldrich Arce," sambungnya.

"Senang bertemu denganmu, Agent Arce. Namaku Hailexa Spencer."

"Aldrich, Hailexa. Kita cocok. Kau punya janji makan siang? Ingin makan siang denganku?"

Hailexa menelan ludah. Ia ingin sekali menolak ajakan Aldrich, namun seketika merasa tindakan ini tidaklah sopan. Hailexa juga tidak bisa menerima ajakannya, mengingat situasi sedang panas. Alesya sempat menatapnya dengan aura permusuhan.

"Dia akan makan siang denganku, Arce," celetuk Bedric. Hailexa bernapas lega karena sudah diselamatkan dari jalan yang akan menuntunnya ke neraka.

"Aku tahu kau berbohong Bedric. Sudahlah Hailexa, aku hanya bercanda. Selamat bergabung dalam tim."

"Bagaimana Bravo?" tanya Bedric.

Aldrich berbalik, berjalan mendekati meja di mana Alesya sedang berdiri di dekat sana. "Tidak semua perkataannya benar. Dia gelisah, takut, dan tidak pandai berbohong. Aku bahkan bisa melihat keringat yang membasahi lehernya, padahal ruangannya dingin. Bravo sedang menyembunyikan sesuatu," paparnya.

"Bagaimana bisa dia melihat sedetail itu?" bisik Hailexa pada Bedric.

"Tentu Aldrich bisa. Lagi pula jika kau perhatikan, beberapa gerak tubuh Bravo jelas menunjukkan dia sedang berbohong. Oh shit," Bedric mengumpat pelan, " bodohnya Aldrich suka lupa tempat."

Hailexa langsung mengalihkan pandangannya saat menyadari arti dari kalimat Bedric. Aldrich, pria itu sedang mengusap-usap leher Alesya menggunakan punggung tangannya. Sekilas hal ini mengingatkan Hailexa pada Alexander, yang tanpa sadar membuat senyumnya mengembang.

"Kalian tenang saja. Aku sudah dapatkan data-data mengenai pegawai Bravo. Sayangnya dia pergi dari Turin. Aku bisa menemani kalian pergi. Jadi Bedric, siapkan perjalanannya seperti biasa. Alesya tidak ikut, dia sudah mengatakannya padaku semalam. Hailexa, bantu Bedric karena kau juga akan ikut."

"Arce! Kau serius? Astaga akhirnya!" pekik Bedric girang.

"Aku ikut. Bedric aku ikut," sela Alesya cepat di tengah-tengah teriakan Bedric yang berhasil membuat sudut bibir Aldrich terangkat.

"Santai saja Hailexa, aku bisa urus semuanya. Cukup berikan kartu identitasmu."

"Kartu identitas?" Hailexa menaikkan alisnya. "Untuk apa?"

Bedric membuang napas. "Kita akan pergi dari Turin. Jika terpaksa menginap, memangnya kau ingin satu kamar denganku? Tentu tidak, maka dari itu berikan kartu identitasmu."