webnovel

Bulan Itu Indah

"Kapan benda ini datang?"

Hailexa bertanya pada petugas lobi, usai dirinya mencubit pelan kulit pada punggung tangan. Terasa sakit, itu menandakan jika ia sedang tak bermimpi.

"Sekitar empat jam lalu. Mohon tanda tangan di sini, Nona. Sebagai tanda jika Anda sudah menerima barangnya."

Setelah membubuhkan tanda tangannya, Hailexa meraih buket bunga mawar merah, dengan satu lembar kartu ucapan yang diselipkan di antara bunga-bunga. Senyumnya langsung mengembang begitu saja, saat ia membaca pesan yang tertulis di sana.

Beautiful roses, for my beautiful lady, Hailexa Rose.

All I wanna do is stand on the roof, and tell the moon if I miss you.

-F

"Oh astaga!" ujar Hailexa nyaris berteriak. Beruntung tidak ada orang lain di dalam lift. "Dia ingin membunuhku secara perlahan, huh?"

Tanpa perlu ditanya, Hailexa tentu tahu siapa pengirim buket bunga ini. Jadi, lelaki itu sudah kembali? Keadaan mereka masih sama, belum lagi bertukar pesan. Namun dengan kiriman ini, Hailexa tahu pasti jika Alexander sudah tidak marah kepadanya.

Sesampainya di apartemen, Hailexa berniat untuk memotret kartu ucapan tadi dan mengirimkannya pada Alexander. Akan tetapi, niatnya diurungkan setelah melihat sisi lain dari kartu tersebut.

Ada sebuah barcode yang tercetak di sana. Hailexa tentu paham apa yang seharusnya ia perbuat. Cukup butuh waktu sekitar lima detik saja, ponselnya secara otomatis mengunduh sebuah file dengan format audio.

"Hai. Kau suka bunganya?"

Ini merupakan rekaman dari suara Alexander. Lelaki itu rupanya menirukan cara yang ia gunakan, untuk membuat sebuah pengakuan dan permintaan maaf.

"Aku akan sangat lega jika kau sedang mendengarkan suaraku saat ini. Terima kasih atas inspirasinya. Hailexa, aku rasa kita sudah cukup jelas dengan kejadian di tempo hari. Lalu kupikir, kau juga sudah tahu tentang keluargaku. Jadi aku tidak ingin menunda lagi, langsung pada inti saja. Sebelum itu, aku harus mengucapkan permintaan maaf padamu. Maaf. Maaf karena sikapku. Maaf karena tak langsung membalas pesanmu. Maaf untuk rasa sakit yang kau alami, Hailexa."

Dada Hailexa seketika terasa sakit, seperti baru saja dipukul dengan benda keras. Alexander memang sempat membuat kesalahan, namun semua itu jelas tak sebanding dengan apa yang ia perbuat. Alexander seharusnya tidak perlu meminta maaf sampai seperti ini.

"Sekarang aku ingin membuka masa laluku kepadamu. Kau pasti memendam rasa penasaran soal Teresa. Bagaimana aku dengannya bisa berpisah? Aku akan katakan semuanya."

Hailexa menipiskan bibir. Ia menunggu untuk saat-saat seperti ini. Namun, mengapa tiba-tiba dirinya merasa tidak siap? Ia jadi takut mendengar kisah masa lalu Alexander.

Rekaman suara terus berjalan. Alexander menceritakan setiap kejadian yang dialaminya secara detail. Hailexa bisa menilai jika laki-laki itu dulunya sangat mencintai Teresa. Mendengarkannya saja membuatnya terbakar cemburu. Akan tetapi, suasana hatinya langsung berubah ketika Alexander memaparkan bagaimana mereka berpisah.

Dada Hailexa terasa semakin sakit dan sesak. Dalam benaknya kini timbul satu pertanyaan. Bagaimana bisa Teresa berbuat setega itu, setelah Alexander mencintainya begitu dalam?

Trauma, psikiater, obat-obatan, serta mimpi buruk yang dialami, itu semua tidaklah mudah. Tiga tahun juga bukan waktu yang singkat. Membayangkan Alexander melewati masa suramnya, sukses membuat hati Hailexa teriris. Ia lebih tak bisa membayangkan bagaimana perasaan keluarga Alexander, khususnya Emma, saat tahu putranya mengalami tekanan mental yang cukup berat.

Tanpa diduga, setetes air mata Hailexa meluncur mulus melewati pipinya.

"Sekarang aku sudah baik-baik saja, terlebih setelah bertemu denganmu. Hailexa. Jika kita bisa bertemu malam ini, hal pertama yang ingin aku dengar adalah kau memanggil namaku. Aku akan menunggu hingga tengah malam."

"Dia bicara apa? Menungguku? Di mana?"

Rekaman suaranya sudah berakhir, namun Hailexa tidak mendengar Alexander mengatakan keberadaannya saat ini. Itu hanya ungkapan belaka, atau dia memang serius mengajak untuk bertemu? Jika serius, lalu di mana?

Hailexa mengetuk-ngetuk layar ponselnya. Ia menggigit bibir kuat-kuat, berusaha memecahkan ada di mana laki-laki itu sekarang.

All I wanna do is stand on the roof, and tell the moon if I miss you.

Yang ingin aku lakukan adalah berdiri di atap, dan memberi tahu kepada bulan jika aku merindukanmu.

Pandangan Hailexa seketika mengarah pada jendela, sebelum kemudian kepalanya mendongak. Di atap. Alexander berada di atap. Namun atap yang mana?

"Tidak mungkin," desisnya. Pandangan Hailexa langsung berganti pada jam di ponselnya. Waktu sudah lewat dari tengah malam. Akan tetapi, firasatnya mengatakan jika Alexander masih berada di sana.

Kedua kaki Hailexa berlari kencang menyusuri lorong apartemen. Ia kemudian langsung memasuki lift, dan menekan tombol yang akan membawanya pada lantai teratas. Ini murni sebuah tebakan, jika Alexander berada di atap apartemennya. Mereka memang belum pernah datang ke sana, namun beberapa waktu ke belakang, Alexander pernah mengatakan keinginannya untuk menjelajah hingga atap apartemen.

Lantai teratas tentu tak lantas menghubungkan Hailexa dengan Alexander. Ia perlu menaiki puluhan anak tangga lagi guna mencapai atap. Ketika tiba di atas, dengan napas yang terengah-engah, kedua matanya sibuk memandangi area di hadapannya. Ia mulai dilanda panik karena tidak menangkap kehadiran Alexander. Namun, di saat kepala Hailexa menoleh ke kiri, bibirnya langsung tersenyum karena mendapati seorang lelaki tengah duduk sambil memeluk lutut.

Wajah Alexander yang tadinya ditenggelamkan, kini terangkat sebab mendengar suara langkah kaki.

"Alex!" pekik Hailexa. "Sudah gila ya? Apa tidak ada tempat lain sehingga kau tak perlu meringkuk seperti itu?"

Ada cengiran khas yang lelaki itu tunjukkan untuk menyambut kedatangan Hailexa. Masing-masing tangan Alexander digunakan untuk menyugar rambut tebalnya yang menutupi dahi. Langkah kakinya sengaja diperlambat, namun hal inilah yang justru membuat Hailexa bisa memandangnya dengan puas.

"Berapa banyak makanan yang kau habiskan?" tanya Hailexa lagi karena Alexander tak kunjung bicara.

Alexander menoleh, menatap pada bungkus makanan cepat saji yang berada di dekat dinding. Kedua bahunya bergerak naik. "Kurasa tidak banyak." Alexander memajukan wajahnya, berhenti tepat di sebelah telinga Hailexa. Dia berbisik, "Aku senang kau sudah mendengarkan seluruh pesanku. Kau suka bunganya?"

"Tentu saja. Apa masih ada yang perlu kita bicarakan?"

"Untuk sekarang tidak. Kita bisa saling bertanya seiring berjalannya waktu. Lagi pula, bukankah semuanya sudah jelas? Jika pun ada hal yang perlu dibicarakan, maka aku hanya ingin bicara tentangmu."

Hailexa menunduk. Ia menggigit bibir sekaligus menyembunyikan senyum serta rona di pipinya. "Lain kali jangan seperti ini. Sekarang sudah lewat tengah malam dan kau belum pulang. Bagaimana jika aku tidak datang?"

"Maka aku akan terus menunggu. Aku merindukanmu."

Kalimat terakhir dari Alexander membuat Hailexa mendongakkan wajahnya. Dalam sesaat, mata mereka saling bertemu. Meskipun penerangan di sini bisa dikatakan minim, Hailexa tetap bisa merasakan jika ada kehangatan yang terpancar dari tatapan Alexander.

Hailexa menempelkan telapak tangannya pada masing-masing pipi Alexander yang dingin. Lelaki itu ganti menangkupnya, menahan agar tanganya tidak berpindah.

"Kau sudah tuliskan kalimat itu, Alex."

"Aku lebih suka mengatakannya langsung."

"Kalau begitu, aku juga ingin mendengar yang lain."

Satu alis Alexander terangkat, tatapannya terlihat bingung. Hailexa sendiri, menampilkan ekspresi yang sedang terhibur. Namun tampaknya, jika dibiarkan terus seperti ini Alexander tak akan kunjung menangkap maksud perkataannya.

"The moon is beautiful, isn't it?"