webnovel

Biarkan Aku Pergi

Nicholla mendengkus. Masing-masing bola matanya bergerak memutar. "Jika kita teman, maka berikan pesananku, lalu biarkan aku pergi. Bukannya meminta tambahan dua puluh dollar dan membuatku harus mengambil makanan sendiri."

"Totalnya tiga dollar," kata Joelle yang mengabaikan Nicholla. "Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya, apa kau baru di sini? Jika kau orang baru, aku bisa berikan nomor teleponku untukmu. Tempat ini menyediakan jasa pesan antar."

"Oh Joelle, kau keterlaluan. Berhentilah merayu orang asing," celetuk Nicholla.

"Aku hanya singgah beberapa hari," ujar Alexander sembari menyerahkan tiga lembar uang pecahan sepuluh dollar. "Gadis ini tampaknya berutang dua puluh dollar padamu. Biarkan aku yang membayar, kau bisa ambil sisanya. Ayo Nicholla."

Alexander hanya bisa menahan senyum ketika Joelle menampilkan ekspresi terkejut. Nicholla sendiri menjulurkan lidahnya, puas dengan aksi yang dilakukan oleh Alexander.

"Dia benar-benar temanmu?" tanya Alexander ketika kembali ke meja semula. Nicholla meletakkan piring yang berisi nasi dan potongan daging ayam di hadapannnya, serta satu botol air mineral. "Dari mana asalnya?"

"Singapore. Dia teman dari temanku. Lalu dua puluh dollar tadi, sebenarnya harga yang harus dibayar karena mantan kekasihku mengotori minimarketnya saat mabuk. Aku akan ganti uangnya nanti. Tolong jangan katakan pada Mommy, ya."

Kening Alexander berkerut. Entah mengapa ia tak suka mendengar kata 'mantan kekasih' dari bibir Nicholla. "Jadi karena ini kau murung? Lalu rokok di dalam sakumu, milik siapa?"

Nicholla yang sebelumnya sedang mengaduk makanan langsung terdiam. "Kami berpisah saat aku berada di Turin. Dia berselingkuh dengan tidur bersama gadis lain. Lalu tadi sore, dia kembali mengirim pesan dan berkata jika ingin bertemu dengan Mommy dan Daddy. Bukankah itu gila, Alex?" Nicholla mengeluarkan satu bungkus rokok beserta pemantik api dari saku pakaiannya. "Ini milik temanku. Aku tidak pernah sekali pun mencoba benda itu. Kau bisa memakainya."

Alexander mengambil satu batang lalu menyalakannya. Ia memang bukan seorang perokok aktif, namun bukan berarti tak pernah mencobanya sama sekali. "Berhenti main-main. Mencari seseorang yang tepat, tentu tidak dengan cara mengencani seluruh pria yang kau kenal," tuturnya.

"Aku tahu. Jangan cemaskan apa pun. Asal kau tahu saja, aku membawamu kemari karena Mommy menyuruhku bicara denganmu. Semalam," kalimat Nicholla menggantung sejenak, "sebaiknya lupakan soal Teresa. Selesaikan masalahmu dengan Hailexa, lalu kalian bisa kembali. Dia cantik. Rambutnya pirang dan matanya biru. Kau beruntung sekali."

"Kau sudah bertemu dengannya?"

Kepala Nicholla mengangguk cepat. "Dia datang ke rumah saat kau sudah pergi ke bandara. Hailexa terlihat menyenangkan. Aku memang tidak tahu cerita sepenuhnya, namun cobalah maafkan kesalahannya, Alex. Dia pasti merasa bersalah sepertiku. Sejak kau tahu kebenarannya, aku benar-benar takut jika kau marah dan menolak bicara denganku, kemudian berakhir membenciku," ungkap Nicholla dengan wajah sedihnya.

Bagi Alexander wajah sedih Nicholla terlihat aneh.

"Mana mungkin aku berbuat seperti itu. Jangan mengada-ada. Sekarang aku minta pendapatmu. Saat kembali nanti, haruskah aku menghubunginya terlebih dahulu?"

"Tentu. Sekarang bukan bicara siapa yang salah siapa yang benar. Lebih cepat diselesaikan, maka lebih baik."

"Kau pintar memberi nasihat, tetapi kenapa sering gagal dalam percintaanmu sendiri? Daddy saja sampai mencemaskanmu."

"Jangan membual. Sebaiknya urusi saja masalahmu. Telepon Hailexa dan katakan kau mencintainya. Kenapa aku bisa punya saudara kandung bodoh sepertimu?"

Tebakan Alexander benar rupanya. Nicholla tidak mungkin bisa bicara dengan kalimat manis dalam jangka waktu yang lama. Di awal dia pasti terlihat memelas, namun dalam beberapa saat akan kembali seperti tidak pernah peduli.

"Terserah kau saja. Aku akan tertawa paling kencang jika kau menyadarinya suatu hari nanti. Habiskan makananmu, lalu pesankan aku menu yang sama."

Alexander dan Nicholla menghabiskan waktu mereka dengan membicarakan banyak hal. Kuliah, pekerjaan, makanan, sampai bergosip. Beruntungnya tempat ini buka dua puluh empat jam, jadi mereka tidak perlu cemas jika ingin duduk dalam waktu yang lama. Terlebih lagi setelah Alexander minta untuk dibelikan bir dingin, mereka semakin tidak ingin pulang.

"Nicholla. Kau bawa ponsel? Jam berapa sekarang?"

"Tidak. Kurasa baru lewat pukul dua belas. Kita pulang setelah ini."

"Memangnya kau kuat berjalan? Setelah makan pedas, kau minum bir. Semoga perutmu baik-baik saja." Alexander menatap pada cup yang berisi kue beras dengan saus berwarna merah milik Nicholla. "Dua porsi dan kau habiskan semuanya."

"Ck! Kita lihat saja siapa yang berhasil sampai lebih cepat. Kau saja sudah setengah mabuk."

"Nicholla," panggil Alexander dengan suara beratnya. "Kenapa kekasihmu berselingkuh?"

"Karena aku menolak tidur dengannya. Lucu, bukan? Dia pasti berpikir jika berkencan denganku, makan bisa mengajakku tidur setiap saat. Kenapa bertanya seperti itu?"

Alexander menggeleng. "Hanya penasaran. Seharusnya kau bawa dia ke rumah, dan membiarkanku memukul wajahnya."

"Dia seorang petenis. Jika kau lakukan itu, aku lebih takut wajahmu akan bengkak karena dipukul dengan raket."

"Aku benci mengakuinya, tetapi ucapanmu benar."

Baik Alexander maupun Nicholla kini tertawa terbahak-bahak. Di tengah-tengah tawanya tak tak bisa dihentikan, mata mereka langsung menyipit karena terkena sorot lampu dari mobil yang baru saja berhenti.

Keduanya sama-sama menatap kesal. Sorot lampu itu membuat mata sakit. Namun kekesalan mereka hanya bertahan sekian detik, karena pengendara mobil yang baru tiba adalah Terry Peterson.

"Kalian tahu ini jam berapa?"

"Dua belas lewat sedikit," jawab Alexander yang tak berani menatap Terry. Ayahnya itu pasti akan langsung tahu jika ia dalam keadaan setengah mabuk.

"Dua lebih lima belas, Alexander."

"Dad, ini salahku. Aku yang mengajaknya kemari. Tapi bukan aku yang menyuruhnya minum bir dan merokok."

Seketika tatapan tajam Alexander mengarah pada Nicholla. Adiknya itu ingin menolongnya atau justru membuatnya terjebak dalam masalah?

"Hm. Kalian sudah bayar makanannya?" tanya Terry lagi.

"Sudah. Dad, apa Mommy tahu kami pergi? Apa kalian akan marah?"

Terry membuang napas. "Kami tahu jika kalian pergi. Maka dari itu cepat pulang. Tidak akan ada yang marah, Nicholla," ujarnya sambil memberikan usapan pada puncak kepala Nicholla.

Hal itu sontak membuat Nicholla mendongak. Dia mengerjap lambat, berulang-ulang. "Dad, boleh memelukku sebentar? Kepalaku pusing karena terlalu banyak minum," pintanya.

Terry mengangguk dan langsung melingkarkan lengannya pada bahu Nicholla. Sesekali telapak tangannya mengusap punggung gadis itu secara teratur. Ada satu hal yang tak pernah Terry duga untuk saat ini. Entah mengapa tiba-tiba putrinya itu terisak dalam tangis.

"Dad, kenapa kebanyakan dari mantan kekasihku selalu berselingkuh dengan gadis lain? Apa aku seburuk itu?"

"Benarkah? Mereka pasti laki-laki bodoh."

Terry menoleh pada Alexander, berusaha untuk mendapat jawaban. Akan tetapi itu hanya sia-sia ketika yang Alexander tunjukkan hanyalah cengiran tanpa arti. Seharusnya dia membawa Emma ikut bersamanya tadi. Paling tidak, jika ada Emma, dia hanya perlu mengurus satu anaknya yang sedang mabuk. Dua orang sangatlah merepotkan, terlebih jika sama-sama dilanda patah hati.

Ini menyusahkan, namun dirinya mencoba untuk memaklumi.

Ini menyusahkan, namun dirinya mencoba untuk memaklumi.