webnovel

Aku yang Meminta Mereka untuk Tetap Bungkam

Suara teriakan penuh amarah yang sempat tertahan, kini telah dilepas hingga memenuhi satu ruangan. Guyuran air dingin menyentuh manis permukaan kulitnya yang tak terhalang sehelai kain. Sayangnya sedingin apa pun air itu, tetap saja tidak mampu untuk memadamkan perasaan sakit di hatinya.

Satu telapak tangannya dikepalkan dengan kuat, kemudian ia gunakan untuk meninju dinding di hadapannya. Ini sakit dan perih, namun masih belum sebanding dengan apa yang telah dialaminya. Satu kali saja tentu tidak cukup. Tangan itu terus meninju pada dinding hingga menimbulkan goresan luka.

Alexander pikir semuanya akan membaik usai bangun dari tidur. Semalam ia sudah berendam dengan air hangat, menggunakan sabun serta menyalakan lilin aromaterapi, sampai mendengarkan musik yang bisa membuatnya jadi lebih tenang. Alexander menghabiskan sisa malamnya untuk berpikir dan merenung. Seingatnya terakhir kali-tepat sebelum dirinya masuk ke alam mimpi, Alexander yakin jika paginya akan jadi pagi yang normal. Namun saat ini sudah akan memasuki siang hari, tetapi tetap tidak ada perubahan. Masih saja buruk.

Alexander keluar dari bilik kaca dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Ia berjalan mendekati cermin, memandangi pantulan dirinya yang cukup kacau. Satu tangan Alexander digunakan untuk membuka laci penyimpanan. Ia mengambil satu di antara tiga tabung kecil yang berisi butiran obat. Seringainya dimunculkan ketika ia melihat tanggal yang tertera telah melewati batas.

"Lewat dua hari. Kau beruntung, Alex."

Andai saja belum melewati tanggal kedaluwarsa, mungkin Alexander sudah memasukkan benda ini ke dalam tubuhnya. Jujur saja ia merasa diselamatkan dari bahaya besar. Meminum obat ini sama saja artinya dengan kembali memulai fase kelam dalam hidupnya.

"Cazzo!" umpat Alexander tepat setelah ia keluar dari kamar mandi. Bukan tanpa alasan kali ini dirinya mengumpat. Alexander terkejut. Kamarnya yang tadi kosong, tiba-tiba kedatangan seorang tamu yang masuk tanpa permisi dan sedang duduk manis di atas ranjangnya. "Siapa yang menyuruhmu datang kemari? Sejak kapan kau duduk di sana?"

"Umpatanmu mengerikan."

"Itu wajar. Aku bisa mengatakannya karena-" Alexander menggelengkan kepalanya berulang-ulang. Kenapa ia justru membahas soal umpatan. "Jawab dua pertanyaanku sebelumnya, Nicholla!"

"Pertanyaan yang mana?"

Deretan gigi Alexander saling bersentuhan sehingga menimbulkan bunyi gemeletuk. Ia menarik napas panjang, menahan diri agar tidak berteriak. Adiknya ini memang menyebalkan. Dia selalu punya cara untuk memancing iblis dalam tubuhnya mengamuk.

"Jika kau bukan adikku, maka sudah pasti," Alexander memberikan isyarat melalui dua jarinya yang seakan-akan digunakan untuk menyayat leher Nicholla. "Kau tahu maksudku."

"Cepat pakai baju lalu turun untuk makan siang. Kau sudah tidak datang di jam sarapan dan menolak makanannya saat di antar ke kamar. Jika hal yang sama kembali terjadi, aku bersumpah akan menyiram kasurmu ini dengan kuah sup."

"Posisi kita terbalik. Seharusnya aku yang marah karena perbuatan kalian, tetapi sekarang justru dirimu," ujar Alexander sebelum memasuki kamar ganti dan mengabaikan ocehan Nicholla.

Makan siang kali ini sungguh jauh dari bayangan Alexander. Baru sebentar saja auranya kelewat canggung. Ini seperti jamuan makan siang bersama keluarga kerajaan. Tidak ada yang berniat untuk buka suara. Begitu sunyi, hanya ada suara dentingan dari alat makan dan langkah kaki pelayan.

Alexander menggembungkan pipinya, kemudian mengembuskan napas berat. Ia menyingkirkan potongan brokoli ke tepi piring, kemudian disusul dengan meletakkan alat makannya. Dua orang lain di meja, memperhatikan tingkahnya dengan saksama, sementara satu yang lain hanya melirik melalui sudut mata.

"Alexander. Ada masalah dengan makananmu, Nak?" tanya Emma yang duduk berseberangan darinya.

Hah! Sesuai dugaannya. Emma pasti akan bicara terlebih dahulu. Terry Peterson tampaknya masih ingin diam. Pura-pura untuk tidak peduli. Apa Alexander harus membalikkan meja ini terlebih dahulu agar semua orang bicara?

Alexander menipiskan bibir. Ia menggeleng pelan, mengatakan jika makan siangnya baik-baik saja. Akan tetapi Emma cukup peka. Pertanyaannya tentu tidak langsung berhenti begitu saja.

"Kami tidak akan tahu jika kau hanya diam. Kau ingin makanannya diganti?"

"Brokolinya kurang matang. Rasa dagingnya juga hambar. Tidak apa-apa, aku masih bisa memakannya. Tidak perlu diganti."

"Jangan diteruskan. Mommy akan minta mereka untuk mengganti makanannya. Erica," panggil Emma sembari mengangkat telapak tangannya. "Makan supnya saja dulu."

"Mom, aku bilang tidak perlu diganti," ujar Alexander tegas.

Tiba-tiba saja Terry yang sejak tadi diam, berdeham dengan suara agak kencang. Hal itu sontak membuat Nicholla menjatuhkan sendoknya akibat terkejut. Emma segera menoleh, memberikan segelas air karena mengira jika suaminya tersedak. Sementara itu Alexander justru tersenyum puas.

"Makanannya baik-baik saja. Tolong tinggalkan kami," pinta Terry sesaat setelah beberapa staf dapur mendekati meja makan. "Katakan, apa yang ingin kau ketahui dari kami? Aku akan jelaskan padamu sampai paham," sambungnya dengan suara berat.

Alis Alexander terangkat, merasa ganjil akan ucapan Terry. "Aku bertanya? Lalu harus mulai dari mana? Tidak bisakah seseorang memberikan penjelasan terlebih dahulu?"

Terry memejamkan mata. Napas pria itu berembus panjang. Alexander tahu jika saat ini sang ayah tengah menahan rasa kesal dalam dirinya.

"Kau benar. Aku dan Emma dulunya bekerja di Russell Federation of Investigation. Karena terjadi suatu hal, kami meninggalkan tempat itu dan datang ke Turin. Sebenarnya Emma masih memiliki kesempatan untuk kembali setelah masa skorsnya berakhir, namun dia menolak karena mementingkanmu. Restoran sudah cukup menguras waktu, dia tidak ingin membuatmu merasa diabaikan. Sayangnya ini tak bisa bertahan selamanya."

Terry meraih gelas dengan air yang tersisa setengah. Jemarinya mencengkeram erat, kemudian minum dengan cepat seolah tak ada waktu lagi. Kedua matanya memandang kosong pada piring selama beberapa saat, sebelum akhirnya menoleh pada Emma sambil tersenyum tipis dan kembali melanjutkan ceritanya.

"RFI mengalami kekacauan. Ada banyak kasus yang tidak selesai. Parahnya beberapa agent justru bermain dua sisi. Mereka bersekongkol dengan pihak lawan. Hal itulah yang membuat kami diminta untuk kembali, membantu menata ulang yang tersisa. Kebetulan juga markas utama yang sebelumnya berada di Milan, sedang dipindahkan ke Turin."

"Meski bukan lagi seorang agent, pekerjaan ini tetap punya banyak risiko," timpal Emma yang kembali buka suara guna melanjutkan cerita Terry. "Kami tidak ingin kalian tahu, lalu memilih untuk terlibat dan menjebak diri dalam bahaya. Dunia ini punya sisi yang kotor dan mengerikan. Kami hanya ingin kalian punya kehidupan yang normal. Tumbuh seperti anak-anak pada umumnya dan bahagia dengan cara yang wajar."

"Tentang Nicholla," Terry terdiam sejenak, sementara Nicholla yang semula menunduk, jadi mengangkat sedikit dagunya. Gadis itu melirik pada Alexander, kemudian kembali fokus pada alat makan di tangannya. "Kalau-kalau kau ingat kejadian di Positano, di mana adikmu hilang, saat itulah aku memberitahunya tentang pekerjaan ini. Aku terpaksa melakukannya, karena tidak ingin Nicholla salah mengartikan, kemudian berujung pada sesuatu yang buruk. Pola pikir anak seusianya masih belum matang, jadi kami harus mengajarinya sedikit demi sedikit."

Alexander membuang napasnya kuat-kuat. Cerita barusan memang membuatnya sedikit terkejut, terlebih pada bagian Nicholla. Akan tetapi kini ia merasa lega. Apa yang semalam bersarang di otaknya sudah menemukan titik terang.

"Bukannya kami tidak ingin berbagi atau tidak menyayangimu. Namun tidak tahu apa-apa, terkadang menjadi opsi terbaik dibanding tahu segalanya," imbuh Emma.

"Jika kau butuh seseorang untuk disalahkan, maka satu-satunya yang tepat adalah aku. Emma dan Nicholla, akulah yang meminta mereka untuk tetap bungkam."

Suasana di meja makan kembali hening. Terry dan Emma sedang menunggu Alexander untuk bicara. Nicholla sendiri tampaknya masih memilih diam, takut jika nanti kalimatnya justru memperburuk keadaan. Lain halnya dengan Alexander. Ada segaris senyuman yang terbentuk di bibirnya. Dagu laki-laki itu terangkat, bertumpu pada sebelah tangan, menunjukkan sikap santai.

"Cerita yang bagus. Aku nyaris hilang akal mendengarnya." Alexander kembali meraih garpunya yang sempat diletakkan. "Sebenarnya masih banyak yang ingin aku tanyakan. Namun sepertinya lain waktu saja. Berjanjilah untuk menjawab setiap pertanyaanku, Dad," ujarnya dan kembali menyuapkan makanan ke dalam mulut.

"Selama masih menyangkut diriku, Emma, atau Nicholla, maka aku akan menjawabnya. Tentang Hailexa, sebaiknya kau bertanya langsung padanya."

Alexander langsung tersedak saat mendengar nama Hailexa disebut. Gadis itu sudah tidak menjadi rahasianya lagi. Alexander yakin jika Terry dan Emma sudah pernah bertemu dengan Hailexa lebih dari satu kali.

"Alex, kau yakin tidak ingin mengganti makanannya?" tanya Emma sekali lagi usai mengulurkan gelas berisi air.

"Tidak. Makanannya baik-baik saja. Apa yang aku katakan tadi, hanya gurauan karena suasananya begitu canggung. Satu lagi. Aku masih ingin mendengarmu memanggilku Parta, Mom."