webnovel

Aku Juga Pernah Berpikir Hal yang Sama

Alexander : Aku bisa menjemputmu sepulang kuliah. Kau mempersulit dirimu sendiri.

Hailexa Spencer : Aku sudah sering merepotkanmu. Mungkin satu atau dua kali tidak masalah, namun tidak untuk selamanya.

Alexander : Baiklah, kau pasti tahu yang terbaik. Kita bicara lagi nanti. Sekelompok remaja baru saja datang. Ini hari yang sibuk.

Hailexa Spencer : Ok. Buat mereka terkesan.

Hailexa melemparkan ponselnya ke atas meja. Bahu gadis itu bergerak naik turun sebab napasnya yang tak beraturan. Telapak tangannya dikepalkan, menepuk-nepuk dada yang terasa begitu sesak. Ia gelisah sekaligus panik.

Hampir saja Hailexa kehabisan kata-kata ketika Alexander sedikit memaksa untuk menjemputnya sepulang kuliah. Membayangkan jika laki-laki itu tahu soal siapa dirinya, pasti akan berakhir kacau. Alexander jelas kecewa, dia sudah ditipu sejak pertemuan pertama.

Bicara soal Alexander, Hailexa masih kesal, heran, dan sedikit cemburu karena lelaki itu lagi-lagi tidak menceritakan soal Teresa. Setelah keluar dari toko milik Luigi, sikapnya terlihat biasa saja, seolah tidak pernah terjadi apa pun.

"Kau suka marshmallow?"

Hailexa menoleh, menatap Bedric yang baru saja kembali entah dari mana dengan membawa semangkuk penuh marshmallow. Ia mengangguk dan mengambil dua buah marshmallow.

"Bedric. Aku ingin bertanya. Ketika dua orang saling menyukai dan memutuskan untuk jadi lebih dekat, apakah perlu setiap dari mereka mengetahui masa lalu masing-masing? Soal mantan kekasih misalnya."

Bedric menaikkan alis, dahinya juga turut mengernyit. "Kau bicara tentang dirimu dan kekasihmu?"

"Tidak tidak," bantah Hailexa cepat. "Aku tidak punya kekasih. Temanku sedang dalam masalah dan aku tidak punya solusi."

"Saat mereka memutuskan untuk saling mencintai atau membangun komitmen, mengetahui soal latar belakang atau masa lalu adalah hal yang penting. Sebenarnya tergantung pada kondisi. Beberapa orang punya trauma atau ketakutan akan masa lalu yang buruk sehingga tidak ingin membahasnya. Namun soal mantan kekasih, kurasa tidak ada salahnya untuk berbagi cerita."

"Bagaimana jika dia memilih menutupi soal mantan kekasihnya? Tidak ada penjelasan kenapa hal ini dilakukan."

"Ada kemungkinan dia terlalu mencintai hingga tidak sanggup membicarakannya. Mungkin juga karena berakhir buruk dan harus dilupakan. Tetapi menurutku, jika memang berakhir buruk tidak salah untuk dibicarakan, nantinya mereka bisa membangun hubungan yang lebih baik," papar Bedric begitu sabar.

Mata Hailexa terpejam. Tubuhnya hampa namun pikirannya begitu terbebani. Tingkah Alexander berhasil membuatnya bertanya-tanya, apakah laki-laki itu serius dengan setiap kalimatnya? Sungguh ini tidak bisa dimengerti. Jika Alexander memang menyukainya, seharusnya bicara jujur bukanlah beban.

Alesya memukul permukaan meja. "Untuk apa bangkai hewan itu? Babi mungkin wajar, tapi anjing? Aneh," komentarnya. "Dia juga tahu jika Emily dibunuh padahal kita tidak pernah mengatakannya."

Kenyataannya tidak hanya Alesya yang heran dengan perilaku Bravo, semua anggota tim turut merasakan hal yang sama. Ada dugaan jika pria itu terlibat dalam drama gila ini, walau kontribusinya memang tidak besar. Jadi ada kemungkinan sebelum tim datang, Bravo sudah menyingkirkan apa pun yang berpotensi menjadi barang bukti.

Seorang agent perempuan berambut hitam membalas, "Jika mencoba berpikir positif, maka Bravo tahu mengenai kabar Emily melalui media. Yah, meski pemberitaannya baru sedikit."

"Dari hasil autopsi, Emily tewas dengan empat tusukan di bagian dada dan dua di leher sebelah kanan. Ada luka di sekitar siku serta lututnya, ini menandakan jika dia sempat melarikan diri dari seseorang lalu jatuh tersungkur. Sebuah benda tumpul juga menghantam kepala bagian belakang," ungkap Nicholas usai merangkum seluruh isi dokumen.

Nasib Emily sungguh malang. Setelah nekat membunuh, tak butuh waktu lama baginya untuk ikut menyusul Micole pergi dari dunia. Perempuan itu jelas dalam tekanan.

Emily merupakan pelaku dibalik pembunuhan Micole. Terlalu banyak bukti yang membekas. Maka dari itu bisa dijelaskan mengapa Emily ikut tewas setelahnya. Seseorang jelas ingin melindungi identitas dirinya, dengan cara menghilangkan kesempatan bagi Emily untuk buka suara. Selamanya.

Sayangnya siapa yang telah menghabisi nyawa Emily belum juga terungkap. Dari data autopsi, pembunuh merupakan seseorang yang dominan menggunakan tangan kiri alias kidal. Baik Belinda atau Bravo, mereka sama-sama tidak masuk dalam kriteria tersebut.

Ini mulai terasa rumit. Namun ada sedikit hal baik yang bisa membawa tim untuk melanjutkan penyelidikan.

"Kalian yakin tidak bisa mengetahui isi dari benda ini?" Alesya mengangkat sebuah chip yang diletakkan pada plastik transparan. Chip ini ditemukan di dalam sepatu yang dikenakan Emily.

"Tidak bisa, agent. Chip itu dirangkai khusus dan diproduksi dengan jumlah yang terbatas. Masing-masing dari chip memiliki pasangan. Chip itu terakhir diproduksi empat tahun lalu, tetapi teknologi yang digunakan jelas tidak main-main."

"Bukan perkara mudah untuk mendapatkan chip pasangan. Perusahaan yang membuatnya sangat menjaga ketat privasi para pelanggan. Perusahaan juga tidak akan buka suara, kecuali negara memberi bukti-bukti yang mengarah jika pelanggan mereka melakukan tindak kejahatan. Kita saja belum tahu siapa pemilik benda itu."

Alesya membuang napas kasar. Ia kebingungan. Bingung harus memberikan solusi atau tindakan selanjutnya.

Tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Satu orang pria datang didampingi oleh dua orang tim IT. Hailexa ingat pria itu. Dia Terry, suami dari Emma yang ia temui beberapa waktu lalu.

"Aku sudah dengar soal chipnya. Jika perusahaan tidak bisa memberikan chip lainnya, maka kalian sendiri yang harus mengambilnya. Meminjam bisa jadi alternatif lain. Tentu saja tugas rahasia."

"Ide yang bagus. Hanya saja kapan kami bisa memulai tugas itu? Menyelinap ke dalam perusahaan adalah ide buruk," sahut Alesya membalas ucapan Terry.

"Ada sedikit bantuan untuk masalahmu. Namun tugas ini tidak bisa dilakukan dalam waktu dekat. Kita bahas lain waktu saja. Sebelum itu aku ingin kalian pelajari lebih dalam soal chip ini serta perusahaan yang memproduksinya."

Terry langsung berjalan keluar tanpa mengucap kalimat tambahan—bahkan orang-orang di ruangan belum sempat untuk merespons atau bertanya.

Hailexa menggeser kursinya agar jadi lebih dekat dengan Bedric. Ia berbisik, "Apa maksudnya? Dia meminta kita untuk mencuri?"

"Semacam itu. Bahasa halusnya meminjam, namun tanpa izin."

Mata Hailexa sontak melebar, kepalanya ikut menggeleng. Tidak heran mengapa sebelum memutuskan untuk bergabung, Alesya memintanya untuk menandatangani banyak dokumen persetujuan. Tempat ini punya cara kerja yang gila. Apa komentar teman-temannya di luar sana, jika setelah lulus Hailexa Spencer terlibat dalam pencurian sebuah chip. Liar.

"Kenapa, kau takut?" imbuh Bedric. "Dengar. Terkadang satu perbuatan yang dianggap buruk, bisa menyelamatkan nyawa banyak orang dan mengembalikan hak-hak mereka. Jangan berpikir terlalu keras."

"Aku tahu, hanya saja ini akan jadi pengalaman pertama."

"Bravo akan datang lusa untuk kembali memberikan keterangan. Pastikan seluruh rekaman kamera pengintai atau berkas-berkas lainnya sudah disiapkan. Ada lagi yang ingin disampaikan?" tanya Alesya di akhir kalimatnya.

"Tidak, agent."

"Baiklah. Hari ini cukup, kalian boleh istirahat."

Satu per satu anggota tim mulai meninggalkan ruangan, berakhir menyisakan Nicholas yang sibuk dengan tumpukan kertas, Alesya, Bedric, serta Hailexa. Ketika Alesya sudah akan keluar, Bedric menahannya hanya dengan isyarat melalui gerakan tangan. Alesya mengangkat alis, memperhatikan Bedric lekat.

"Agent Arce akan datang lusa. Aku lupa mengatakannya tadi."

Hailexa tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, namun melihat tubuh Alesya yang menegang serta mendengar Bedric terkekeh membuatnya mendapat sinyal lain akan situasi ini. Pemikiran Hailexa semakin diperkuat ketika Alesya mengumpat pelan lalu bergegas pergi.

"Bedric, jangan lupa bawa dokumennya ke rumah sakit," ucap Nicholas mengingatkan ulang sebelum ikut menyusul Alesya.

"Bedric," panggil Hailexa lirih. "Katakan padaku apa yang terjadi antara Agent Arce dan Alesya. Aku dengar dia mengumpat."

Bedric tertawa kecil. Raut wajahnya berubah geli setelah teringat akan sesuatu. "Jangan bahas ini di dekat Alesya, dia akan marah. Aldrich Arce. Dulunya Aldrich bekerja di sini sebelum dipindahkan ke Roma. Alesya pernah terjebak dalam drama percintaan rumit dengan Aldrich dan Nicholas. Suatu hari aku tidak sengaja melihat Alesya berciuman dengan Aldrich. Lalu satu minggu kemudian dia berciuman dengan Nicholas."

"Aku tahu cerita ini masih bersambung."

"Kau benar. Alesya tidak bisa memilih salah satu dari mereka. Entah apa yang terjadi setelah Aldrich pindah. Namun soal Nicholas, Alesya selalu merasa cemburu ketika mendengar kabar jika dokter kesayangannya sedang dekat dengan perempuan lain. Jika kau ingat beberapa waktu sebelumnya, saat Alesya terlihat kurang sehat, hal yang terjadi adalah dia mengetahui Nicholas akan makan malam dengan perempuan lain."

"Oh astaga. Aku pikir dia tidak tertarik dengan drama semacam ini."

"Kau tidak sendiri, Hailexa. Aku juga pernah berpikir hal yang sama." Bedric berdiri usai merapikan barang-barangnya. "Kau ingin ikut ke rumah sakit? Setelah urusannya selesai tentu aku akan mengantarmu pulang."