webnovel

Aku Catat Itu

Baru tiga hari Alexander menjalani pekerjaannya sebagai asisten, dan ia sudah dibuat heran, geli, sekaligus resah dengan gosip-gosip yang beredar. Sebenarnya bukan hal sulit untuk menutup telinga dari gosip yang ada. Namun kali ini sedikit berbeda karena rata-rata gosip yang dibicarakan menyangkut soal keluarganya, terutama Terry Peterson.

Alexander merasa beruntung sebab tidak semua orang di gedung ini mengenalinya sebagai putra Terry Peterson. Alexander MAlesyarick, menjadi nama yang ia ucapkan ketika memperkenalkan diri. Dengan identitas itu ia bisa jadi lebih dekat dengan pegawai-pegawai lain yang belum pernah bertemu dengannya.

Gosip tetaplah gosip. Sebagian besar dari yang dibicarakan tentu tidak benar adanya. Seharian ini Alexander berusaha keras untuk fokus dan menahan tawanya, ketika gosip konyol menjadi bahan perbincangan yang panas. Ia penasaran, siapa yang memulai menyebarkan asumsi aneh ini?

"Menurutmu dia sudah menikah atau belum?"

"Siapa? Mr. Peterson? Tentu saja sudah. Selain itu dia juga punya dua anak. Anak pertamanya perempuan, anak keduanya laki-laki," jawab perempuan berambut pirang.

"Sayang sekali. Apakah anak-anaknya tidak ingin aku menjadi ibu mereka?"

Bibir bawah Alexander digigit kuat-kuat agar suara tawanya tidak terdengar. Yang benar saja, dirinya tidak menginginkan ibu baru. Dan hei, Alexander lahir lebih dulu daripada Nocholla.

"Kau gila. Berhenti berkhayal!"

"Kalau aku tidak punya kesempatan untuk menikahi ayahnya, maka putra Mr. Peterson bisa jadi jalan alternatif. Aku yakin dia tampan."

Perempuan itu tidak salah. Putra Terry Peterson memang tampan. Alexander terkekeh membayangkan bagaimana jadinya jika ia tiba-tiba mengaku sebagai putra Terry Peterson? Jawabannya antara mereka tidak percaya atau menekuk wajah karena malu.

"Oh, Alex. Sudah selesai? Cepat sekali," ujar si pirang tepat setelah pekerjaan Alexander diunggah pada sistem.

"Bukan hal yang sulit. Apa masih ada yang bisa kukerjakan?"

"Sebenarnya ini bisa dikerjakan besok jika kau ingin segera pulang. Hari hampir gelap."

"Berikan saja. Aku punya banyak waktu."

Perempuan itu berjalan mendekati Alexander, menyerahkan beberapa lembar kertas. "Aku harap kau bisa memperpanjang kontrak nantinya. Jarang sekali ada pegawai baru yang sepintar dan seaktif dirimu."

"Kau berlebihan. Rusne, sudah berapa lama kau bekerja di sini?"

Rusne, perempuan akhir dua puluhan asal Lithuania. "Baru enam bulan. Kenapa?" tanyanya.

"Tidak, hanya ingin bertanya. Mr. Peterson, apa memperlakukan pegawainya dengan baik?"

Enam bulan masih terhitung sebentar. Wajar saja jika Rusne terbalik dalam mengucapkan urutan kelahiran. Dia juga tidak terlihat sebagai perempuan yang suka bergosip. Mungkin Rusne salah dengar informasi.

"Ya. Sikapnya memang terlihat kaku dan dingin, namun tidak semenyeramkan itu. Kau pasti bisa beradaptasi. Ingat Mr. Josh Hunters? Kau bisa minta bantuan padanya jika ingin tahu soal Mr. Peterson. Ya meski pada kenyataannya mereka berdua tidak jauh berbeda."

Alexander mengakui jika Terry itu adalah orang yang irit bicara. Akan tetapi hal ini tidak berlaku terus-menerus alias Terry bisa jadi sangat cerewet. Telinga Alexander bahkan panas terlebih saat mereka berdua sedang adu pendapat. Lalu soal Josh, andai saja mereka tahu jika pria itu dulunya sangat menggemari ikan hias dan kura-kura. Image kakunya pasti akan sirna begitu saja.

"Ah, begitu ya. Terima kasih sudah memberi tahu informasi itu padaku."

"Santai saja. Perempuan yang di sana, dia Siena. Baru dua bulan bekerja di sini."

Alexander memundurkan sedikit kursinya agar bisa menatap Siena. Ia melambai pelan. "Hai. Aku Alexander MAlesyarick. Kau bisa memanggilku Alexander atau Alex."

"Aku Siena. Senang bisa berkenalan denganmu."

Perlu waktu sekitar tiga puluh menit bagi Alexander untuk menyelesaikan pekerjaan tambahan dan mengunggahnya ke sistem. Ketika berakhir, ia menyandarkan punggungnya pada kursi kemudian menguap pelan. Apa ada pekerjaan yang tidak membuat seseorang jadi lelah?

Baru sebentar kelopak matanya tetutup, Alexander menangkap suara panggilan yang begitu tegas.

"Alex."

"Ya, Sir? Ada yang bisa kubantu?"

"Bersihkan mejamu. Datang ke ruanganku lima menit dari sekarang. Aku ingin bicara."

Kenapa di jam seperti ini masih ada orang yang ingin menyusahkannya. Ah, sejujurnya Alexander tidak terkejut untuk itu. Terry memang suka membuatnya kesal.

Alexander mengetuk pintu serta mengucap salam, berusaha bersikap sopan takut-takut ada orang lain di dalam. Akan tetapi dugaan itu salah. Terry hanya sendiri, berdiri membelakangi pintu dan menatap lurus pada jendela besar.

"Maaf atas kelalaianku karena sempat tertidur saat—"

"Apa? Bukan itu yang ingin kubicarakan. Tertidur itu hal wajar, ini juga sudah lewat jam kerja. Kau pikir aku tidak pernah melakukannya?" Terry berbalik, kemudian mendorong dua buah kardus makanan di atas meja. "Bawa pulang. Berikan pada Mommymu," perintahnya.

"Dad. Astaga, aku berpikir jika baru membuat masalah. Tunggu, kenapa harus aku? Malam ini—"

Lagi-lagi Terry memotong kalimat Alexander. "Malam aku pulang terlambat. Ada urusan di tempat lain. Pulang dan berikan, setelahnya kau bisa pergi."

"Baiklah, baiklah. Daddy bisa pergi, biar aku yang mengurusnya."

"Alexander."

Belum sempat telapak tangan Alexander meraih gagang pintu, suara panggilan Terry sudah menghentikannya. Ia merasakan jika Terry berjalan mendekat, sebelum akhirnya menepuk bahu kanan lumayan kencang.

"Sekadar informasi. Opinimu atas dokumen waktu itu terbukti. Terima kasih sudah membantu mencegah kejadian buruk."

Alexander membalikkan tubuh. Masing-masing sudut bibirnya terangkat, memberikan senyuman yang begitu nyaman untuk dipandang. "Baguslah," balasnya singkat.

"Aku tidak suka melakukan ini, tapi kurasa perlu sekali dua kali. Kebetulan juga kita hanya berdua."

Pada awalnya Alexander tidak mengerti maksud dari ucapan Terry. Namun ketika pria itu memeluknya dengan erat, Alexander berhasil memahami arti kalimatnya.

"Aku senang kau di sini," tambah Terry nyaris berbisik.

"Aku juga, Dad. Sekarang lepas karena aku mulai kesulitan bernapas."

Terry tertawa rendah sambil melepaskan pelukan yang disertai dorongan kecil. "Cepat pulang. Jangan buat istriku menunggu."

"Ya Bos, perintah diterima."

Alexander berhenti melangkah ketika merasakan getaran ponsel pada saku celananya. Saat dilihat, ada satu panggilan video yang masuk dari Hailexa. Alexander menoleh ke segala arah, mencari tempat kosong sekaligus memastikan jika Terry tidak berada di sekitarnya.

"Hei, ada apa?" sapa Alexander setelah dirinya berhenti di celah kecil dekat lift.

"Hanya ingin tahu kabarmu saja. Kelasku baru saja selesai."

Alexander bisa melihat jelas jika Hailexa sedang berada di sebuah kelas. Jadi gadis ini benar-benar pergi kuliah? "Pekerjaanku juga baru selesai. Kau sudah akan pulang? Aku bisa menjemputmu."

"Sayangnya aku harus mengerjakan tugas. Mungkin baru akan pulang di atas jam sembilan. Tenang saja, temanku Alesya bersedia untuk mengantar."

Ini bukan pertama kali atau kedua kalinya Hailexa menolak untuk dijemput atau diantar ke universitas. Pikiran Alexander tentu tidak bisa diam untuk hal ini. Alasan apa yang membuat Hailexa selalu menolak? Apa yang sedang dia sembunyikan?

"Kau yakin?" tanya Alexander memastikan.

"Sangat yakin."

"Baiklah. Kebetulan juga malam ini ada acara kecil. Allard mengundangku untuk minum dan menghabiskan malam di rumahnya."

"Terdengar menarik. Bersenang-senanglah, aku tidak akan mengganggu. Jangan kelewat mabuk, oke? Hati-hati saat menyetir."

"Aku catat itu. Sampai bertemu lain waktu. Jangan lupa makan malam."

"Aku catat itu," ujar Hailexa menirukan gaya bicara Alexander.

Dan kurasa aku sudah mencintaimu. Sial. Kalimat tadi hanya bisa Alexander ucapkan dalam hati. Entah kapan ia akan mengucapkannya langsung. Masih ada sebagian kecil di hatinya yang memilih untuk terus menunda.

Jika bukan karena keingintahuannya atas Hailexa, ini mungkin tidak akan terjadi. Keanehan serta misteri yang sengaja disembunyikan membuatnya jauh dari kata tenang. Alexander pasti akan mencari tahu. Sekarang ia sedang berusaha. Semoga ini hanyalah dugaan semata. Ia sangat berharap jika Hailexa benar-benar gadis yang sedang menempuh pendidikan seperti pada umumnya.