webnovel

Ada Apa Dengan Seattle

Jujur saja, Hailexa bersyukur karena sifat Alexander tampaknya lebih banyak mirip dengan Emma. Ramah dan hangat. Ia tidak bisa membayangkan jika Alexander adalah copy paste dari Terry. Wajah dan sifat yang mirip. Terdengar sedikit menyeramkan baginya.

"Kau pasti sedang mencari Alexander. Dia sudah pergi ke bandara. Aku dan Emma juga akan menyusul setelah ini. Kami mungkin baru kembali setelah satu minggu. Bisa lebih cepat atau lebih lama."

Terry benar-benar tidak suka basa basi. Belum sempat Hailexa menyapa, pria itu sudah berbicara hingga ke inti.

"Apa mungkin aku punya kesempatan untuk menyusulnya ke bandara?" tanya Hailexa takut-takut.

"Jangankan menyusul, kau bahkan bisa langsung ikut terbang dengan kami. Akan tetapi aku lebih menyarankan untuk bicara dengannya setelah dia kembali. Terkadang Alexander butuh waktu lebih lama untuk berpikir atau menenangkan diri. Kau boleh abaikan saranku."

Hailexa menggeleng. "Anda lebih mengenal tentang Alexander. Saran itu pasti yang terbaik."

"Tuan, ini yang Anda minta," ujar pelayan yang tadi menepuk pundak Hailexa.

"Ambil ini. Kau pasti belum makan siang." Terry menyerahkan sebuah kartu berwarna abu-abu kehitaman pada Hailexa. "Bawa kartu ini saat datang kemari. Pesan apa saja yang kau inginkan. Tidak perlu membayar."

"Terima kasih sebelumnya, tetapi aku rasa ini berlebihan. Seharusnya aku datang kemari untuk meminta maaf. Aku belum melakukannya namun justru mendapat fasilitas seperti ini."

"Simpan saja. Butuh atau tidak, aku sudah mendaftarkan namamu. Aku pergi dulu."

Terry berjalan dan memasuki pintu yang sama dengan Emma. Hailexa memperhatikan setiap langkah pria itu, sampai punggungnya tak lagi terlihat. Beberapa saat kemudian keduanya keluar dan tampak seperti akan meninggalkan tempat ini. Hailexa mengalihkan pandangan, sekaligus menyembunyikan wajahnya. Ia tak ingin Emma mengetahui keberadaannya.

Mereka pasti akan pergi menuju bandara.

"Nona, ingin pesan sesuatu?" tanya seorang pelayan restoran yang sedang menggenggam buku menu di tangannya.

"Kurasa lain kali saja. Maaf hari ini sedang buru-buru. Terima kasih," ujar Hailexa kemudian segera meninggalkan restoran.

Napas gadis ini berembus kasar. Usahanya belum membuahkan hasil apa pun. Namun mau bagaimana lagi, ia tak punya pilihan. Yang bisa Hailexa lakukan sekarang hanyalah pulang ke apartemen, melakukan rutinitasnya seperti biasa, sambil menunggu Alexander kembali.

"Grace! Hailexa!"

Kedua mata Hailexa menyipit, memandang pada seseorang yang tengah melambaikan tangannya di depan sana. Sudut bibir Hailexa terangkat, memberikan senyuman kecil setelah ia mengatahui jika orang yang memanggil namanya adalah Austin.

***

"Kau benar-benar tidak punya jadwal lain 'kan?"

Hailexa menggeleng. "Kau bertanya setelah memaksaku untuk ikut," ujarnya diselingi kekehan geli.

Usai menyapanya tadi, Austin yang awalnya berada di dalam mobil langsung berjalan menghampiri. Lelaki itu bukan menawarkan tumpangan agar Hailexa bisa pulang, melainkan mengajaknya untuk pergi ke suatu tempat. Hailexa sempat menolak karena merasa tidak enak, akan tetapi Austin dengan memintanya agar ikut—lebih tepatnya memaksa.

"Jangan marah seperti itu. Aku tidak akan menculikmu."

"Kau akan membawaku ke mana?"

Austin belum sekali pun mengatakan tentang tujuan mereka. Dia hanya tersenyum ketika ditanya, padahal mobil sudah menempuh jarak yang lumayan jauh. Pertanyaan Hailexa perlahan-lahan terjawab, di kala mobil yang ditumpanginya melewati sebuah gerbang dan melaju memotong halaman luas, sebelum akhirnya berhenti dengan sempurna.

"Aku ingin bicara denganmu, dan rumah akan jadi tempat terbaik untuk melakukannya," jelasnya sembari mempersilakan Hailexa untuk masuk.

Baru beberapa langkah usai melewati pintu utama, seorang wanita datang dari arah yang berlawanan dengan pakaian yang cukup rapi. Wanita itu tersenyum hangat, menyambut kedatangan mereka.

"Austin, aku pikir kau baru pulang malam nanti."

"Tidak. Aku punya rencana lain."

"Baiklah. Aku belum pernah melihatmu membawa gadis ke rumah ini. Kau tidak ingin mengenalkan kekasihmu?"

"Mama," Austin berucap tegas, sedikit ditekan, "dia bukan kekasihku, melainkan Alexander. Namanya Hailexa. Aku membawanya kemari karena urusan pekerjaan. Jika ingin bicara, maka nanti saja. Kami sedang buru-buru. Ayo Grace," ajak Austin sembari menarik tangannya menuju tangga.

Hailexa hanya bisa tersenyum sebagai caranya untuk menyapa ibu tiri Austin. Lelaki itu buru-buru meraih pergelangan tangannya, sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu.

Bibir Hailexa terbuka lebar, ketika Austin membawanya menuju sebuah ruangan, di mana tidak semua orang bisa memiliki ruangan semacam ini di rumah mereka. Memang bukan hal yang mengejutkan untuk orang setara Austin, namun tetap saja Hailexa merasa takjub.

Saat masuk, Hailexa dihadapkan pada area seni pribadi. Ada banyak lukisan yang tergantung pada dinding. Terdapat pula meja untuk menggambar, lukisan yang masih dalam proses, serta kanvas-kanvas kosong dengan berbagai ukuran. Beberapa peralatan seperti kuas dan pensil tertata dengan rapi pada masing-masing tempatnya.

"Kami memang belum bisa akrab layaknya ibu dan anak. Hidup bertahun-tahun jauh dari seorang ibu, membuatku sulit untuk menerima kehadiran orang sepertinya. Setidaknya sekarang jauh lebih baik," ungkap Austin setelah pintu ruangan kembali tertutup.

"Tidak apa-apa. Aku bisa memakluminya," balas Hailexa. "Kau suka melukis ya?"

"Kurang lebih seperti itu. Hanya suka, hasilnya juga tidak bagus."

"Menurutku semua ini bagus." Hailexa menarik satu kursi kemudian duduk di sana. Ia membolak-balik setiap lembaran buku sketsa yang tergeletak di atas meja. Gambar-gambar pada buku ini didominasi oleh gambar dari lanskap kota yang begitu menakjubkan. "Kau bisa membuatnya dengan detail."

"Kita pindah ke ruangan sebelah saja. Di sini agak berdebu dan bau cat."

"Kau terlalu banyak beralasan. Tempat ini bersih, tetapi ya sudahlah. Aku harus menghormati tuan rumah, bukan?"

"Bawa saja bukunya jika masih ingin melihat-lihat. Aku juga masih punya beberapa tumpukan seperti ini."

Untuk kedua kalinya Hailexa berhasil dibuat menganga. Setelah area seni pribadi, sekarang Austin menunjukkan perpustakaan pribadi di rumahnya.

"Sepertinya aku akan betah jika menginap di rumahmu," ujar Hailexa sebagai pujian.

"Kalau begitu menginaplah sampai kau bosan. Ini baru sebagian kecil, isinya hanya koleksi pribadi. Sisanya di ruangan lain. Jika kau ingin yang lebih lengkap lagi, bicaralah pada Alex dan aku yakin dia akan langsung membawamu ke salah satu tempat favoritnya."

"Alexander ya? Kau tahu, kami mulai merenggang."

Austin menggeleng, mengatakan jika ucapan Hailexa adalah salah besar. "Dia hanya butuh waktu. Maka dari itu aku membawamu kemari. Aku ingin tahu apa yang sedang terjadi sampai dia memutuskan untuk ikut ke Seattle."

"Memangnya ada apa dengan Seattle?"

"Ketika Alex dalam keadaan tidak baik, dia sering mengunjungi Seattle untuk menenangkan diri. Bukan hanya Seattle, lebih tepatnya Washington. Saat dia dikacaukan dengan permasalahan Teresa, Alex menghabiskan sebagian libur musim panasnya dengan menjelajah di Washington. Mencari kegiatan baru, teman baru, atau mungkin berdoa di gereja."