Tak banyak yang tahu jika jagat raya ini memiliki berbagai dimensi. Yang diketahui manusia awam dan para ilmuan sains tentu saja hanya satu, yaitu dimensi tempat tinggal kita sekarang ini. Namun, beberapa orang meyakini jika sebenarnya ada banyak dimensi-dimensi lain yang diciptakan Sang Hyang Widhi untuk mengisi jagat raya. Kaum-kaum tertentu diberi anugerah untuk menjelajahi tiap dimensi, biasa disebut dengan istilah 'Penjelajah'. Penjelajah ialah orang-orang khusus yang terpilih dari suatu kaum untuk diberi anugerah menjelajahi dimensi guna memegang mandat tertentu.
Jika kau bertanya padaku, apakah aku juga seorang penjelajah? Yang jelas aku adalah seorang inisiat. Semua penjelajah adalah seorang inisiat, namun tidak semua inisiat merupakan sorang penjelajah. Aku masih pada tingkatan 'mempelajari' ilmu-ilmu Penjelajahan Antar-Dimensi. Aku pernah mempraktikan beberapa. Tapi, jika aku disuruh untuk melakukan penjelajahan dari satu dimensi ke dimensi yang lain, kukira aku belum mampu melakukannya. Kecuali jika ada seorang penjelajah yang bersamaku, itu akan menjadi jauh lebih mudah.
Kini, aku bersama dengan salah seorang penjelajah. Dia bukanlah dari kaum manusia. Aku tak tahu dia berasal dari mana, yang jelas wujudnya buruk rupa. Beberapa kaum memiliki sayap di punggung mereka, tapi tak ada satu pun yang buruk. Mungkin dia telah melakukan suatu dosa dan sedang menjalani masa hukumannya. Beberapa waktu lalu, kami berdua diberkati oleh dua sosok berjubah. Mereka ingin arwah ini menyucikanku dari Tujuh Dosa Mematikan. Jadi, di sinilah kami sekarang.
Sebuah dimensi astral berwujud gurun yang gelap nan tandus. Tanah yang retak, sisa pohon yang mati mengering, hingga cakrawala yang memancarkan semburat lembayung merah yang mengerikan. Sebuah sigil baru saja dibuat oleh si arwah. Bentuknya tak terlalu indah, tapi cukup untuk melakukan prosesi penyucian. Aku belum berkenalan dengannya, dia juga sama sekali tak mengeluarkan sepatah kata pun semenjak pertama kali kami bertemu di lembah Hutan Kematian. Kukira dia juga tak tertarik denganku secara emosional. Dia hanya terpaku untuk melakukan tugasnya dengan baik.
"Hei, Arwah yang baik. Kau tak mau mengatakan padaku bagaimana kita akan melakukan ritual ini?" Seperti biasa, dia hanya mengunci mulutnya rapat-rapat. Aku bahkan ragu jika dia memiliki mulut.
Tak lama berselang, ia seperti mengisyaratkan untukku mendatanginya di tengah sigil. Baiklah, kulangkahkan kakiku menuju ke sana. Suhu udara naik beberapa derajat ketika diriku memasuki sigil ini. Keringat mengucur deras dari keningku, rasanya seperti berada di bawah sengatan sinar matahari. Lalu, si arwah menyuruhku berlutut. Entahlah kenapa aku mengerti saja bahasa tubuhnya, atau ia memang berkomunikasi dengan pikiran bukannya lisan.
Dari balik untaian kain hitam yang dikenakan si arwah, muncullah bilah kecil yang runcing. Ia pun menggenggamnya dengan jari-jari kurus kering itu. Sedangkan tangannya yang lain menengadah seolah memintaku untuk menyambut tangannya juga.
"Kau akan mengiris nadiku dengan itu?" tanyaku penasaran. Rupanya dugaanku salah.
Setelah ia meraih tanganku, bilah runcing itu ia tancapkan di telapak tanganku dan barulah kurasakan sesuatu yang sungguh teramat menyakitkan. Seluruh pembuluh darah yang ada di dalam tubuhku perlahan berubah menjadi hitam. Aku tak bisa merubah posisiku, sepertinya aku telah dibuat layaknya patung oleh si arwah. Tapi, jelas rasanya sungguh menyiksa. Bola mataku juga berubah menjadi hitam seluruhnya. Dan mulai kulihat sesuatu yang mungkin bisa menjadi petunjuk pencarian kami.
Dalam sekejap, diriku dibawa kembali ke rumah. Ya, rumah keluargaku dengan Andi dan Inem di dalamnya. Tapi, yang paling mengherankan adalah aura terang yang menyelimuti kamar anakku. Mataku hampir dibutakan oleh cahaya terang yang berasal dari sana. Tanpa pikir panjang kudatangi saja kamar itu, kubuka pintunya perlahan dan kumasuki ruangan dengan pandangan buram.
Samar-samar bisa kulihat anakku sedang dipeluk oleh sosok bersayap perak yang menyilaukan mata. Aku tak tahu apa artinya itu. Tapi, saat itu anakku juga tengah menggenggam sebuah manuskrip. Gulungan papirus tua dengan untaian sulur tumbuhan yang mengikatnya, terlihat seperti manuskrip dari Mesir Kuno. Tapi, aku tak tahu pasti.
Baru saja aku ingin melangkah lebih dekat dengan mereka berdua, si arwah telah menarikku kembali ke tempat semula. Ia mencabut bilah runcing yang kini telah berubah menjadi putih. Pembuluh darahku sempat berwarna keperakan sebelum kembali menjadi merah. Seketika itu, tubuh ini terbaring lemah di atas sigil penyucian.
"Kini, kau telah suci dari Tujuh Dosa Mematikan. Namun, kau tetaplah manusia yang rentan terpapar kembali olehnya. Jadi, kusarankan kau untuk menjaga diri."
Betapa mengejutkan ketika mendengar si arwah benar-benar berbicara denganku. Suaranya seperti wanita paruh baya. Bisa kulihat juga jika tubuhnya kini berangsur-angsur membaik. Ternyata duagaanku sebelumnya benar, ia memiliki sayap yang indah. Tubuhnya elok, seperti tumbuhan yang sedang bersemi di padang rumput.
"Kau cantik sekali." Tanpa sadar aku mengucapkan kalimat itu padanya, masih dengan tubuh yang terkapar di tanah tandus.
"Selain kau, aku sendiri juga tersucikan oleh ritual ini. Namun, janganlah kau berbangga hati. Kita masih belum sepenuhnya suci. Kita sama-sama bisa kembali terpapar Tujuh Dosa Mematikan. Yang Kuasa bisa kembali mengutukku, begitu juga dirimu."
Perlahan diriku berusaha bangkit. Hah, kenapa aku sering sekali dipaksa melakukan ritual-ritual yang menyakitkan? Sampai bosan aku dibuat sakit oleh para arwah atau diriku sendiri. Namun, aku harus bagaimana lagi. Sudah takdirku menjadi pejuang cahaya yang melawan kegelapan dan akan selalu begitu.
"Apa yang kau lihat tadi?" tanya si arwah tiba-tiba.
"Aku tidak tahu pasti."
"Aku harus mendapat kepastian sekarang, Lazarus. Waktu kita tidaklah banyak. Ingat kata tetua."
"Iya, aku masih mengingatnya dengan jelas."
Dalam sekejap dilema menghantuiku. Sebenarnya, aku sama sekali tak mau melibatkan anakku dalam semua ini. Namun, petunjuk yang kutemui justru berkata sebaliknya. Bagaimana pun, dia lah incaran utama dari Raja Kegelapan. Target empuk sang penguasa dunia bawah, ia takkan melepaskan anakku dengan mudah. Mungkin jiwaku telah menyatu dengan anakku, tapi itu tidak mengurangi resiko kami berdua. Tapi, setidaknya ketika sesuatu menyakiti anakku, aku akan langsung mengetahuinya.
"Jadi, bagaimana?" tanya si arwah lagi.
"Omong-omong, siapa namamu, Arwah yang baik?
"Ehm." Dia tak langsung menjawabku, dia malah kebingungan. "Kaumku tidak memiliki nama. Kami berkomunikasi lewat pikiran. Kami tak perlu nama untuk memanggil satu sama lain."
"Baiklah. Tapi aku perlu nama supaya aku bisa memanggilmu."
"Maksudmu?"
"Para tetua telah mengutus kita berdua untuk tugas ini. Bagaimana pun kita akan bersama untuk beberapa waktu ke depan. Jika aku terus memanggilmu hanya dengan sebutan 'Arwah yang baik' aku takut kau akan tersanjung dan terlampau senang," kataku dengan senyuman.
Sepertinya senyumanku menular padanya. "Baiklah, Lazarus. Kau juga manusia yang baik. Bagaimana jika kau yang memberiku nama?"
"Mulai sekarang aku akan memanggilmu Kirata."
***
"Kini, kau telah suci dari Tujuh Dosa Mematikan. Namun, kau tetaplah manusia yang rentan terpapar kembali olehnya. Jadi, kusarankan kau untuk menjaga diri."