webnovel

Chapter 16

Damar memarkirkan kereta kudanya sesuai dengan peraturan. Ada beberapa kereta kuda di sana dan Damar menjelaskan kota ini adalah lokasi terbaik untuk desa-desa sekitarnya untuk berbelanja bahan makanan. Tak heran ada banyak kereta kuda yang ada di sana. Dia juga meninggalkan pedangnya di balik tumpukan selimut, karena warna emas itu terlalu mencolok.

Aku yang sedikit marah padanya, tidak begitu mendengarkan dan Damar pun berhenti bicara.

Selama perjalanan, Damar hanya mengikutiku satu langkah di belakang. Setelah lima belas menit berjalan kaki, Damar meraih tanganku. Dia menunjuk salah satu penginapan yang tidak terlihatmewah, tetapi cukup bersih, seperti penginapan Pinny. Penginapan Topi putih.

"Lo jadiin penginapan Pinny patokan?"

Damar mengangguk.

"Soal harganya?"

Damar mengangguk lagi.

"Ngomong dong!"

"Loh kukira kamu tidak mau bicara denganku karena marah."

Si brengsek licik ini.

Aku mengacak rambut kesal. "Oke. Gue nggak marah."

Damar tersenyum. "Ya. Aku bertanya pada Pinny tentang harga yang normal karena tidak ingin dirampok. Dia juga menyarankan tempat ini. Oh iya, jangan gunakan [Eyesight]-mu. Matamu berubah warna saat menggunakannya. Samar memang, dan beruntung Gerr dan yang lain tidak memperhatikannya, tetapi lebih baik kamu menghentikannya sampai benar-benar perlu."

Aku mengangguk.

Begitu memasuki penginapan, kami disuguhi lobi dengan ukiran kayu sebagai hiasannya. Di sebelah pintu terdapat sofa dan beberapa orang yang berbicara. Lurus di depan pintu, ada ruang resepsionis dari meja kayu. Di sebelah kiri ruang resepsionis, ada tangga kayu.

Berbeda dengan penginapan Pinny yang sepi dan menjadi satu dengan restauran, penginapan ini ramai dan hanya penginapan. Tidak ada restoran di bawahnya. Meski begitu, ada beberapa orang yang mengobrol di sana.

Sayup-sayup aku mendengar mereka membicarakan makhluk dunia lain dan kemudian salah satu dari mereka menggeram marah. Aku memiliki perasaan yang tidak enak tentang itu. Damar juga sama. Dia hanya mengerutkan kening, kemudian mendengus.

Saat kami melihat-lihat, seorang wanita awal tiga puluhan yang menggunakan topi berwarna putih dan pakaian semi formal penduduk dunia ini turun. Tangannya menyusuri anak tangga dan saat mendongak, matanya yang berwarna kehijauan berkilat bersama dengan senyum lebar yang ramah.

"Aduuuuh! Ada tamu di sini."

Aku mengerjap. Aduh? Dengan u yang panjang pula?

Wanita itu segera mengambil tempatnya. "Aduuuh maafkan aku kalian harus menunggu. Apakah kalian pedagang? Atau warga desa yang mencari bahan makanan? Aduuuh kalian pasti lelah sekali."

"Ya. Saya warga desa. Pinny meminta kami menginap di sini ..."

"Pinny. Aduuuh anak itu lama tidak kemari dan meminta anak-anak muda yang tampan ini datang. Aduuuh ... kalian pasti lelah. Apa kalian akan membeli bahan makanan? Aduuh tempat itu pasti sulit sekali mendapat makanan. Kasihan sekali. Kasihan sekali."

Ah wanita ini memang menggunakan kata aduh dengan u panjang sebagai logat. Dia juga suka bicara.

"Nona Terry, tolong bisa sediakan kamar untuk kami? Dua kamar single tidak apa-apa."

Wanita yang dipanggil Terry itu menyentuh sebelah pipinya dengan wajah merasa bersalah.

"Aduuuh ... semua kamar single sudah diisi. Ada festival kalian tahu. Jadi, penuh sekali. Aku punya satu kamar dengan dua ranjang single kalau kalian tidak keberatan."

"Tidak masalah."

"Aduuuh anak muda ini. Mari mari, aku tuliskan nama kalian."

Sebelum aku sempat mengatakan sesuatu Damar segera menyambar sambil tersenyum sopan.

"Aku Marr dan temanku ini, Rann. Kami diminta Pinny membeli bahan makanan, tetapi tidak di kota ini. Aku hanya beristirahan sebentar. Satu atau dua hari dan membeli persediaan untuk perjalanan."

Seketika, aku sadar bahwa sebaiknya kami menyembunyikan identitas kami sebagai Makhluk Dunia Lain.

"Aduuuh apa kalian membutuhkan obat? Pasti obat. Makanan bisa dicari disini, tetapi obat harus lebih jauh lagi. Apa Gerr meminta obat? Hyena-hyena itu masuk desa? Aduh aduh ... bahaya. Bahaya sekali. Kalau kalian ingin obat manjur kota Cresent Moon pasti cocok. Aduh tapi mahal sekali. Aduh."

"Ah tapi bukannya eh ... bukankah racun dari Serpent Forest tidak ada penawarnya?"

Damar tiba-tiba menyikutku dan melirik para pengunjung yang mencuri dengar. Waduh! Terry tidak pernah bilang tentang penawar racun. Tentu saja, pasti aneh bagiku yang berasal dari Desa yang dekat dengan Serpent Forest untuk bertanya tentang penawar racun.

Suara Terry tiba-tiba saja terasa lebih dinging. Aku mengacau.

"Tidak ada, Nak Rann."

Sebelum mereka semakin curiga, aku segera memasang wajah sedih.

"Ah padahal aku sudah berharap. Kupikir jika aku pergi mencari lebih jauh, seseorang akan tahu tentang penawarnya. Marr apa kakak benar-benar tidak bisa ditolong?"

Mengikuti akting payahku, Damar menggeleng sedih.

"Sudah kubilang tidak ada Rann. Biarkan Dirr pergi."

"Aku ikut denganmu karena berharap akan mendapat penawarnya. Lalu sekarang aku harus bagaimana?"

Seolah memberi tahu jika akting payahku berhasil, suara dingin Terry melunak.

"Aduuuuuh anakku. Anakku Rann. Pasti sulit. Pasti sulit. Aku tahu kamu berharap, tapi tidak bisa, Nak. Tidak bisa. Racun dari Serpent Forest tidak membunuh dengan cepat. Tapi tetap saja mati. Aduuh aku turut berbela sungkawa untuk Dirr. Padahal kau jauh-jauh kemari dengan harapan dan aku justru memotong harapanmu dengan kejam. Aduuh maafkan aku, Nak Rann. Maafkan aku."

Aku tidak tahu, apakah aktingku akan berakhir baik jadi aku hanya mengangguk.

"Aduuh jahatnya aku. Marr, antarkan Rann ke kamar 24. Lantai dua. Ini kuncinya. Aduuh kalian beristirahatlah! Rann pasti sedih. Oh sedih sekali. Kematian keluarga memang sesedih itu. Tidurlah! Istirahatlah!"

Tanpa menunggu lama, Marr meraih kunci itu dan menuntunku yang masih berpura-pura sedih.

Saat kami menaiki tangga, Damar dengan geli berbisik, "Aktingmu jelek."

"Bodo amat."

Damar menahan tawa. Akan tetapi, di antara itu semua, kami memang berhasil mengelabui Terry, tetapi tidak semua orang memakan jebakan itu. Ada sesuatu di kota ini. Sesuatu yang melibatkan Makhluk Dunia Lain sehingga mereka membenci kami.

Begitu memasuki kamar, Damar baru melepaskanku. Kamar yang sederhana, tetapi terlihat lebih mewah daripada kamar Pinny. Dua kamar tidur dengan lukisan yang agak aneh. Ada pula nakas dan almari yang berisi selimut dan handuk.

Damar duduk di salah satu ranjang dan aku memutuskan ranjang sebelahnya lah milikku.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi kota ini jelas membenci Makhluk Dunia Lain. Usahakan untuk bicara dengan bahasa baku untuk sementara."

"Kenapa?"

"Aku tidak tahu bagaimana mereka mendengar ucapan kita. Mungkin semacam penerjemah otomatis yang dibuat oleh kristal itu sama seperti yang mereka lakukan kemampuan kita mengerti tentang dunia ini. Akan tetapi, logat gue lo yang kamu pakai jelas akan mencolok."

"Kalau menurut gue sih, benda itu lebih cocok disebut berlian." Damar menatapku dengan pandangan yang seolah berkata, 'serius kamu mau ngomongin itu sekarang?'. Jadi aku berdeham, "Pinny bilang suara kita terdengar seperti bahasa mereka dan bahasa mereka terdengar seperti bahasa ibu kita."

"Kalau begitu, penggunaan gue lo, pasti terlihat seperti logat lain yang aneh. Usahakan untuk tidak menggunakannya selama kita ada di sini. Melihat bagaimana mereka kesal saat membicarakan Makhluk Dunia Lain, pasti salah satu orang dari dunia kita membuat masalah di sini. Tidak heran."

Aku mengangkat sebelah alis bingung.

"Tidak heran?"

"Seperti yang sudah kukatakan. Nggak semua orang senaif kamu."

"Gue nggak naif, ya?"

"Oh ya? Kalau kamu tidak punya skill [Eyesight] dan tidak melihta skill [Act] Rossy, kamu pasti sudah tertipu."

"Oke. Gue naif."

"Intinya manusia yang semula tidak memiliki kekuatan dan mendapat kekuatan serta kekuasaan akan termakan oleh itu. Orang yang seperti itu tidak boleh sama sekali mengetahui kekuatanmu. Aku sudah membuatmu berjanji, tapi aku akan mengingatkanmu sekali lagi. Jangan memberikan kekuatanmu pada orang lain!"

"Okay. Okay. Gue tahu. Gue janji."

"Bagus. Besok kita akan mencari bahan makanan dan beristirahat dua hari. Setelah itu kita pergi ke Cresent Moon."

"Loh cuma dua hari?"

"Tiga hari lagi ada festival. Aku berharap kita bisa meninggalkan kota ini sebelum terlalu ramai."

"Heh! Padahal gue mau nikmati festivalnya."

"Nggak."

"Siapa tahu gue bisa nemuin orang yang punya skill [Curse Breaker]."

Damar mengulum senyum masam. "Kita cari sesuatu untuk menutup matamu dulu, baru kamu boleh menggunakan skillnya."

Aku tidak bisa menang melawan Damar, tapi setidaknya, aku harus mencoba meyakinkannya sekali lagi. Namun, aku penasaran. Siapa Makhluk Dunia Lain yang sangat mereka benci? Apa yang terjadi pada kota ini? Dan kenapa orang itu melakukannya?

Tanpa kusadari, jawaban itu datang lebih dekat daripada dugaanku.