webnovel

Isn't it Love? (Yogi P.O.V)

"Is this love? Sometimes I know, sometimes I don't"

****

"Yogi!" aku menoleh mendapati sosok cewek cantik yang cantik dengan tampilan kasualnya melambaikan tangan ke arahku. Ku balas lambaian tangannya dengan senyum terkembang sempurna. Dia mendekat dengan berlari kecil. Rambut panjangnya ia kuncir tinggi meninggalkan anak rambut yang tak terikat.

"Sorry lama. Temen-temen yang lain udah pada berangkat duluan. Nanti ketemuan disana aja," ujarnya sembari membaca pesan di ponselnya.

"Nggak papa. Sekarang kita berangkat aja."

"Eh tunggu-tunggu!" Nada menghentikanku sebelum aku meninggalkannya untuk mengeluarkan motor dari garasi. Aku memandangnya dengan pandangan bertanya. Tetapi, sebelum pertanyaanku keluar dari mulutku, sosok Vara muncul dengan tampilan kasual yang mirip dengan Nada. tak perlu lama-lama untuk menebak, aku sudah tahu kalau Vara bakalan ikut.

"Vara hari ini ikut nonton. Jadi… kita naik mobilmu aja ya?" pinta Nada dengan suara pelan. Aku hanya memutar ke dua bola mataku. Benar kan? Tetapi aku tahu, aku bakalan tidak bisa menolaknya, maka ku turuti saja.

Nada dan Vara masuk. Nada memilih duduk di belakang bersama dengan Vara. Aku memandangnya sebal. "Ngomong-ngomong gue bukan supir kalian. Nad, ke depan gih."

"gue males. Var, lo aja ya. Enakan di belakang." Nada mendorong-dorong bahu Vara agar segera keluar. Vara memandangku sesaat, sepertinya dia tahu aku tak suka. Aku memilih memandang ke depan. Vara keluar lalu masuk lagi dan duduk di sampingku. Lebih baik segera ku jalankan mobilku ini.

Ngomong-ngomong, usai tragedi pingsannya Vara saat di lapangan basket minggu kemarin, Vara tampak canggung ke arahku. Anehnya hanya padaku, bukan ke Romi juga. Dia juga terlihat takut menatapku saat tak sengaja berpapasan di lorong sekolah ataupun di kantin. Tapi biarlah. Lagian juga bukan urusanku.

Setengah jam berlalu kami baru sampai di gedung olahraga yang di jadikan venue turnamen basket. Parkir tampak penuh kendaraan. Juru parkir mengarahkanku agar parkir di halaman masjid yang berhadapan dengan gedung olahraga karena parkiran sudah penuh.

Usai memarkirkan mobil, kami turun. Tepat setelah aku turun dari mobil, seseorang memanggilku. Tak jauh dariku berdiri ada teman-temanku yang juga mau menonton pembukaan. Mereka mendekat, dan memberi salam.

"Loh, Nada?" Romi menyapa Nada yang berada di samping Vara. Nada tersenyum sumringah memandang Romi dengan senang. Keduanya berjabat tangan. Dan aku tidak suka.

"Rom, lo kok makin tinggi sih? perasaan tahun kemarin lo nggak setinggi ini deh?" tanya Nada terheran-heran. Romi tertawa lalu seenak jidatnya menyentuh puncak kepala Nada. oh aku mendadak benci melihatnya. Rasanya malas sekali. Lebih baik aku memilih memandang yang lain saja.

Kami berjalan menuju ke gedung olahraga yang kini dipadati oleh para penonton yang ingin menyaksikan pembukaan turnamen basket. Didalam cukup sesak. Ternyata yang hadir lumayan banyak. Bahkan tribun hampir penuh. Untungnya masih ada tempat untuk kami duduk, walaupun tiga temanku lainnya harus mencari tempat duduk lain. Kini yang duduk berjajar denganku ada Romi, Nada, Vara dan Brandon. Aku diapit oleh Romi dan Nada. sedangkan Vara duduk di sebelah Nada dan Brandon setelahnya.

Pembukaan dimulai stelah kami baru sampai. Lampu di atas tribun mati. Yang tertinggal hanya sorot lampu yang mengarah pada panggung dan lapangan. Beberapa penampilan sebagai pembuka memukau para penonton. Ada tari tradisional, dilanjut dengan tari modern. Bebrapa kali penonton bersorak melihat para penari tampil dengan baik. Yang paling ditunggu penampilan cheerleader dari salah satu SMA yang kemarin memenangkan kejuaraan tingkat nasional.

Kami sangat menikmati suguhan pertunjukan yang di tampilkan malam ini. aku melirik ke arah Romi tampak asik dengan ponselnya. Kualihkan pandangan ke arah Nada. dia tampak menikmati pertunjukan cheerleader di lapangan. Senyumnya terkembang kemudian berteriak. Sepertinya mereka melakukan gerakan yang membuatnya dan juga penonton lainnya bersorak. Dan melihatnya membuatku tersenyum. Sungguh jarang sekali kami bisa bertemu dan jalan keluar. Kesibukan sekolah membuat waktu tak ada sisanya. Mungkin baru beberapa hari ini kami bisa bertemu.

Konyolnya, dalam kesenangan memandangi cewek cantik yang sudah ku idam-idamkan selama bertahun-tahun ini, mataku bergerak sedikit. Memindahkan fokus dari Nada ke arah Vara dan Brandon yang asik mengobrol dengan cara saling berbisik. Kebisingan dari seluruh penonton membuatku tak mendengar apa yang mereka bicarakan. Dan aku penasaran apa isi pembicaraan mereka hingga membuat keduanya tertawa bersama seakan tak peduli suara berisik para penonton. Seperti… dunia milik berdua.

Lihat!

Bahkan Vara melemparkan beberapa kali tepukan pada lengan Brandon diikuti tawa yang meluncur dari mulut keduanya. Duduknya saja keduanya begitu dekat, membuat siapa saja yang melihatnya akan berspekulasi kalau keduanya berpacaran.

"Yog!" aku tersentak. Mendapati Nada tengah menyentuh lenganku dan memandangku heran. Sepertinya dia yang memanggilku. Ah! Akhir-akhir ini sepertinya aku terlalu banyak melamun. Aku tersenyum kecil. Nada tersenyum miring lalu mendekatkan diri ke arahku. Tepatnya berniat membisikkan sesuatu.

"Lo ngeliatin Vara sama Brandon gitu amat?"

Aku terdiam. Dia tahu aku memandangi kembarannya. Apa mungkin aku sudah lama memandangi keduanya hingga tak sadar Nada juga tengah menatapku.

"Cemburu yaaa?" ejeknya sembari menunjuk-nunjukku. Aku menggelengkan kepala. Aku terkekeh. Bagaimana bisa aku cemburu, hanya karena aku melihat Vara akrab dengan Brandon? Bukannya itu bagus?

"Nggak usah ngaco deh."

"Halah keliatan banget tau dari tatapan lo."

Aku tak peduli apa yang Nada katakan selanjutnya. Aku memilih menatap para dancer yang menari di tengah lapangan. Tapi sialnya pertanyaan Nada terngiang-ngiang. Kata-kata cemburu itu terus mengelilingi ruang kepalaku. masa sih aku cemburu sama Vara dan Brandon?

Kepala refleks menoleh kembali ke arah Vara dan Brandon. Kini keduanya fokus menatap ke tengah lapangan. Melihatnya aku menghela nafas lega.

Eh, tunggu… lega?

****

Acara pembukaan turnamen telah usai. Lampu yang semula dimatikan kembali dinyalakan. Para penonton mulai beranjak dari tempatnya, menyebabkan antrean di depan pintu keluar. Kami memilih menunggu daripadda harus berjubel berebut untuk keluar. Kulihat lagi Vara berbincang dengan Brandon. Kali ini keduanya tertawa bersama. Aku baru tau Vara bisa begitu akrab dengan orang lain. Padahal dia terlihat bukan tipe cewek yang mudah dekat dengan orang lain.

Begitu antrean di depan pintu keluar berkurang, kami beranjak dari sana. Kulihat Brandon menarik lengan Vara dengan pembicaraan yang masih belum terputus. Sesekali keduanya menunduk menatap jalan sempit di antara bangku-bangku agar tak tersandung. Bahkan sampai di depan pintu Brandon masih betah menggandeng Vara. Vara tampak tak peduli karena Brandon terus mengajaknya bicara.

"Var, ayo kita pulang," suara Nada memecah pembicaraan mereka. Vara menoleh ke arahku dan Nada. dia terlihat terkejut, sepertinya kalau dirinya sudah di parkiran juga tidak tahu. Brandon melepas genggamannya, lalu berpamitan. Vara melambaikan tangan sebentar ke arah Brandon, baru berbalik menghadap ke arahku dan Nada.

"Yuk." Vara berlalu begitu saja dan duduk di kursi tengah. Meninggalkan aku dan Nada yang terbengong-bengong melihat tingkahnya. Aku segera masuk kedalam mobil sedangkan Nada duduk di samping Vara.

"Var, lo duduk di depan lagi aja."

Vara menurut tanpa protes, berpindah duduk di sampingku. dia tampak berbeda dengan saat berangkat tadi. Kali ini dia terlihat lebih santai. Entahlah, lagian untuk apa aku peduli padanya.

"Nad, besok Brandon ngajak nonton Film Birds of Prey. Kamu ikut nggak?"

Aku meliriknya sesaat lalu fokus menatap kearah jalanan. Ngapain si Brandon ngajak Vara nonton?

"Nonton? Kayaknya besok nggak bisa deh. Gue udah ada janji sama temen gue mau ketemuan."

"Yah. Padahal kan bakalan seru kalo kamu ikut."

"Gimana kalau lo ajak si Yogi aja." Aku melotot. Maksud Nada gimana? "Lo mau ikut nggak, Yog?"

"Sorry. Gue juga udah ada janji."

Kudengar Nada menghela nafas. Dia tidak bertanya lagi. Sedangkan Vara tak mengatakan apapun. Penasaran, aku melirik Vara. Dia memandang jemarinya yang bertautan. Lalu mataku menatap ke depan. Mungkin lebih baik aku fokus pada jalanan yang kini tampak lengang.

*****

"Yog, lo mau yang manis apa yang asin?"

"Manis aja deh."

"Mas popcorn yang manis 2 aja ya?"

"Baik, Mas."

Aku memandang ke seluruh penjuru. Muda-mudi hingga orang dewasa berjajar mengantri di belakangku. Ada juga yang duduk santai di bangku-bangku panjang yang telah di sediakan untuk menunggu giliran.

"Lo mau fanta apa cola?" tanya Brandon untuk kesekian kalinya.

"Cola aja," jawabku singkat. Dan kembali memandang sekitarku. Apa kalian akan bertanya-tanya dimana aku berada sekarang?

"Nih." Brandon memberikanku popcorn dan cola pesananku. "Tiketnya gue yang bawa," lanjutnya lalu berjalan mendahuluiku dan Vara yang hanya membawa minumannya.

Yap! Sekarang aku sedang bersama Brandon dan Vara untuk nonton film Birds of Prey yang kemarin malam keduanya rencanakan. Walau pada awalnya mereka tidak mengajakku. Mungkin aku memang agak gila, mengiyakan permintaan Nada agar mau menemani Vara nonton bersama Brandon.

Dan aku merasa benar-benar gila. Pandangan beberapa orang membuatku merinding. Mungkin berpikir aku ini obat nyamuk di antara dua sejoli yang dimabuk cinta. Atau nggak selingkuhannya Vara. Hah, sudahlah peduli amat sih sama pemikiran mereka.

Brandon sedang memberikan tiket kepada petugas untuk dicek. Aku dan Vara mengikutinya di belakang. Dia mengajak duduk di depan studio 2 menunggu giliran. Mungkin masih 10 menit lagi. Sembari menunggu mungkin main game dulu.

"Eh, foto dulu yuk." Brandon sudah siap dengan tangan kiri terangkat untuk mengambil foto dari arah samping. Layar ponselnya menampakkan gambar kami bertiga. Vara di tengah ikutan menghadap ke kamera. Senyumnya tampak ragu, namun tak lama senyumnya terlihat lebih natural. Jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk tanda 'v' mengikuti gaya Brandon. Sedangkan aku ogah lah. Aku buru-buru berdiri sebelum kamera ponsel Brandon membidik kami.

Keduanya kompak menoleh ke arahku dengan pandangan heran. "Kok kamu nggak ikut, Yog?" tanya Vara heran.

"Nggak. Gue lagi males foto-foto."

"Oh. Lo nggak mau foto 'kan? Kalo gitu fotoin gue sama Vara ya?" Brandon dengan semangat memberikan ponselnya padaku. Dengan ogah-ogahan aku menerima ponsel Brandon. Ku arahkan kamera ponsel ke arah mereka. Vara tampak menunduk sesaat, lalu tersenyum. Brandon dengan sifat narsisnya mengajak Vara untuk berpose imut. Cewek itu menurut dan mengikuti Brandon.

Dan entah bagaimana aku sebal melihat tingkah sok imut keduanya. Ku tekan tombol shutter dengan malas dan asal-asalan. Setelah mendapatkan beberapa foto, ku berikan ponsel pada pemiliknya. Brandon mengerutkan keningnya melihat hasil jepretan asal-asalanku.

"Kok nggak fokus sih, Yog? Hampir semuanya blur ini! lo nggak niat banget nolongin gue!"

"Tangan gue lagi pegel nih!"

"Alah alesan aja lo. Foto lagi!"

Sebelum aku membalas, pintu studio 2 terbuka. Pertanda para penonton dibolehkan untuk masuk. Aku menatap Brandon.

"See? Sebaiknya kita masuk ke dalam." Aku mengabaikan uluran ponsel Brandon agar mau memotret mereka lagi, memilih mengambil minuman dan popcorn milikku. Aku berjalan duluan.

"Ayo, nanti nggak bisa masuk," ujarku tanpa menoleh ke arah mereka. Biarlah kalau mereka ingin belakangan. Aku melihat tiket milikku. G5. Oke, cukup pas lah buat nonton. Beberapa penonton sudah mulai duduk di masing-masing kursi pesanannya. Aku langsung duduk di kursi milikku. Di sampingku sepasang sejoli. Harusnya aku tak mengiyakan saja permintaan Nada.

Tak lama keduanya menyusul. Vara duduk diantara aku dan Brandon. Aku baru menyadari Brandon tak membawa popcorn. Hanya cola dan ponsel di tangannya. Apa dia lupa memesan untuk dirinya sendiri.

"Lo kok nggak pesen popcorn, Nden?"

Brandon menoleh ke arahku. "Kan gue berbagi sama Vara. Takut nggak abis. Jadi nanti gue tinggal minta ke Vara. Bolehkan, Var?"

Vara tampak malu. Kepalanya mengangguk pelan. "Bo-boleh kok. Kan kamu yang beliin," jawab Vara malu-malu. Oke. Ini bukan urusanku tapi sikap Brandon ini menjijikkan sekali. Layaknya seorang bucin yang nggak mau jauh-jauh dari pacarnya.

Film pun dimulai. Lampu-lampu penerangan dimatikan. Cahaya hanya berasal dari layar. Para penonton mulai fokus ke arah layar. aku memfokuskan pada film.

Agak gemes juga, mataku rasanya ingin melirik Vara dan Brandon. Keduanya tampak fokus menikmati film. Tangan keduanya secara bergantian sibuk mencomoti popcorn yang dibawa Vara. tidak ada yang aneh.

'Bodoh! Apa sih yang lo pikirin, Yog? Mana mungkin mereka saling suka?'

"Cemburu ya?" pertanyaan Nada kemarin malam terngiang-ngiang. Seenaknya saja dia menarik kesimpulan kalau aku cemburu pada kedekatan Vara dan Brandon di acara pembukaan turnamen basket.

"Eh, sorry." Aku menoleh ke arah keduanya. Keduanya tampak malu-malu. Aku tak tahu apa yang terjadi. Kali ini ku lihat Vara menyodorkan kotak popcorn ke arah Brandon. Sedangkan Brandon hanya cengesan dan mengambil popcorn. Dan rasanya kesal sekali melihat kedekatan keduanya.

Setan apa yang merasukiku, tanganku bergerak menyodorkan popcorn milikku yang masih banyak pada Vara. Vara memandangku dengan kening berkerut. Sepertinya dia tak paham dengan sikapku ini. dia saja tak paham apalagi aku? Mau narik kembali juga nanggung.

"Buat lo. Lagian Brandon itu rakus. Jadi kalau kurang nih makan punya gue," ujarku pada akhirnya. Kulihat Vara tersenyum. Masih ragu dia mengambil popcorn milikku. Ku lihat Brandon memandangku kesal. Dan aku membalasnya dengan senyum miring merasa menang darinya. Brandon tak mengatakan apapun dan memakan sisa popcorn miliknya dengan pandangan fokus kembali pada layar.

******

Keluar dari bioskop aku ingin mengajak Vara pulang, tetapi kami kini berada di sebuah restoran cepat saji di lantai bawah. Brandon memaksa Vara untuk ikut dengannya. Dan Vara nurut saja layaknya kucing peliharaan.

Sembari menunggu pesanan kami datang, kami mengobrol. Vara tampak sibuk dengan ponsel sedangkan aku dan Brandon membicarakan soal turnamen bola basket besok. Besok tim basket sekolah kami akan melawan tim SMA Brawijaya. Agak mengejutkan karena tim basket SMA Brawijaya tahun lalu menyabet runner-up di turnamen yang sama.

Sebenarnya hal ini membuatku berkecil hati. Harapan ingin mendapatkan lawan yang tidak setingkat mereka. Tapi hal ini juga menjadi tantangan tersendiri karena bisa menghadapi lawan yang tak bisa dianggap remeh.

"Var, katanya lo minggu kemarin ikut seleksi OSN tingkat provinsi?" Brandon beralih bertanya pada Vara.

"Iya."

"Wah, siapa aja yang ikut?"

"Aku sama Bima."

"Susah nggak soal-soalnya?"

Vara mengangguk sebagai jawaban. "Susah sih, Cuma aku bersyukur aja ada kok yang bisa aku kerjain."

Vara memang masuk ke dalam tim olimpiade matematika di sekolah. Sudah ditunjuk sejak kelas satu. Dia pernah mendapatkan Juara ketiga tahun lalu olimpiade matematika nasional di Jakarta. Dan juara pertama antar SMA di kota kami. Tapi tidak tahu kalau Vara kembali lolos untuk mewakili sekolah ke tingkat provinsi.

"Wah, selamat! Moga lo lolos sampek tingkat nasional, pulang bawa medali ya? Nanti gue pinjam buat foto-foto," ucap Brandon bersemanagat sembari menjabat tangan Vara. Vara tampak terkejut, tapi tidak lama setelah itu tersenyum membalas Brandon.

"Makasih." Vara membalas dengan senyum lebarnya. Keduanya sesaat saling bertatapan. Aku benci jadi obat nyamuk diantara mereka. Aku berdeham agak keras berniat membuayarkan keheningan. Keduanya tersentak lalu Brandon melepaskan jabat tangannya.

"Var, nanti lo mau mampir dulu nggak?"

Vara menatapku lalu berkedip beberapa kali. "Hemmm.. Oh, nanti mampir ke toko sepatu ya. Aku mau beli sepatu."

"Oke."

Pesanan kami datang. setelah itu kami tak banyak bicara lagi. aku fokus makan. Sialnya pikiranku kembali mengingat kejadian tadi. Bagaimana Brandon menjabat tangan Vara, bagaimana keduanya saling tatap tadi sungguh menggangguku.

Tiba-tiba terdengar suara ponsel berdering. Brandon merogoh tas mengambil benda segi empat itu. Dia meminta ijin untuk mengangkat telfon lalu pergi agak menjauh. Aku dan Vara kembali melanjutkan makan.

Brandon kembali tak lama kemudian. "Sorry, kayaknya gue balik dulu."

Aku memandangnya, "Kenapa?"

"Nenek gue di bawa ke rumah sakit. Mama gue minta dianterin."

"Oke. Hati-hati.nggak usah ngebut."

"Iye. Var, gue balik dulu. kapan-kapan nonton lagi ya?"

"Oke. Siap!" jawab Vara bersemangat. Brandon menepuk bahuku dua kali kemudian pergi. Hening menemani di sela-sela kami menikmati makanan. Vara habis lebih dulu, kelihatannya dia kelaparan. Aku selesai kemudian.

"Lo mau nyari sepatu dimana?"

"Di bawah aja."

"Oke." Aku beranjak menuju ke kasir untuk membayar. Vara mengikutiku.

"Yog, aku aja yang bayar. Kan aku yang ajak kamu?"

"Nggak papa."

Setelah itu kami keluar dari restoran. Aku berjalan duluan, Vara di belakangku. Kenapa rasanya seperti kekasih yang bertengkar saja. Aku menarik lengannya agar dia berada di sisiku. Bukan apa-apa. Kalau berjalan dengan teman, aku terbiasa berjalan beriringan bukannya depan-belakang. Vara terkejut, memandangku aneh.

"Gue nggak biasa jalan sendirian. Mending lo di samping gue."

Vara tak bergeming, aku tak menoleh padanya dan fokus berjalan ke depan. Walau aku tahu dia masih menatapku. turun dari eskalator kami berjalan menuju toko sepatu. Vara melangkah pada deretan sneakers yang terpajang rapi. Pelayan toko menyambut kami. Rasanya aku juga tertarik untuk melihat-lihat sepatu. Kakiku melangkah mengikuti naluri untuk mencari sepatu yang menarik mataku. Meninggalkan Vara bersama pelayan toko.

Sembari melihat-lihat, mataku beberapa kali melirik Vara. mengecek dirinya masih ada disana, yang kini dia sedang mencoba memakai sepatu. Aku mendekat saat melihatnya agak kesusahan untuk melepaskan sepatu. Sedangkan pelayan toko tampak melayani pembeli lainnya.

"Kenapa?"

"Ini sulit banget. Aku nggak bisa ngelepasinnya." Wajahnya tampak tersiksa dengan kesesakan dari sepatu yang ia pakai. Aku berjongkok dan mencoba melepaskan sepatu itu dari kaki Vara. memang sulit sekali. Bagaimana bisa dia memilih sepatu yang sesak begini?

Syukurlah sepatunya bisa terlepas setelah ku lepas tali sepatunya. Aku mendongak, mendapati Vara tengah menatapku dengan mata berkaca-kaca. "Kalau memilih sepatu pilih sesuai dengan ukuran kaki lo. Jangan asal ambil seperti ini."

Vara tergeragap, lalu mengangguk. Entah apakah dia mendengarku atau tidak. "I-iya. Maaf merepotkan. Tadi aku lihat ukurannya sama kok dengan ukuran kakiku. Tapi pas aku coba malah sesak."

Dia tampak mengaduh. Ku lihat diatas tumitnya sedikit terluka. Walau begitu aku yakin itu perihnya lumayan mengganggu. "Lo mau sepatu model ini?"

"Iya."

"Lo disini aja. Biar gue tanya mbaknya ada nggak ukuran yang lebih besar dari ini."

"Eh, tap-"

"Udah diem disini." Atau kamu merepotkanku lagi. aku beranjak mendekati pelayan toko yang sudah selesai melayani pembeli. Aku menunjukkan sepatu yang dipilih Vara tadi dan meminta untuk dicarikan yang ukurannya lebih besar dari ini. pelayan toko mengerti lalu mencarikan sepatu yang ku minta. Lagi-lagi mataku mengarah pada Vara yang ternyata memandangku.

Aku memalingkan pandangan ke arah lain. Berpura-pura tak peduli, walau rasanya ingin menatapnya sekali lagi.

Ah… sebenarnya ada apa dengan diriku ini?

"Ini dek. Boleh dicoba dulu." Pelayan toko mendatangiku dengan membawa sepasang sepatu berwarna merah muda penuh dengan taburan gliter. Sama persis dengan yang Vara pilih tadi. Aku menerimanya lalu berjalan menuju Vara yang kali ini pelayan toko juga mengikutiku di belakang.

"Terima kasih," ucap Vara sembari menerima sepasang sepatu itu. kali ini dicobanya sepatu itu. dan kali ini sepatu itu pas. Wajah Vara juga tampak senang tanpa ada raut kesakitan. Sepatu itu pasti pas.

"Gimana?"

"Iya ngga kekecilan. Nyaman. Aku pilih yang ini ya mbak?"

Mbak-mbak toko mengangguk. Vara melepaskan sepatu itu dan memberikan kepada pelayan toko. vara berdiri. Raut wajahnya tak bisa dibohongi kalau dirinya kini kesakitan kembali. Beruntung hari ini dia memakai sandal bukan sepatu. Pasti akan bertambah sakit jika lukanya bergesekan dengan dalaman sepatu.

Vara mendekat ke kasir dan membayar sepatu yang dipilihnya tadi. Aku menunggunya di depan toko. tak lama ia datang mendekatiku. Langkahnya pelan sedikit diseret. Aku memelankan langkah. Ku ambil alih kantong kresek berisikan sepatu yang dibelinya ke tanganku. Aku jadi tak tega melihatnya seperti ini.

"Lebih baik kita turun pake lift aja. Kasihan kaki lo kalau dipaksakan buat jalan."

Vara menurut. Kami berbelok ke arah lift yang terdapat beberapa orang menunggu. Bersyukur saat kami baru datang pintu lift terbuka. Aku dan Vara segera masuk. Bersama beberapa orang tadi. Bersyukur lagi lift tidak terlalu penuh. Sialnya aku parkir mobil agak jauh. Ku suruh Vara menunggu di samping pintu masuk. Mobil merahku berada di ujung kasihan kalau Vara ikut denganku.

******

Pagi ini aku sudah bersiap menenteng tas ransel dan memakai sepatu. Dari tadi ponselku berdering. Aku tahu itu pasti dari Romi. Ku ambil ponsel yang ku letakkan di samping piring bekas makan pagiku hari ini.

Benar dugaanku kalau Romi yang menelfon. Sebaiknya ku telfon balik dia atau nanti saat bertemu denganku di sekolah dia akan berubah menjadi hulk dan siap menerjangku dengan umpatan.

"Halo… Ah, tadi gue di kamar mandi." Lebih baik aku berbohong daripada dia tahu aku mengabaikan telfonnya sedari tadi karena sibuk sarapan dan memakai sepatu.

"Eh? Kok bisa?.... Pak Herman udah dihubungi?... Oh, oke. Kalo dari gue sih sarannya si Anak baru kelas sepuluh itu, si… ah, iya si Dimas, Dimas kelas sepuluh IPA satu... Oke. Gue juga udha mau siap-siap berangkat ini… oke. Iyaa."

Ah, kenapa harus hari ini sih. Hari ini adalah hari terpenting bagi tim basket sekolah karena akan bertanding melawan SMA Brawijaya. Namun, Edo yang berperan sebagai center hari ini sakit demam. Otomatis harus mencari pemain tambahan untuk menggantikannya. Dan bersyukur ada anak kelas sepuluh yang berpotensi di bagian itu.

Aku bangkit dari dudukku. Mama turun dari tangga dengan pakaian rapi. Rasanya sudah lama sekali tidak bertemu dengan mama.

"Kamu udah selesai?"

"Udah, Ma. Yogi berangkat dulu."

"Iya. Hati-hati dijalan."

Aku berjalan menuju garasi. Mengeluarkan sepeda motorku. Kulihat sosok cewek berseragam berdiri di depan halte dengan beberapa orang di sampingnya menunggu bis. Tumben sekali dia belum berangkat. Tanpa sadar motorku bergerak pelan mendekatinya yang berada di pinggir jalan sembari mengecek ponselnya beberapa kali.

"Vara," panggilku membuat si pemilik nama mengalihkan pandangan padaku. Vara menatapku dengan pandangan terkejut. Sepertinya dia tak menyangka kalau aku menghampirinya. Padahal biasanya dia berangkat pagi-pagi. Tapi tumben sekali jam segini dia masih bercokol di halte.

"Yo-Yogi."

"Lo kok masih di halte?"

Vara tergeragap. Lalu menggaruk tengkuknya, sepertinya agak bingung mau menjawab apa. "Aku bangun terlambat tadi. Jadinya aku ketinggalan bis. Mungkin 5 menit lagi akan datang."

Rasanya tak tega melihatnya yang terlihat panik seperti ini. "Ayo, bareng gue aja. Daripada lo terlambat bisa dihukum nanti sama pak Lukman."

Vara terdiam. Lalu mengangguk. Berjalan mendekat, dia duduk di jok belakang.

"Udah?"

"Udah."

"Pegangan, kayaknya nanti gue bakalan ngebut."

Langsung saja Vara melingkarkan lengan kanannya pada perutku. Setelah itu aku baru menjalankan motorku.

Lima belas menit kami baru sampai di sekolah. Lebih lama dari biasanya. pertama karena aku membonceng Vara dengan duduknya yang menyamping. Yang kedua aku lewat jalan-jalan arteri menghindari beberapa jalan utama mengingat Vara tak memakai helm. Motorku berhenti sesampainya di parkiran. Tepat sekali bel sekolah berdering pertanda sekolah masuk. Vara turun dari motorku. Kudengar dia menghela nafasnya. Sepertinya dia lega sekali karena datang tepat waktu.

"Makasih, Yog, udah nebengin aku. Kalau nggak, mungkin aku terlambat masuk sekolah."

"Sama-sama. Buruan gih udah bel masuk."

Dia tersenyum, kemudian meninggalkanku menuju ke kelasnya. Ku pandangi dia yang menjauh hingga akhirnya dia menghilang setelah berbelok.

"Woi!" aku tersentak kaget. Kulihat sosok Romi dan Dion sudah ada disampingku dengan tangan Romi di pundakku. "Mandanginnya gitu amat sih. Gue panggil nggak nyaut-nyaut. Ternyata…"

"Apaan sih," kilahku sembari menyingkirkan tangan Romi dari pundakku.

"Kalau suka buruan bilang. Entar dia jadi pacar orang lain lo yang sedih."

"Siapa yang lo maksud?"

"Vara lah. Siapa lagi sih," Dion menjawab dengan tatapan gemas ke arahku.

"Mulut lo mungkin mengelak, tapi jangan sampek lo bohongin hati lo sendiri," ucap Romi layaknya ahli cinta. Setelah itu dia berlalu, sedang Dion terkekeh geli mendengar petuah yang baru saja meluncur dari mulut Romi.

Masa sih?

****