webnovel

The Guardian of Alas Purwo

Ramalan apakah yang membuat pemuda bernama Bian harus mendampingi Beata sebagai Quentiva? Beata Rusli, seorang gadis remaja yang memiliki kemampuan berbicara dan mengendalikan satwa Alas Purwo. Tapi bukan hanya itu, Beata juga menjadi pelindung pulau Jawa dari ancaman kerusakan alam dan gempa! Mampukah Beata Rusli menghentikan Pulau Jawa untuk tidak terbelah menjadi dua? Apa arti dari Quentiva? Temukan jawabannya dalam kisahku. Sebuah bahasa alam yang author ciptakan, Sien Lingurna, khusus untuk cerita fantasy ini.

TR_Sue · Fantaisie
Pas assez d’évaluations
16 Chs

The Chaos Is Start 

Satu persatu hal yang perlu kuketahui di jelaskan oleh Beata. Bahwa tugas kami berdua tidak ada sangkut paut dengan hirarki kerajaan Jin yang dipimpin oleh Gayatri.

Tugas utama kami lebih kepada menjaga keharmonisan antara yang ada di dunia nyata. Seperti satwa, pepohonan dan tumbuhan.

Bahwa dalam bertugas, kami memiliki hirarki sendiri. Pohon tua beranting yang dipanggil Bea dengan sebutan 'Merin' atau Ibu adalah penasehat tertua. Selebihnya adalah :

Argon penguasa wilayah Barat Alas Purwo,

Balu di wilayah utara, Gutri-seekor monyet- di wilayah timur, dan Cerva-seekor rusa jantan- menguasai wilayah selatan.

Mereka bertugas menjaga wilayah mereka masing-masing. Jika terjadi konflik, maka Beata akan menjadi pendamai atau penghukum.

Mereka menyebut dirinya kaum 'Arangui Lingurna' atau peri penjaga. Bahasa kaum ini hanya bisa dimengerti oleh satwa, pohon dan tumbuhan.

Ya, di sini bahkan pohon, bunga dan semak belukar pun berbicara juga berkomunikasi. Hanya manusia tidak mampu mendengar ataupun memahami. Jika aku bukan bagian dari mereka, tidak akan percaya sedikit pun.

Wilayah kerajaan Jin di luar jangkauan kami. Tetapi ada beberapa satwa yang menjelma dari mahkluk gaib dan memutuskan untuk dalam bentuk duniawinya, maka mereka juga menjadi tanggung jawab Bea.

Ya Allah. Mungkinkah ini akan menjadi hidupku sekarang?

Beata menyentuh lenganku. Kami berdiri di atas bukit, memandang savana yang terbentang didepan kami.

"Arti sesungguhnya -Quentiva- adalah pendamping atau pelindung. Tugasmu hanya mendampingiku dan memastikan aku hidup dalam delapan puluh tahun mendatang. Sampai penjaga berikutnya ditemukan," suara Bea terdengar jernih dan lembut bagaikan desahan angin.

Angin kembali bertiup sepoi-sepoi. Kaos yang kukenakan tidak mampu menahan dinginnya hembusan angin dini hari.

Pak Hartono terlihat asyik dan mesra membantu istrinya menyiram bunga. Begitu melihat kami, keduanya tersenyum bahagia.

Ibu Jane melempar selang airnya dan berlari memelukku.

"Its been difficult for you, but I'm glad you made it," katanya sambil mengusap lumpur di pipiku. Aku tersenyum dan menoleh ke Bea yang sumringah.

Tingkahnya kembali layaknya seperti bocah. Melompat ke sana kemari dengan riang. Bagaimanapun, dia baru tujuh belas tahun.

Aku mengintip ke teras. Andin mendengkur di teras berdampingan dengan Lido. Tampang mereka lucu banget. Tidak tega membangunkan mereka, aku segera masuk kamar dan mandi.

"Biiii, Bian!" suara Andin melengking dari bawah. Sumpah kalau tidak mengenal gadis itu dari kecil, aku akan pura-pura tidak kenal. Selain karena urat malunya tidak ada, teknik pemaksaan versi Andin terkenal paling sadis.

"Apaan, jangan berisik! Polusi suara!" seruku gemas dari jendela kamar,

"Anterin ke pasar!" Tuh kan, paling malas kalau sudah mendengar permintaannya. Selanjutnya, aku menghitung satu, dua, ti..

"Biiii, budek ya?!" teriakannya makin tidak manusiawi. Ya ampun, semoga calon suaminya nanti diberi kekuatan dan ketabahan.

"Ajak Lido!" Aku mencoba berkelit.

"Udah jalan sama Ibu Jane ke kota," jawabnya. Sial, pilihannya habis. Rutukku dalam hati.

"Dua menit!" jawabku asal dan kembali masuk. Padahal aku sedang melipat baju yang tidak mungkin selesai dalam waktu dekat.

Braaaak, pintu terbuka,

"Ya ampuuun, Bian! Cakep-cakep dongo! Minta mbak Tri kerjain, kasih tambahan uang belanja, daripada susah?" seru Andin tidak sabar.

Aku cuek, sebetulnya sudah terlalu biasa hidup jadi anak kos, jadi hal seperti mengurus diri adalah mudah dan aku termasuk cowok rapi.

"Bian, ayolah. Ntar kalo Bu Jane dah balik, gue gak bisa kemana-mana," pintanya memelas.

"Baliknya loe lipetin baju gue." aku menawar, Andin melotot protes.

"Ya sudah, nggak maksa," jawabku santai dan melanjutkan lipatanku, Andin menarikku dengan emosi.

"Iy-ye!" kalimat itu dilafalkan dengan tekanan kata penuh kejengkelan.

Aku nyengir senang.

"Gue pikir Loe mau ke utara sama ibu," tanyaku sambil turun dan mengunci pintu.

"Ntar sorean, pagi ini mau beli stok makanan dulu katanya."

Dibawah Bea menunggu kami,

"Mau kemana?" tanya Bea,

"Ikut yuk ... ke pasar!" ajak Andin girang,

"Nggak muat, Ndin. Pake motor nih," aku mengingatkan. Bea melempar kunci ke arahku.

"Aku ikut kita naik jeep," Bea melompat ke dalam Jeep dan duduk menunggu. Tanpa bertanya lagi, kami pun berangkat.

Pasar itu cukup besar dan terlihat ramai. Beberapa pedagang menyapa Bea ramah. Andin sibuk memenuhi keranjangnya dengan daftar belanja.

Aku mengikuti mereka dengan sabar. Seorang laki-laki berlari ke arah kami.

"Nona Bea, ada banteng mengamuk di Tegal dlimo!" serunya panik, rupanya seluruh penduduk tahu siapa Bea.

"Di daerah mana, Pak?" tanya Bea.

"Dekat tepi hutan," jawabnya tidak sabar. Bea melihat ke arahku dan Andin.

Andin langsung berlari. Kami mengikuti dan naik jeep menuju ke sana.

Setiba di sana, terlihat beberapa laki-laki dewasa sudah berjaga supaya banteng tidak menuju arah desa. Tanah pertanian tampak hancur berantakan. Tanah tercungkil dan tanaman sayur rata.

Bea berlari ke arah banteng liar kemudian berjalan merunduk mendekatinya. Aku dan Andin tidak sabar melihat apa yang terjadi.

"Gigantica, ing aftoski. Ber amortus, ber amortusdu ...." Bea dalam posisi merunduk mendekati banteng perlahan.

(Banteng perkasa, jangan takut. Redam amarah, redam amarahmu).

Banteng itu mendengus liar. Kakinya menjejakkan tanah dengan gusar. Tanduknya dalam posisi siap menyeruduk.

Begitu jarak tinggal sekitar dua meter, Bea berdiri tegak dan menundukkan kepalanya simbol tidak menantang atau perlawanan.

"Duize meits fitz sien linguarna." Bea tetap dalam posisi kepala menunduk.

(Aku datang sebagai sang penjaga)

Banteng itu perlahan-lahan mengurangi jejakan kaki liarnya, dan mendengus tenang.

"Mirei Verde ...." (terima kasih)

Bea mengangkat wajahnya dan menunggu banteng itu mendekat. Semula aku ragu, sepertinya tidak mungkin banteng itu mau mendekat. Tapi itulah kekuatan kharisma dari sang penjaga, bisa menjinakkan satwa dalam wilayahnya.

Laksana seekor anak anjing terlatih, banteng itu merundukkan kepalanya dengan hormat.

Bea membalas dan memberi tanda untuk pergi.

Riuh rendah ucapan terima kasih penduduk bersahut-sahutan. Bea mendekatiku.

"Mas Bian, banteng itu dari utara. Kini satwa pun dibuat tidak nyaman. Kita harus ke sana," ajaknya. Aku mengangguk dan menuju ke mobil, tapi Bea menahanku.

"Kita lewat sini."

"Penduduk?" Aku ragu, mungkinkah dengan vulgar Bea akan mengundang Argon dan Balu? Tubuh mereka yang maha besar akan menakutkan untuk disaksikan langsung oleh penduduk.

"Mereka akan terbiasa melihat," jawabnya.

"Udah sini kunci, gue balik sendiri, Loe jalan sekarang" kata Andin.

Aku melempar kunci dan mengikuti Bea yang sudah berlari sambil bersiul nyaring.

Dalam hitungan detik, gemuruh derap keduanya terdengar mendekat. Penduduk menjerit tertahan saat menyaksikan dua hewan buas seukuran mobil muncul dari balik pepohonan, kami melompat naik dan menuju utara.

Begitu tiba, kami berdua terhenyak. Mesin traktor dan tukang bangunan menyebar seluas dua hektar. Mata Bea berkaca-kaca. Detik ini aku bingung harus berbuat apa.

Tapi mengandalkan naluriku sebagai manusia, aku turun dan berlari ke salah satu pekerja.

"Pagi pak," sapaku bersahabat.

Pekerja itu melepas topinya dan mengangguk.

"Piye mas," sahutnya.

"Kok ada perataan tanah mau buat apa ya?" tanyaku sambil menebarkan pandangan.

"Lho belum tau tho? Ini kan mau buat resort, hotel megah," jelasnya sambil meletakkan linggis ditangannya.

"Masuk akal sekarang," desisku.

"Apa mas?" tanya pekerja itu.

"Enggak, Pak. Terima kasih, permisi ya." Aku pamit dan kembali ke Bea. Pekerja itu baru tersadar setelah melihat kami, dan lari pontang panting.