webnovel

The Guardian of Alas Purwo

Ramalan apakah yang membuat pemuda bernama Bian harus mendampingi Beata sebagai Quentiva? Beata Rusli, seorang gadis remaja yang memiliki kemampuan berbicara dan mengendalikan satwa Alas Purwo. Tapi bukan hanya itu, Beata juga menjadi pelindung pulau Jawa dari ancaman kerusakan alam dan gempa! Mampukah Beata Rusli menghentikan Pulau Jawa untuk tidak terbelah menjadi dua? Apa arti dari Quentiva? Temukan jawabannya dalam kisahku. Sebuah bahasa alam yang author ciptakan, Sien Lingurna, khusus untuk cerita fantasy ini.

TR_Sue · Fantaisie
Pas assez d’évaluations
16 Chs

Quentiva is Choosen

Mataku tidak kunjung terpejam. Penasaran akan seberapa jauh Bea turut andil dalam keberlangsungan Alas Purwo, cukup mengusikku. Seumur hidup, belum ada pengalaman aneh atau mistis seperti yang kualami atau dengar hari ini.

Hidupku cenderung datar. Diusiaku yang ke 21 tahun aku lulus menyandang gelar sarjana dengan IPK 3,98.

Tidak ada hal istimewa yang terjadi dalam duniaku, termasuk percintaan. Andin yang menjadi teman dari kecil hingga besar, sering kali menuduhku menyukai sesama jenis. Aku tidak pernah, atau mungkin belum, merasakan tertarik pada kaum hawa. Bagiku mengejar cita-cita jauh lebih penting saat ini. Terlebih lagi mbak Tina selalu mendukung untuk mencapai karir cemerlang terlebih dahulu, baru berkeluarga.

"Kalo kamu sukses, jodoh mendekat sendiri, kok," ucap kakak tiriku yang sangat dekat denganku dari kecil. Aku bersemangat dan terus berusaha yang terbaik. Hubunganku dengan bapak tiriku sangat baik dan dekat. Ibu menyatukan kami dengan cara yang sangat luar biasa.

Tapi terkadang aku harus menyingkirkan jauh-jauh ucapan Tante Lies, ibu Andin, yang selalu meminta untuk mengikuti jejak ayahku. Menjadi paranormal bukan hal yang aku inginkan. Entah apa yang jadi pertimbangan Tante Lies atas ucapannya, yang pasti ibuku sangat tidak menyukai Tante Lies yang juga menjadi sahabat mendiang ayahku tersebut. Tante Lies tinggal di sebelah rumah kami, namun ibu selalu menghindarinya. Tidak perduli apa pun alasannya. Hanya Andien yang masih diterima dengan baik oleh ibu.

Tok ... tok ... tok

Kudengar pintuku di ketuk. Lido sudah tertidur pulas. Aku mulai menduga, bahwa mungkin ini saatnya bagi kami mendapat giliran jaga malam. Dengan sedikit enggan, aku meraih gagang pintu dan membuka. Di depanku berdiri Bea dengan celana dan jaket juga bersepatu.

"Mas, mau ikut nggak?" tanyanya berbisik.

"Be-Bea?" Aku menoleh kanan kiri.

"Ngapain malem-malem gini?"

"Ada surfer yang hilang tadi sore. Aku mau nyariin," katanya sambil berbalik meninggalkanku.

"Hei ... hei, tunggu!" Bea tidak menggubris. Aku kalut. Dengan tergesa aku memakai celana panjang, sepatu dan menyambar sweater. Bea bersiul dan muncul kedua teman satwanya dengan derap pelan.

"Kita nggak kasih tau papamu dan yang lain?" tanyaku masih mencoba menahannya. Bea melompat dengan gaya khasnya ke atas Argon.

"Kelamaan," sahutnya dan dia melesat pergi.

Balu merunduk menunggu. Aku tidak ada pilihan dan dengan susah payah naik serta menyusul mereka.

Tuhan, kenapa aku merasakan ada rasa kebebasan meluap dari dada yang membuncah keluar.

"Kejar mereka Balu." Aku berbisik di telinga banteng perkasa. Seperti mengerti, Balu mendengus kasar dan memacu keempat kakinya.

Entah imajinasiku terlalu tinggi atau tidak, terdengar mengalun nyanyian malam indah dari kicauan burung dan gemerisik daun.

Kuterjang malam menembus pekatnya Alas Purwo.

Suara deburan ombak di pantai mulai terdengar sayup-sayup. Balu memelankan pacuan langkahnya dan berhenti di sebelah Argon.

Bea memandang ke arah lautan. Gelap. Hanya buih putih ombak yang sesekali terlihat. Sinar bulan sabit cukup membantu menerangi.

"Kalo memang dia hilang tertelan ombak, maka hilang harapan kita," gumam Bea seakan berbicara pada dirinya sendiri.

"Bea, kapan surfer itu hilang? Kan bisa ...," kembali, sebelum ucapanku selesai dia menepuk punggung Argon untuk berbalik.

Aku memutar bola mataku.

'Busyet cuman buat nemenin dia biar gak sendirian,' batinku gemas.

"Balu, kita ikutin dia, deh," kataku sekenanya. Balu melenguh dan berjalan pelan mengikuti Argon menyusuri hutan bambu di sekitar pantai Pancur.

Kawasan surfing di G-land yang di pantai Plengkung merupakan yang terbaik di Indonesia dan dunia. Jaraknya sekitar sembilan kilometer dari pantai Pancur.

Untuk mencapai pantai Plengkung hanya ada dua jalur saja, salah satunya via hutan bambu Pancur. Bea memutuskan untuk tracing back di sepanjang belantara bambu sekitar pantai tersebut.

Rimbunnya bambu yang melengkung menambah suasana dingin malam ini. Kami semakin melangkah ke dalam hutan belantara. Pekatnya malam dan rapatnya ranting pepohonan di atas membutakan pandanganku. Saat ini hanya mengandalkan pendengaran dan insting Balu tungganganku. Diri ini pasrah, tidak mengetahui di mana dan kemana Bea melangkah.

Di kejauhan, ada sesuatu yang bersinar redup. Geraman seekor macan, yang seharusnya menakutkan, membuatku bernapas lega. Bea ada di depan kami.

"Mas Bian, jangan turun," suara Bea memecah kesunyian. Kilauan itu berasal dari tumbuhan mirip jamur dan bunga yang jumlahnya ratusan, terbentang di depan kami. Fantasiku melayang ke sebuah film yang berjudul Avatar. Takjub sekaligus tidak percaya, aku ada di sini.

Bea turun dan berjalan berjingkat. Dengan penuh kelembutan, dia mendekati bunga berwarna ungu mirip dengan tulip.

"Botsdui ..., dera et mire," (bunga cantik, di mana manusia itu) bisik Bea penuh perasaan.

Sekujur tubuhku merasakan sensasi yang mengelitik, bahasa itu kupahami!

Bunga ungu itu mengeliat dan meliuk ke atas, makin lama makin tinggi hingga menyamai Bea yang sedang duduk bersimpuh.

Kelopak bunga itu mekar dan kudengar, hal yang tidak terduga sama sekali, bunga itu berbisik.

"Mire et ivex wondi herdu santi," (manusia itu terbuai wanita bergaun putih) bunga ungu tersebut menunjuk ke hutan dari arah kami datang tadi. Muka Bea mengernyit kesal.

"Be-Bea, kenapa aku memahami bahasa bunga itu," suaraku gemetar. Bea melirikku, sambil bangkit menuju Argon.

"Karena aku memilihmu menjadi pendampingku."

Kembali dia melompat ke atas Argon dan melesat mendahuluiku. Aku berdiri mematung. Pendampingnya? Atas persetujuan siapa? Pendamping seperti apakah yang dia maksud?

Balu menyenggolku dengan tanduknya pelan. Pikiranku buntu, tdak tahu harus berbuat apa. Akhirnya aku melompat ke atasnya dan kembali menerjang pekatnya hutan, menyusul Bea.

Ya, aku melompat. Tidak merayap ataupun bersusah payah menaiki tubuh gempal Balu.

Sekarang, misteri tidak hanya pada Bea, tapi juga perubahan padaku dalam sekejap!

Kami kembali ke hutan bambu tempat pertama yang kami kunjungi. Mataku bisa melihat dengan jelas dalam gelap. Aku terus terkesima sendiri dengan perubahan aneh pada diriku. Bea mengendus di udara, sementara Argon, seperti sehati dan sepikiran, mengikuti arah yang gadis itu tuju.

Argon berhenti dan mengeram ke arah rumpun bambu terlebat. Bea melompat turun dan bersiap siaga. Lenguhan Balu terdengar pelan.

"Giliranmu!" perintahnya. Aku bingung, tidak mengerti yang dia inginkan.

"Ucapkan sesuatu, wanita itu hanya mendengar kaum lelaki saja." Bea menjelaskan dengan sedikit tidak sabar.

"Oh-ok. A-aku coba." Tanganku berkeringat. Aku meluncur turun dan berdiri di sampingnya. Aku mencoba berpikir, dan akhirnya meluncur kalimat aneh.

"Wondi herdu santi, exerte," (gadis cantik bergaun putih, keluarlah) seruku kurang yakin.

'Sial, darimana kuperoleh kata-kata itu?' batinku. Kalimat demi kalimat dari bahasa yang baru kupahami seperti mengalir deras ke otakku.

Bambu itu terangkat perlahan. Seperti tirai, tersibak dan muncul seorang gadis bergaun putih kimono. Raut mukanya pucat dengan rambut panjang terkepang ke samping.

"Sinka y monsmia dui ..." (siapa yang memanggilku) suaranya begitu lemah dan dingin. Aku terhenyak mundur.

Bea melemparkan sesuatu yang mirip dengan sulur dan melilit leher perempuan bergaun putih tersebut.

"Beldari! Komune mire y du totska!" Bea menjerat makin kuat. (Lancang! Kembalikan manusia yang kau tahan!)

"Sien Lingurna! Du findestu quentiva! Hihihi." Bahkan suara tawanya pun lemah dan terasa dingin. (Sang penjaga! Kamu sudah menemukan pasanganmu, hihihi)

"Nui vertu! Gush! Komune!" (Bukan urusanmu! Cepat! Kembalikan!) Bea menarik tali itu, makhluk itu mengeliat dan tidak berdaya. Seperti tak sanggup melawan lilitan Bea.

Dengan gemulai, jari lentiknya memutar dan dari balik bambu yang terjulur, meluncur tubuh surfer yang hilang sore tadi dengan tubuh telanjang bulat.

Bea menjerit jengah dan jeratan talinya terlepas. Makhluk itu langsung dalam sekejap lenyap, melarikan diri dan menutup bambu rapat-rapat.

"Tutup badannya dia!" seru Bea sambil memalingkan muka.

"Gelap, Be. Nggak keliatan," sahutku menggodanya.

"Pokoknya tutup," pintanya melemah. Aku tidak tega. Dengan menghela napas panjang, kulepas sweater dan menutup aurat bule yang hilang tersebut.

Huft, jaket sudah raib, sekarang sweater pun jadi korban. Bea mengangkat tubuh itu dengan mudah ke atas Balu.

"Kita pulang," ajaknya. Aku mengacungkan jempolku dan melompat ke atas Balu mengikuti Bea menuju rumah.

"Pegang yang kenceng, jangan sampe jatuh!" serunya. Aku mengiyakan dengan patuh. Namun Bea sudah melesat tanpa menunggu jawabanku.

♧♧♧

Bersambung

Bian, punya kekuatan super? Hmmm ... kok bisa? Masuk akal nggak sih?