webnovel

The Guardian of Alas Purwo

Ramalan apakah yang membuat pemuda bernama Bian harus mendampingi Beata sebagai Quentiva? Beata Rusli, seorang gadis remaja yang memiliki kemampuan berbicara dan mengendalikan satwa Alas Purwo. Tapi bukan hanya itu, Beata juga menjadi pelindung pulau Jawa dari ancaman kerusakan alam dan gempa! Mampukah Beata Rusli menghentikan Pulau Jawa untuk tidak terbelah menjadi dua? Apa arti dari Quentiva? Temukan jawabannya dalam kisahku. Sebuah bahasa alam yang author ciptakan, Sien Lingurna, khusus untuk cerita fantasy ini.

TR_Sue · Fantaisie
Pas assez d’évaluations
16 Chs

Dilemma

Aku masih termenung. Mencerna dan mengumpulkan satu persatu kilasan kejadian hari ini. Termasuk perasaan aneh yang kurasakan terhadap Bea juga mempertimbangkan nasehat Andin.

Makan siang hari ini kami berkumpul di rumah Pak Hartono. Santapan bertema lalapan dan seafood mengugah selera semua yang hadir dan langsung diserbu tanpa tersisa. Ibu Jane tertawa senang.

Ah, wanita itu betul-betul berhati emas. Kekagumanku makin bertambah.

Tidak lama setelah usai bersantap, Pak Hartono berteriak membagi tugas dan persiapan untuk keesokan harinya.

Ibu Jane tampak bersemangat menjelaskan jenis tumbuhan apa saja yang harus diselamatkan dari utara kepada Andin dan Lido.

Rupanya aksi penyelamatan mulai disiapkan.

Pak Hartono berkali-kali menerima telepon dari luar. Dugaanku pihak yang ingin bermain curang mulai kebakaran jenggot dan mencoba membujuk Pak Hartono untuk bekerjasama.

Andin memintaku dan Lido untuk menyiapkan polibag sejumlah seratus lebih dan mengisinya dengan tanah gambut.

Aku tidak bisa berhenti berfikir lurus. Berbagai spekulasi berkeliaran di kepala. Semua memenuhi benak dan bertumpuk tanpa mendapatkan kesempatan terlontar. Menyibukkan diri dengan membantu Andin cukup mengalihkan pikiranku.

Sore semakin merangkak, seluruh petugas berjumlah dua puluh empat masih mengerumuni Mas Pur untuk pembagian tugas.

Mas Rudi mengeluarkan sebuah kotak kayu besar dan menyuruh Ali untuk membuka dengan linggis.

Satu persatu petugas dibekali senapan angin. Mas Rudi memberitahu peraturan penggunaan dan memperingatkan dengan tegas untuk menindak secara hukum jika ada penyalahgunaan senjata tersebut.

Aku sudah tidak tahan lagi. Suara bising di sekitarku berdengung di kepala dan menimbulkan sakit kepala luar biasa. Mungkin inilah tingkat tertinggi stresku, emosi inipun meledak ....

"DIAAAAAAM!"

Braaak!

Meja kayu untuk meletakkan polibag hancur berantakan. Semua menatapku, aku terengah-engah menahan emosi. Detik berikutnya, aku menyesal. Rasa malu dan jengah berkumpul.

Aku memejamkan mata kuat-kuat.

Bea mendekatiku. Hembusan napasnya meniup lenganku. Saat yang bersamaan, Andin mendekat, namun hanya memandangku dengan tatapan sedih. Aku bingung. Kenapa aku bisa lepas kontrol seperti ini?

"Maaf, saya lepas kendali," kataku pelan.

Aku berlari keluar dan duduk di taman dengan lunglai.

Ini gila.

Ini di luar nalar.

Haruskah takdir itu kupenuhi?

Wajibkah?

Apakah ada pilihan? Pasti ada!

Harusnya ada!

"Kalo Loe memilih untuk mundur, sebaiknya gue mulai ngabarin pihak BMKG untuk bikin pengumuman, dan pemerintah buat nyiapin evakuasi massal," cetus Andin duduk di samping.

Aku tidak ingin menoleh atau bereaksi terhadap ucapannya.

"Mau takdir ataupun bukan, ini sudah ada dalam ramalan mereka. Tapi, kenapa jatuhnya ke Loe? Mungkin juga gue salah, Bi. Kayaknya cuman Allah SWT yang tahu," ucap Andin menarik napas panjang. Wajahnya tertunduk.

"Kenapa sekarang Loe komentar kayak gitu?"

"Gue mikir tadi malam. Taruhannya nyawa ribuan orang." Jawaban Andin menghentak hatiku dan meninggalkan rasa sakit yang tidak terkira.

"Kenapa Loe nggak balik ke Jakarta? Nggak aman di sini," aku ganti bertanya.

"Nyokap bilang masih ada harapan," sahutnya.

"Aku akan tetap bertahan hingga pilihan dan harapan itu habis."

Kami berdua diam. Andin ... manusia yang paling peduli selain ibuku. Dia nggak pernah lalai atapun lupa untuk mendukungku dalam segala hal. Sentuhan hangat kurasakan di pundak.

Aku setengah menoleh, Ibu Jane.

"Menjadi ibu adalah suatu kebahagiaan. Tapi mengetahui bahwa bukan aku yang mengasuh dan akan membesarkan dia, cukup menyakitkan. Di luar semua itu, kami juga tidak akan pernah menimang cucu. Her life is not belong to anyone. But its okay. For the sake of this planet," ucapannya lirih, penuh dengan kepiluan.

"Terkadang pengorbanan harus dilakukan. But do it when your heart is ready," pungkas Ibu Jane sembari meremas pundakku dengan lembut.

Seorang Ibu yang berkorban demi kebaikan bersama. Haruskah aku juga berpamitan dengan ibu? Akankah dia merelakan seperti sikap Ibu Jane?

Helaan napas berat terdengar dari sebelahku. Lido masih terlihat resah malam itu. Seharusnya aku yang lebih pantas. Mungkin hidupku nggak bakal ada lagi minggu depan. Siapa juga yang bisa nentuin dengan kondisi kayak gini?

"Jangan pergi, Bi. Pasti ada pilihan yang terbaik," cetus Lido memecah keheningan malam.

"Jangan nambahin pikiran pusing, Do. Gue lagi mikirin gimana caranya bikin Bea nggak ngamuk. Mungkin itu bisa menghindari gue buat berkorban," jawabanku seperti pecundang yang panik. Sama sekali nggak mirip tokoh utama dalam film bertemakan heroik yang berkorban tanpa berpikir.

Sejak hari pertama aku mendengar, yang berputar di kepalaku hanya kebimbangan dan ketakutan. Haruskah aku memenuhi takdir itu?

"Andin bakal bunuh diri kalo sampe Loe game over, Bi," seru Lido dengan suara bergetar.

"Jangan mulai konyol!" tukasku jengkel.

Lido membalikkan tubuhnya menghadap dinding. Malam berlalu dan aku tidak bisa terlelap malam itu. Beberapa kali terbangun dengan keringat bercucuran! Mimpi buruk akan penglihatanku terus hadir dalam teror malam di bawah alam sadarku.

Sarapan pagi aku hadir terlambat. Lido sama sekali tidak membangunkan karena dia tahu tidurku tidak nyenyak malam tadi.

"Kamu keliatan pucat," seru ibu Jane menyentuh kening dan leherku.

"Kurang tidur, Bu," jawabku dengan suara sengau. Andin melirikku dari ujung meja, Bea tidak tahu berada di mana.

"Mungkin mau kena flu kamu. Coba minum obat ini, setelah itu tidur, istirahat," saran Ibu Jane. Aku mengangguk dan menelan obat setelah sarapan.

Rasa kantuk menyerang setengah jam kemudian. Aku berpamitan ke kamar dan merebahkan diri. Entah berapa lama aku tertidur, saat bangun tubuh ini menggigil hebat. Aku menarik selimut dan kembali tertidur.

Rasa dingin di keningku, membuat terjaga. Waktu mata terbuka, kulihat sosok yang cukup kukenal, Andin. Tangannya membalik kompres dan wajahnya tampak khawatir.

"Panasmu nggak turun-turun. Minum obat lagi ya?"

Aku hanya mengangguk menanggapi ucapannya. Andin memberiku dua obat dan aku kembali terlelap.

Suara gaduh di luar kembali membangunkan diriku. Entah kali ini apa yang terjadi, namun suara Pak Hartono yang berteriak sepertinya ada kebakaran hutan di sebelah utara.

Aku ingin bangun dan membantu, tapi tangan Andin menahan tubuhku.

"Istirahat. Loe nggak akan kuat," sergah Andin dengan tegas. Aku mengalah dan nenek lampir kesayanganku benar. Sekejap aku merasakan dunia berputar dan rasa mual menyerangku.

Andin menyorongkan baskom yang sudah ia siapkan, tanpa rasa jijik ia menampung semua isi perutku yang tertumpah tanpa bisa kutahan. Kondisiku berada pada titik terendah!

♧♧♧

Bersambung