webnovel

The Guardian of Alas Purwo

Ramalan apakah yang membuat pemuda bernama Bian harus mendampingi Beata sebagai Quentiva? Beata Rusli, seorang gadis remaja yang memiliki kemampuan berbicara dan mengendalikan satwa Alas Purwo. Tapi bukan hanya itu, Beata juga menjadi pelindung pulau Jawa dari ancaman kerusakan alam dan gempa! Mampukah Beata Rusli menghentikan Pulau Jawa untuk tidak terbelah menjadi dua? Apa arti dari Quentiva? Temukan jawabannya dalam kisahku. Sebuah bahasa alam yang author ciptakan, Sien Lingurna, khusus untuk cerita fantasy ini.

TR_Sue · Fantaisie
Pas assez d’évaluations
16 Chs

Beata Rusli

Bea dengan sabar duduk, menungguku untuk menenangkan diri. Gadis itu terlihat asyik bercanda dengan kedua hewan buas dan berguling di tanah tanpa beban.

Aku masih terpuruk lemas di bawah pohon, tak jauh dari mereka. Mencoba mengumpulkan keberanian dan kekuatan. Matahari mulai meredup. Bea bangkit dan memicingkan matanya ke arah timur.

"Mas Bian, kita harus segera pindahin jenazahnya. Bentar lagi malam. Nanti kalo ada yang ngambil selain kita, kasian almarhum tidak bisa disempurnakan," ujar Bea sembari berkacak pinggang.

Pikiranku langsung tertuju pada hewan buas saat Bea menyebut 'yang lain'.

"Kamu bisa nggak kasih tau mereka untuk tidak menyentuh jenazah itu, sebelum kita panggil papamu dan petugas yang lain?" tanyaku, Bea tersenyum dan melirik kedua hewan di sampingnya.

"Bukan mereka, Mas. Tetapi 'yang lain' selain kita berempat," sahutnya datar. Bulu kudukku meremang. Entah, mendadak merasa seperti ada yang mengawasi kami dari balik pepohonan yang rapat. Aku mengangguk gugup dan bangkit buru-buru.

Kulepas jaket dan kami pun masuk ke lubang pohon kembali. Dengan berhati-hati kami membungkus dan menaikkan mayat itu ke atas tubuh banteng yang Bea namakan Balu.

Gadis itu tampak cekatan mengikat jenazah di tubuh Balu dengar sulur pepohonan. Dipilih beberapa tumbuhan semak yang mirip seperti tanaman herbal dan disisipkan ke tubuh jenazah. Kuamati dengan cermat.

"Yuk pulang," ajak Bea dan menepuk Argon penuh kasih.

Dengan setengah terpaksa, aku pun naik ke atas banteng sembari memegang mayat supaya tidak terjatuh. Bea dan Argon melesat memimpin perjalanan pulang kami.

Empat puluh menit berselang kami tiba di depan rumah. Pak Hartono, Ibu Jane juga Lido dan kedua staf setianya, keluar menyambut kami dengan penuh kecemasan.

Mulut Ibu Jane siap menyemprot anaknya. Sepertinya wanita itu menganggap Bea sudah gegabah mengajakku ke dalam petualangan yang sama sekali tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Namun pak Hartono segera menyentuh tangan istrinya untuk bertenang.

"Pur, Rudi, segera turunkan jenazah. Panggil staf lainnya untuk segera dibawa ke desa," perintah pak Hartono.

Mas Rudi dan Mas Pur tampak terbiasa dengan tugas seperti ini. Bea terlihat santai sambil mengelus Argon juga Balu serta mengajaknya berbicara dalam bahasa aneh yang tidak kumengerti.

"Dek Bian, bersihkan diri dan kami tunggu untuk makan malam. Ada yang ingin kami jelaskan," Pak Hartono menyudahi dan mengajak Bea untuk masuk.

Di kamar, Lido memaksa untuk segera bercerita. Aku hanya menyebutkan kronologinya dengan singkat. Pengalaman barusan sangat menguras tenaga dan pikiran.

"Loe gila! Gimana sih? Ngikutin ajakan gadis aneh itu tanpa mikir?" gerutu Lido dengan keki. Aku tersenyum.

"Nggak tau, Do. Gue juga nggak nyangka ini bakal kejadian. Tapi jujur, no regrets," tukasku dengan ringan. Lido menggelengkan kepalanya dengan heran dan tidak mengerti. Aku meninggalkan sahabatku yang masih tidak setuju atas apa yang aku lakukan.

Anehnya, aku sangat terpacu untuk mengulangi kejadian sore tadi. Adrenalin dan logikaku tidak sinkron. Jauh di lubuk hati, aku merasa, inilah yang seharusnya dilakukan.

Makan malam kali ini hanya kami berempat. Raut wajah ibu Jane terlihat gusar. Lain dengan Pak Hartono, beliau seperti hari sebelumnya tampak sangat tenang dan berwibawa. Aku tidak melihat Bea sama sekali. Mungkin gadis itu kelelahan, pikirku.

"Bersiaplah untuk semua yang akan kamu dengar malam ini." Sambil menyantap makan malam, Pak Hartono pun memulai kisahnya.

Alas Purwo merupakan hutan tertua di pulau Jawa yang terkenal dengan keangkerannya. Tahun 1987, Pak Hartono yang pada waktu itu baru menyandang gelar sarjana, ditugaskan di daerah Rawabendo sebagai staf penjaga hutan. Maraknya pencurian kayu dan perburuan liar di kawasan tersebut, memicu pemerintah untuk menjadikan Alas Purwo sebagai tempat wisata yang dikelola dengan penjagaan ketat.

Pak Hartono sebagai staf yang juga merintis kawasan ini menjadi destinasi yang bisa dikunjungi, akhirnya ditunjuk oleh Perhutani untuk mengepalai Taman Nasional Alas Purwo.

Tahun 1993 Taman Nasional Alas Purwo pun resmi dibuka untuk umum. Perjumpaannya dengan Jane Trevor, ahli biologi Australia yang melakukan penelitian mengenai jenis tumbuhan di Alas Purwo, berakhir dengan pernikahan.

Tahun 1994 lahirlah Beata Rusli. Ibu Jane menjalankan ritual seperti adat jawa pada umumnya. Mengubur ari-ari, selamatan dan membesarkan Bea sesuai adat istiadat setempat di rumah yang mereka huni sekarang.

Saat Bea berusia dua tahun, sebuah tragedi mengejutkan terjadi. Ketika kedua orang tuanya bekerja, Bea menghilang dalam pengawasan pengasuhnya. Pencarian pun dilakukan selama berhari-hari, tetapi Bea seperti raib ditelan bumi.

Di ujung keputusasaan, pada hari kelima, Bea kembali pulang diiringi sekawanan hewan liar dengan berbagai jenis. Gadis itu kembali dalam keadaan utuh tanpa kurang suatu apa pun.

Jane memeluk putrinya dan merasa heran atas apa yang terjadi pada Bea. Lima hari putrinya raib, kini kembali dan terlihat segar bugar, tanpa kurang satu apa pun. Apakah para satwa tersebut yang merawat putrinya?

Sebagai manusia yang berpikiran modern, ibu Jane tidak berpikir mencari jawaban lebih dari yang mereka duga. Tetapi, kejadian itu terulang kembali beberapa kali.

Bea selalu dijemput Argon dan Balu untuk kemudian membawanya ke dalam hutan, terus menerus, hampir setiap hari.

Risaunya hati seorang Ibu, Jane mengikuti mereka dengan sembunyi- sembunyi. Alangkah terkejutnya wanita itu saat menyaksikan putrinya bercengkerama dengan seluruh satwa dan sebuah pohon tua!

Betul, sebuah pohon tua layaknya makhluk yang bermata, berhidung dan bermulut seperti manusia, sedang berkisah dengan Bea.

Kehadiran Jane tentu saja akhirnya diketahui oleh mereka. Sang Pohon, yang baru diketahui kemudian sebagai salah satu peri yang menjaga Alas Purwo, mengundang Jane dan menjelaskan siapa Beata bagi mereka.

"Kenyataan ini seperti kisah dongeng produksi Disney. Putri kami diasuh dan diminta oleh peri hutan sebagai penjaga mereka." Pak Hartono mengakhiri penjelasannya.

Aku dan Lido seperti kehilangan kata-kata.

"Bagi saya, itu suatu kehormatan," Ibu Jane menambahkan sembari membereskan piring di meja.

"Walaupun awalnya sulit menerima dengan nalar dan akal sehat. But it happened," lanjut wanita asing itu dengan raut pasrah.

"Apakah ada hubungan dengan kejadian supranatural? Maksud saya, tugas Bea?" tanyaku dengan makin penasaran.

"Kenapa? Karena berita keangkeran Alas Purwo?" Pak Hartono balik bertanya. Aku mengangguk tersipu.

"Pasti. Semua ada kaitannya. Tetapi yang Bea emban lebih pada menjaga makhluk dan benda yang berada di alam ini. Urusan makhluk dimensi lain ada penjaga tersendiri," sahut Pak Hartono. Bea muncul dan duduk di sebelah ibunya.

"Aku suka menjadi bagian dari mereka, walau tidak bisa pergi selamanya dari Alas ini. Tapi aku menyukainya, its fun," seru Bea antusias.

Pak Hartono mengelus kepala Bea dengan penuh kasih sayang.

"Bagaimana dengan pendidikannya, Pak?" tanya Lido menyelidik.

"Wah jangan ditanya, deh. Bea menguasai empat bahasa. Perancis, German, Inggris, dan Latin, di luar bahasa Jawa dan bahasa Indonesia tentunya," jawab pak Hartono sambal tertawa.

"Matematika, Fisika, Pengetahuan umum, boleh dilakukan tes Pak Sarjana," gurau Ibu Jane.

Aku mengangguk dan tersenyum. Lido masih tampak penasaran, tapi kucubit tangannya untuk segera membantu membereskan makan malam.

Malam beranjak ke pukul sebelas. Setelah selesai membantu membersihkan meja dan mencuci piring, kulihat Bea menyapu lantai dengan cekatan. Ibu Jane sepertinya mendidik Bea dengan baik dan tegas. Bea tidak pernah risih melakukan pekerjaan rumah, bahkan membantu ibunya mencuci piring. Semua ia kerjakan dengan hati ringan.

"Aku tidak tahu kamu pandai merapikan rumah," ucapku berusaha mencari bahan obrolan dengannya. Bea mengikat rambut panjangnya ke atas.

"Aku juga nggak tau kalo Mas Bian pinter cuci piring," balasnya dengan wajah jahil. Kini aku yang tersipu. Sial, kenapa justru aku yang terjebak dengan topikku sendiri?

"Bian! Bisa main gitar nggak?" seru Pak Hartono dari arah teras. Aku bersyukur karena bisa menghindar dari suasana yang membuatku salah tingkah.

"Bisa, Pak!" jawabku dan bergegas menghampiri mereka. Lido langsung menodongku dengan lagu kesukaannya dan Pak Hartono mendukung dengan antusias. Denting gitar mengalun dan suaraku mengisi malam yang sunyi.

Tomorrow's near, never I felt this way

Tomorrow, how empty it'll be that day

It tastes a bitter, obvious to tears to dried

To know that you're my only light

I love you, oh I need you

Oh, yes I do

Don't sleep away this night my baby

Please stay with me at least 'till dawn

It hurts to know another hour has gone by

And every minute is worthwhile

Oh, I love you

How many lonely days are there waiting for me

How many seasons will flow over me

'till the motions make my tears run dry

At the moments I should cry

For I love you, oh I need you

Oh, yes I do

Bea menatapku dari ujung sofa dengan pandangan terpana. Aku menunduk dan tidak sanggup menahan debar halus yang terasa menyenangkan.

♧♧♧

Bersambung...

Iiih.... Kenapa ya kok Bea ngajak Bian teruuus... penasaran kan? Sama!

Stay tune dan pantengin terus yaaaa....

Semoga berkenan.