webnovel

The Guardian of Alas Purwo

Ramalan apakah yang membuat pemuda bernama Bian harus mendampingi Beata sebagai Quentiva? Beata Rusli, seorang gadis remaja yang memiliki kemampuan berbicara dan mengendalikan satwa Alas Purwo. Tapi bukan hanya itu, Beata juga menjadi pelindung pulau Jawa dari ancaman kerusakan alam dan gempa! Mampukah Beata Rusli menghentikan Pulau Jawa untuk tidak terbelah menjadi dua? Apa arti dari Quentiva? Temukan jawabannya dalam kisahku. Sebuah bahasa alam yang author ciptakan, Sien Lingurna, khusus untuk cerita fantasy ini.

TR_Sue · Fantaisie
Pas assez d’évaluations
16 Chs

Astral Guardian

Pak Hartono melempar rokoknya di meja. Mas Pur duduk menggelosor di tangga. Ibu Jane dengan sabar menunggu di kursi ujung dengan Andin. Asisten rumah tangga Ibu Jane, Esti, keluar membawa minuman dan camilan.

"Siapa yang mau mulai?" kata Bu Jane sambil melipat kakinya.

"Srikandi Majapahit menampakkan diri, Bu. Ini berarti konflik yang akan terjadi tidak sepele. Ini hanya terjadi dua kali selama kita di sini. Aku takut efeknya akan seperti amarah di hutan Kalimantan," sahut suaminya resah.

"Besok kami akan mengunjungi utara untuk mengambil contoh beberapa tanaman disana. Andin akan pergi bersamaku, kami akan pantau." Bu Jane menyeruput tehnya dengan nikmat.

"Semalam Bea pulang diikuti oleh beberapa jin yang meminta untuk diijinkan pindah kawasan, Bea bilang ini sudah yang kedua kali," Andin ikut buka suara.

"Pindah? Ini makin aneh. Nggak ada yang namanya pindah kawasan. Apalagi Jin. Bukan otoritas Bea. Tp kenapa sampe dia minta pertolongan anakku?" Pak Hartono terlihat semakin gusar.

Aku menatap Andin, ada sinar aneh yang menyelubungi gadis itu. Sinar putih hangat membungkus seluruh tubuhnya.

"Ndin, kamu bisa melihat mereka?" desisku bertanya. Andin membalas tatapanku dengan mata melotot.

"Kenapa baru tau?! Udah tau tugas Loe malah kabur," gerutunya kesal. Ibu Jane menepuk tangan Andin menenangkan.

"Saya tau dilema Bian, perasaan takut akan sesuatu yang selama ini menjadi pertanyaan besar, ternyata itu semua nyata." Mata Pak Hartono menerawang.

"Mental kita yang belum siap. Otak terlalu berfikir logika, sulit untuk mengiyakan." Mas Pur menambahkan.

"Lido sempat saya kirim ke daerah selatan untuk belajar ekosistem penyu, tapi balik-balik malah katanya kesasar padahal bertiga sama Jun dan Ali," lanjut Mas Pur,

"Jun sama Ali bisa nyasar?" tanya Pak Hartono terlihat heran. Mas Pur mengangguk kemudian geleng-geleng.

"Pak Har, selama Bapak bertugas, apakah tidak pernah bertemu hal seperti tadi?" tanyaku menyelidik.

"Langsung seperti tadi tidak pernah. Selama ini yang berkomunikasi adalah juru kunci yang menjaga masing-masing tempat. Kebanyakan Bea yang menangani. Kami hanya pelaksana. Kejadian ganjil banyak, tapi hanya penampakan mahkluk astral. Bukan penjaga agung seperti tadi," terang Pak Hartono menjelaskan secara rinci.

"Andin pasti bisa bantu liat apa yang terjadi di sana. Tapi apa yang memicu konflik sebenernya?"

Kami termenung. Ucapan Ibu Jane barusan menambah daftar cerna otakku.

Andin adalah sahabatku dari kecil. Ibunya adalah sahabat mendiang bapakku. Kami selalu bersama, baik di sekolah maupun di rumah.

Tapi kemampuan sixth sense-nya tidak pernah kuketahui. Bagiku, Andin adalah cewek tomboy yang pecicilan dan selalu memprotesku karena terlalu serius. Raja kutub utara itu panggilannya padaku. Karena dingin dan cuek. Bukan tidak tertarik pada kaum hawa, tapi tidak percaya dirilah yang membuatku memilih untuk pasif.

Ambisiku selama ini adalah ingin mencegah tumbuhan dan hewan menjadi punah. Karena dengan tehnik regenerasi buatan, berbekal DNA bisa menghadirkan kembali dan mencegah punahnya spesies tersebut. Mimpi itu yang mendorongku mengambil jurusan Bioteknologi, dimana Andin juga ikutan latah mengambil jurusan yang sama.

"Ok, bentar lagi makan malam. Kita lanjutkan diskusi setelah makan malam," pungkas Pak Hartono beranjak pergi.

Aku menarik tangan Andin ke bawah.

"Ibu yang nyuruh kamu ke sini?" tuduhku, Andin mencibir.

"Ge-er, Ibu Jane yang ngundang gue duluan sebelum kalian. Tapi berhubung Loe kabur setelah resepsi nikah mbak Tina, gue yang kebagian ngurusin ucapan terima kasih ketamu semua. Resek banget sih, nyusahin!" bentaknya sewot.

"Mana gue tau, kan hari pertama kerja sehari setelah resepsi, masak gue bolos," kelitku.

"Alasan! Loe nggak mau ketemu sama keluarga bokap kan? Kenapa? Kalo Loe nurutin dari dulu nasehat emak gue, nggak bakal sekarang terpingsan-pingsan ngalamin yang sekarang!" Andin cukup emosional mengucapkan kalimat terakhirnya.

Ingatanku kembali ketujuh tahun lalu.

Tante Lies, ibunya Andin, sempat meminta Ibuku untuk menyerahkan aku pada keluarga bapak. Alasan yang hingga sekarang tidak kuketahui.

"Emang alasan apa gue harus tinggal di Banyuwangi? Tiap tahun lebaran juga kesitu kok. Nggak pernah enggak. Tapi nggak ada tuh omongan apa-apa."

"Gimana mau ngomong, Tante Ira nempel mulu sama Loe. Bi, gue bukannya nggak suka sama nyokap Loe, tapi dia selalu mengingkari kenyataan bahwa Loe warisin bakat keturunan Om Wisnu, bokap Loe. Bahkan sampe hipnotis Loe buat ngelupain semuanya," ucap Andin kemudian menunduk gelisah. Ia terlihat menyesal telah mengucapkan kalimat terakhirnya.

"Jadi maksudnya, gue punya indera keenam?" kali ini aku yang terdengar konyol.

"Dan nyokap hipnoterapi gue supaya nggak pernah inget itu semua?" aku ingin semua terkuak.

"Yes for all," sahutnya mantap.

Terangkat semua selubung tentangku.

"Tante Ir anggep keluarga bokap Loe musyrik. Dukun semua. Padahal menolong, menjaga alam dan seisinya dengan kemampuan yang diberikan Allah adalah amanah," jawab Andin menyentuh lenganku.

"Bi, loe dah gue anggep sodara sendiri. Kita berdua ini kembar dempet istilah emak gue, nggak bisa kepisah! Gue ke sini karena nyokap bilang Loe perlu dibimbing. Ada tugas yang mesti dirampungin. Pertama gue pikir suruh ngawasin Loe kerja. Setelah ngobrol sama Bea, baru tahu semuanya."

Aku tertawa saat mendengar Andin menyebut 'kembar dempet'. Kupeluk sahabatku erat-erat.

Andin protes dan melepas pelukanku.

"Ntar kalo gue kawin, kita bangun rumah sebelahan ya.., biar gue bisa ngawasin Loe terus." Tidak kujawab pertanyaannya. Aku kembali memeluk Andin. Janjiku, selamanya akan kujaga dia.

Ibu Jane menata toples biskuit di meja. Pak Hartono menyeruput kopi tubruknya dengan nikmat.

Mas Rudi baru saja tiba dan langsung bergabung duduk dengan Mas Pur di ujung teras. Lido menyenggolku dan memberi tanda ke bawah.

Bea kembali dengan baju kotor berlumuran lumpur. Sudah dua hari dia tidak pulang. Rambut ikal panjangnya terlihat kusut dan basah. Celana panjangnya pun robek di lutut.

Andin langsung bangun dan melambai mengajaknya segera masuk.

Saat dia lewat, ada tatapan sendu ke arahku. Deg. Rasa tidak nyaman akan situasi ini menyeruak.

Satu jam kemudian kemudian Bea dan Andin keluar. Ibu Jane tersenyum dan menggeser tempat duduknya.

Bea terlihat anggun dengan dress putih krem lurus panjang berlengan tiga perempat. Rambut ikalnya yang tergerai menambah pesonanya.

Sayang, gadis secantik dia harus memikul tanggung jawab yang berat. Perasaan yang kumiliki pun mungkin bukan romantisme ala remaja, entah apa, yang pasti bukan jatuh cinta.

Duh Bian, normalkah aku?

"Bea, ada kabar terakhir?" tanya Pak Hartono, Bea mengangguk.

"Beberapa penghuni mulai resah, entah apa motivasi nelayan itu. Pantai sepanjang teluk Banyubiru dibabat habis, ada yang mengatakan untuk pengolahan mutiara. Tapi harusnya ada ijin dari kita. Nelayan itu semua pendatang dari barat," sahut Bea mengibaskan rambutnya dengan anggun.

"Besok papa kirim petugas ke sana. Terus kenapa penghuni disana minta pindah?"

"Ada yang mengadakan rukyah, mereka tidak nyaman," jawab Bea sendu.

"Astagfirullah ... 'kan mereka nggak ganggu? Kenapa diusir?" teriak Pak Hartono penuh emosi. Bea mengeleng lemah.

"Pur, kirim besok pagi-pagi petugas kesana. Bawa aparat desa dan polisi sekalian, jadi kalo bukan penduduk sini, biar segera di atasi," perintah Pak Hartono geram. Mas Pur mengangguk.

"Ya sudah, berarti pemicu resahnya penghuni di sana sudah diketemukan. Kita bisa lanjut beraktivitas." Diskusi malam itu berakhir.

Bea kembali menatapku, tapi kali ini tajam. Aku menghindar. Kusibukkan diri membaca daftar tugas besok.

"Du avortis zutir, en duize y troitsu vollui," gerakanku membeku. Bea menujukan kalimat itu untukku. (kamu menghindari takdir, dan aku yang nanggung semuanya)

Andin terkesima, mulutnya menganga,

"Indah sekali bahasa itu ... Masya Allah," seru Andin tertahan.

Batinku masih menimbang, harusnya tidak malam ini. Tapi aku tidak tega.

"Konstina duize Bea. Vui ...." Aku bangun dan tanganku terjulur kepadanya. (Maafkan aku Bea, mari) Andin dan Lido bergantian memandang kami.

Bea membuka mulutnya tidak percaya, pelan namun pasti dia berjalan ke arahku dan mengenggam jemariku.

Senyumnya melebar dan dengan sekali sentakan dia menarikku ke bawah, berlari menuju hutan sambil bersiul nyaring. Sial, aku lupa betapa perkasanya dia, haha.

Argon mengaum, Balu melenguh dan mendengus dari kejauhan. Derap kaki mereka makin mendekat. Kicauan burung mendadak bersahut sahutan dan harumnya sari bunga semerbak di udara.

Kami berdiri dan saling memandang penuh semangat. Alas Purwo, kami siap untukmu!

Kami menerjang malam laksana angin yang menyelinap disela-sela pepohonan.

Balu terlihat sangat berbeda, tubuhnya lebih besar dari yang terakhir kulihat. Kini ukuran Balu setara dengan Argon. Gagah dan perkasa.

Argon memelankan langkahnya, dan aku baru sadar kami berada di tengah hutan belantara.

Pepohonan tampak lebih besar. Cabang dan rantingnya rapat menutupi langit. Pekat dan gelap. Tapi ketakutan yang dulu sempat kurasakan tidak ada lagi.

Bea dan Argon berhenti di depan sebuah pohon yang paling besar di antara lainnya. Dia turun dan bersenandung. Sinar redup mulai terlihat di mana-mana, makin lama makin banyak dan bersinar terang.

Baru jelas terlihat satu persatu wujud makhluk astral dengan berbagai macam bentuk berdiri di segala penjuru. Bentuk muka mereka banyak yang terbalik dan tidak proporsional.

Kutekan rasa ngeri dan takut yang mulai menyelinap.

"Kanjeng Ibu Gayatri dalem sowan," Bea berseru sambil bersimpuh. Aku mengikuti.

Dari balik mahkluk besar berbulu, muncul seorang gadis cantik berkemben dan berjarit jawa. Sanggulnya sederhana tapi mahkota dan selendang emasnya menunjukkan dia bukan makhluk sembarangan.

"Beata, sliramu sowan nggowo bathir," (Beata, dirimu datang membawa teman) sambut wanita itu dengan hangat.

Beata berdiri dan mengangguk. Kembali dengan kikuk aku mengikutinya tanpa berani mengangkat muka sedikit pun.

"Meniko, Biantara Sudrajat. Putro saking tanah njawi, trah tumirah prajurit Mataram. Badhe nyuwun pangestu anggene nglampahi penggawean njagi Alas Purwo," ucap Beata mengucapkan dengan penuh tata krama. Wanita yang bernama Gayatri itu menundukkan kepala dalam-dalam.

"Restuku ndereki sliramu kabeh. Maturnuwun wes njogo Alas iki seko wetan tekan kulon, seko lor dumugi kidul," sambut Gayatri. Wanita itu kemudian berlalu seraya menyibak selendangnya dengan gemulai. Serentak makhluk yang hadir turut membungkukkan tubuh mereka dan satu persatu melesat pergi.

Bea menghela napas lega.

"Kita pulang," bisik Beata.

♧♧♧

Bersambung