webnovel

Part 1 - Ayah untuk Rani

Cahaya matahari siang menembus kaca etalase salah satu resto ternama yang terletak di pusat kota. Air conditioner membantu melindungi para pengunjung Resto dari panasnya matahari siang.

Dira namanya, wanita itu mengetuk-ngetukan jari telunjuknya pada meja resto yang sedang ia kunjungi hingga menciptakan bunyi tuk-tuk-tuk. Matanya menatap tajam pada sosok gadis kecil yang duduk tepat di hadapannya. Mahasiswi semester akhir itu sedang terlibat perang dingin dengan sang putri kecil.

Tunggu, Dira punya putri kecil? Anak maksudnya? Bukannya ia masih seorang mahasiswi? Bagaimana bisa dia punya seorang anak? Ya, ya, ya tahan dulu semua pertanyaan itu.

"Kamu gak mau nurut sama, Bunda?!" omelnya.

"Makan sayurnya!" tegas Dira. Ia menyodorkan benda berwarna hijau ke piring putri kecil kesayangannya.

"Rani gak mau makan makanan kambing, Bunda."

"Ini sayur bukan makanan kambing." Dira mengoreksi kalimat putrinya.

Rani. Bocah cantik yang beberapa bulan lagi akan genap berusia lima tahun. Rani menggeleng menjawab pertanyaan sang ibu. "Itu rumput, Bunda."

Dira mengembuskan napas kesal. Bibir merah muda miliknya mengerucut sebal. Oh lihat, ekspresi Dira justru terlihat lebih kekanakan dibandingkan Rani. Berdebat dengan anak kecil lebih sulit daripada saat Dira melakukan debat di kampusnya saat presentasi.

Dira harus menyiapkan kesabaran ekstra. Rani bukan orang dewasa yang akan mudah paham jika dijelaskan dengan kalimat yang tidak sederhana.

"Rani sayang, makanan ini bukan rumput. Ini bayam, BAYAM. Makanan yang bisa buat kamu strong, kayak Popaye," jelas Dira halus. Tangannya bergerak meletakkan bayam pada piring nasi goreng milik Rani.

"Rani mau makan. Asal Bunda mau jawab pertanyaan Rani." Dasar gadis kecil nakal! Masih kecil sudah pandai buat penawaran.

Dira memutar bola matanya jengah. Anaknya ini sangat merepotkan. "Well, selama Bunda bisa jawab, Bunda bakal jawab pertanyaan Rani."

Rani tersenyum lebar. "Ayah Rani di mana, Bunda?"

Deg.

Jantung Dira berdenyut. Ia menelan ludah dengan susah payah. Pertanyaan Rani lebih sulit dibandingkan mengerjakan tugas kuliah mengenai kertas kerja, Akuntansi. Dimana kita harus mendapatkan hasil yang sama antara debet dan kredit pada kolom laba-rugi dan neraca. Jika hasilnya tidak balance berarti perhitungan kita kemungkinan besar salah. Oke, lupakan ini. Ini cerita mengenai kehidupan Dira, bukan soal Akuntansi. Pertanyaan Rani tidak ada hubungannya sama sekali dengan kertas kerja atau apa pun itu.

"Bunda, ayah Rani di mana? Ayo dijawab!" rajuk Rani yang mampu membuyarkan segala pikiran Dira mengenai soal Akuntansi tugas kuliahnya. Dira bingung sendiri. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali.

"Ayah Rani ... ayah dimana, ya? Ayah kamu di-di," Dira kehilangan kata-kata.

Mungkin bagi ibu lain menjawab pertanyaan anaknya mengenai ayah adalah perkara mudah. Tapi tidak untuk Dira. Dimana Ayah Rani berada ia sama sekali tidak mengetahuinya, karena sebenarnya Rani bukanlah putri kandung Dira.

Gadis kecil itu hadir dalam hidup Dira karena sebuah musibah. Rani adalah salah satu korban kebakaran yang terjadi dua tahun silam di kawasan padat penduduk di salah satu sudut kota Jakarta. Jasad kedua orangtua Rani hangus bersama dengan harta benda mereka. Dira yang kebetulan kos tidak jauh dari lokasi kejadian, saat itu pergi melihat ke TKP dengan tingkat keingintahuan yang tinggi. Ketika itu Dira berkeliling di sekitar lokasi setelah api berhasil dipadamkan.

Rani yang kala itu menangis disudut gang menarik perhatian Dira. Dan pertemuan antara Dira dengan gadis kecil berusia dua tahun tersebut tidak dapat dihindari. Takdir sebagai Ibu dan anak tidak dapat mereka elakkan.

"Ayah di mana, Bunda?" Rani kembali mendesak Dira.

"Ayah Rani ... Ayah Rani ada di mana-mana. Ya, Ayah Rani ada di mana-mana."

Mulut Rani terbuka lebar mendengar jawaban dari perempuan yang ia panggil Bunda. "Ayah Didit ada di kantor. Ayahnya Sania ada di luar kota. Masa iya Ayah Rani ada di mana-mana," sungut Rani tidak jelas. Walau masih bocah ia tahu kalau Bundanya itu sedang berbohong.

"Dengar sayang, Ayah Rani ada di mana-mana maksudnya dia ada di depan Rani, di belakang Rani, di samping Rani, dan di hati Rani." Hebat sekali keahlian mengarang seorang Dira.

"Terus, Ayah Rani itu seperti apa Bunda?"

Dira menyesap jus jeruk miliknya untuk menenangkan diri. Ia membasahi tenggorokannya dengan minuman segar itu. Ahh, Dira butuh kebohongan lain untuk menjawab pertanyaan Rani.

"Ayah Rani ... itu seorang laki-laki." Huuuuh Dira bodoh. Memangnya pernah seorang Ayah itu perempuan?

"Lalu?" Rani semakin ingin tahu.

"Dia sangat tampan." Ini jawaban yang tidak spesifik.

"Tampan?" Ulang Rani.

"Hmmm ... Dia punya hidung yang mancung." Ini salah satu kriteria cowok idaman Dira.

"Waw."

"Dia punya kulit yang gak terlalu cokelat." Kebohongan Dira semakin panjang.

"Tampan, hidung mancung, kulit yang gak coklat. Terus apa lagi, Bunda?"

Dira semakin memeras otaknya untuk berbohong. "Ayah Rani ... mirip orang bule." Untuk kebohongan yang satu ini Dira membayangkan wajah salah satu personil One Direction.

"Bule, Bunda? Rambut Ayah Rani warna-warni dong."

"Rambutnya hitam sayang. Wajahnya saja yang western," jelas Dira. Apa penjelasan Dira terlalu sulit dimengerti?

"Welen itu apa, Bunda?"

"Western sayang, bukan welen," Dira mengkoreksi ucapan anaknya. "Ahh sudahlah, Bunda jelaskan Rani juga gak akan ngerti. Yang pasti orang-orang western itu punya mata biru."

Rani mengangguk sok paham. Otak kecilnya sedang memproses semua penjelasan dari Dira. Ayahnya seorang laki-laki, tampan, hidungnya mancung, dan yang paling penting Ayahnya mirip kayak orang we ... we ... we apa tadi ya? Ah, yang pasti Ayahnya mirip orang bule.

"Sekarang habiskan makanan Rani, Bunda kan udah jawab semua pertanyaan kamu. Makan juga sayurnya.” Dira mengangsur sayur yang ada di piringnya pada piring Rani. Dengan tatapan mata tegas ia memerintah putri itu. Hari ini putrinya itu terlalu banyak tanya.

"Bunda, Ayah Ra-"

"Makan Rani!" potong Dira tegas. Ayolah, dia nggak mau sakit kepala karena pertanyaan Rani yang bikin pusing tujuh keliling.

"Bunda ..."

"Makan Rani!"

"Ini Rani makan." Rani dengan cepat meraih sendok dengan tangan kecilnya. Wajah perempuan yang ia panggil Bunda berubah menjadi menyeramkan membuatnya tidak berani lagi membantah.

"Rani, Bunda ke toilet sebentar. Tetap di sini dan jangan pergi kemana-mana," seru Dira tegas dan dibalas anggukan patuh oleh Rani.

Dira bangun dari duduknya dan mulai melangkah menuju ke toilet. Dira butuh air untuk membasuh wajahnya agar terlihat lebih segar.

~000~

Sesuai perintah sang Ibu. Rani menunggu Dira kembali dari toilet dalam diam. Sendokan terakhir nasi gorengnya sudah ia nikmati beberapa menit yang lalu. Jus jeruk miliknya juga sudah habis. Jadi inilah Rani sekarang, duduk manis menunggu ibunya.

Mata Rani bergerak menelusuri setiap sudut resto dengan tatapan tanpa minat. Hanya ada beberapa pengunjung dan para pramusaji yang sibuk dengan urusan masing-masing. Tidak ada yang menarik.

Di sudut resto ada pasangan yang sedang pacaran. Dua meja dari tempat Rani duduk ada sebuah keluarga kecil yang terdiri dari anak, ibu, dan ayah. Rani iri melihat keluarga bahagia itu.

"Rani juga mau punya Ayah," tutur Rani sedih. Kemudian ia kembali menelusuri sudut Resto tersebut dengan mata kecilnya.

Pandangan Rani terkunci pada seseorang laki-laki yang baru memasuki resto, seorang lelaki dewasa. Rani memandang dalam laki-laki yang mungkin berusia dua puluh lima tahunan. Lelaki itu tampan, hidungnya mancung, kulitnya tidak begitu coklat, rambut hitamnya dengan jambul kekinian, dan matanya biru mirip orang western.

Eiits, tunggu dulu? Welen eh bukan, Western? Orang bule maksudnya? Mata biru? Bukannya itu ... "Dia Ayah Rani," gumam gadis kecil itu dengan mata berbinar.

"Itu Ayah Rani," serunya bahagia.

Rani terus memperhatikan gerak-gerik laki-laki itu. Objek yang sedang diperhatikannya mengambil kursi dekat etalase. Laki-laki itu sibuk dengan ponselnya. Ia tidak menyadari tatapan intens dari Rani padanya.

"Ayah," pekik Rani bahagia. Detik berikutnya, ia turun dari kursinya dan berlari menuju laki-laki itu.

"Ayaaah," Rani kembali memekik sambil memeluk kaki laki-laki tersebut.

"Hei!" Laki-laki itu memekik terkejut. Matanya melebar menatap pada Rani yang memeluk kakinya. Bahkan ponsel yang ia genggam terlepas dan jatuh di atas meja resto.

"Ayaaah!" Seru Rani bahagia.

"A ... Ayah? Siapa yang kamu panggil Ayah, bocah kecil? Aku bukan Ayahmu." Laki-laki tersebut mencoba melepaskan pelukan Rani di kakinya yang panjang. Namun naas, Rani justru semakin mengeratkan pelukannya.

"Bu ... bukan. Gue bukan Ayahnya," laki-laki itu melapor pada seluruh pelanggan resto yang memandangnya dengan tatapan curiga.

"Gue gak kenal bocah ini," tunjuknya pada Rani

"Ayah, ke mana aja? Rani kangen," gumam Rani sumringah. Ia mendongakan kepalanya dan melihat laki-laki yang ia panggil Ayah dengan mata berbinar tanpa dosa khas anak kecil.

"Lepas." Kaki itu berontak agar terbebas dari pelukan Rani.

"Ayah."

"Aku bukan Ayahmu. Nikah aja belum."

"Ayah."

"Bukan!"

"Ayah, Ayah, Ayah!"

"Bukan. Demi Tuhan, dasar bocah!" ujar laki-laki itu frustasi.

"Woi, anak siapa ini?!" Tanya laki-laki itu pada seluruh pelanggan resto, namun tidak ada yang menyahut.

"Ayah ke mana aja? Rani kangen."

"APA?! A-A-AYAH?!" Teriakan kuat seorang perempuan menarik perhatian Rani dan laki-laki yang ia panggil Ayah. Kini fokus semua orang beralih pada perempuan yang baru datang itu.

"Bayu, dia anak lo?!"

Laki-laki yang dipanggil Bayu dengan cepat menggeleng. Ia mengibas-ngibaskan tangannya, "Bu-bukan dia bukan anak gue."

"Jangan bohong sama Kakak, Bay," Perempuan yang ternyata adalah kakaknya Bayu melotot sinis pada sang adik. Ia menuntut kejujuran agar adiknya itu mengatakan yang sebenarnya.

"Gue gak bohong, Kak. Gue gak kenal sama bocah ini." Bayu dengan kasar melepaskan pelukan Rani di kakinya. Membuat gadis kecil itu sedikit terhuyung dan hampir terjatuh.

"Ayaaah." Rani memandang Bayu dengan tatapan sayu. Air matanya mulai menggenang atas penolakkan 'ayahnya'. Ya, setidaknya laki-laki itu adalah ayah di mata Rani. Dan tangisan pun mulai terdengar dari bibir Rani.

"Ayah ..." Rani sudah berurai air mata dengan tangisan cempreng.

"Ayah ... Ayah."

"Rani," suara halus milik Dira mengudara. Ia segera berlari menghampiri Rani yang menangis sesenggukan. Kini, seluruh perhatian pengunjung resto benar-benar tertuju pada mereka. Kapan lagi menyaksikan adegan sinetron secara langsung. Tiap pasang mata yang ada di sana tidak ingin melewatkannya.

"Rani, kenapa nangis? Ayo cerita sama Bunda, sayang. Kenapa, hmmm?" tanya Dira halus. Ia menekuk lututnya untuk mensejajarkan tinggi badannya dengan Rani.

"A ... Ayah. Bunda, Ayah." Rani menunjuk-nunjuk lelaki yang ia panggil Ayah dengan jari telunjuk kecilnya. Dira menoleh pada objek tersangka. Ah, Dira mengerti sekarang kenapa putri kecilnya menangis.

"Siapa yang dia maksud Ayah di sini, hah?!" Suara bariton milik Bayu naik satu oktaf. Bentakannya membuat suara tangisan Rani semakin kuat dan terdengar begitu ketakutan. Rani mengucek matanya halus sambil sesenggukan. Bibir kecilnya menggumamkan kata 'ayah' dengan sedih.

"Hei, lo!"

Merasa dipanggil, Dira mengalihkan pandangannya dari Rani pada Bayu. Matanya memandang Bayu tanpa ekspresi.

"Lo Ibu anak ini, kan?! Cepat bilang sama semua orang yang ada di sini terutama sama Kakak gue, kalau gue gak kenal sama kalian terutama bocah ini!" Bayu menunjuk Rani yang menangis.

Dira terdiam. Matanya terlihat gelisah. Ada satu gelojak dalam hatinya. Jujur dia bimbang. Rani, putri kecilnya begitu menginginkan dan mendambakan sosok seorang Ayah. Dan saat ini di hadapannya ada seorang lelaki tampan yang bisa menjadi Ayah bagi Rani. Tapi masalahnya lelaki itu bukanlah Ayah Rani.

"Ayah," Rani kembali bersuara di antara tangisannya.

"Ayo cepat jelaskan!" desak Bayu tidak sabaran.

Dira semakin bimbang. Dia memandang Rani dan lelaki yang bernama Bayu itu secara bergantian. Sungguh, Dira sangat tidak tega mendengar suara tangisan Rani yang terdengar pilu.

"Ayo bilang kalau anak ini bukan anak gue!" perintah Bayu tegas.

Mendadak suasana hening menantikan jawaban Dira.

"Bohong! Dia anakmu!" Oh Tuhan, maafkan Dira untuk kebohongannya yang kesekian kali hari ini. Dia kalah mendengar tangisan Rani.

"Apa?!" jerit Bayu tidak terima.

Dira memasang wajah menyedihkan. Sebisa mungkin ia membuat matanya berkaca-kaca dan segera meneteskan air mata. Dira harus sedikit berakting sekarang. "Dia anakmu. Cukup kebohonganmu selama ini! Aku sudah tidak tahan lagi menanggung ini sendirian. Demi Tuhan, dia anakmu!"

Bibir Bayu terbuka lebar dan hampir saja jatuh mendengar perjelasan Dira. Seketika wajahnya mengeras.

"Bayu, lo harus bawa cewek ini sama putri kalian ke rumah! Mama sama Papa harus tahu masalah ini. Sekarang ikut Kakak!"

Dan bibir Bayu benar-benar jatuh karena perintah kakaknya. Bagus, masalah ini sepertinya akan berakhir panjang.

~oOo~