webnovel

That Day 01

Ada banyak rasa, ketika lulus SMA. Tapi yang pasti lega, karena terlepas dari rutinitas dan bahagia dianggap dewasa. Mulai merajut mimpi, ingin kuliah apa? Dimana? Atau kerja. Yang lebih ekstrim, ingin istirahat berpikir. Adakah kalian yang berpikiran seperti itu? Apapun keputusan kalian, semoga tidak menyesalinya.

Penyesalan yang katanya datangnya belakangan, apakah harus terjadi? Banyak yang berpikir, maju dulu urusan belakangan. Apapun itu, kadang takdir tidak bisa memihak. Kita tidak tahu takdir seperti apa. Kalaupun menyesal, tetap harus dihadapi bukan?

Dua buah mobil melaju meninggalkan kota yang sibuk. Beberapa remaja yang beranjak dewasa di dalamnya. Tampak keceriaan di wajah mereka. Gembira karena berhasil lulus.

"Sriti, benar ini tempatnya?" tanya gadis cantik bernama Wilis.

"Iya, bagaimana?" jawab Sriti ceria.

Saat ini mereka telah tiba pada tempat yang di tuju. Sebuah vila di atas bukit, menyendiri dari vila-vila lainnya. Benar-benar diatas bukit, sehingga pemandangan begitu menakjubkan. Apalagi ketika senja seperti ini, romantis.

"Keren."

Suara Surya membuat kedua gadis itu menoleh. Mereka memang berdelapan. Empat laki-laki dan empat perempuan. Teman semenjak SMP dan berlanjut ke SMA yang sama.

"Ayo masuk!"

Sriti yang merupakan anak pemilik villa, berseru lantang ke teman-temannya. Ia telah membuka pintu lebar-lebar. Mereka akhirnya membawa barang-barang masuk.

Gerimis kecil mulai turun. Angin berembus lumayan dingin. Untunglah mereka telah berada di dalam vila. Kehangatan vila membuat kenyamanan tersendiri.

"Cowok diatas, cewek di bawah!" seru Sriti.

"Mau dong," ujar Purnama.

Surya, Bintang, Awan menoyor kepala Purnama. Dari keempat cowok itu, memang Purnama yang paling omes. Walau sebenarnya ia yang paling tidak laku. Bukan karena muka yang jelek, manis malah. Tapi prinsip dia baru mau pacaran setelah lulus. Apalagi melihat ibunya yang hanya sendiri mencari nafkah.

"Kenapa tidak dibagi dua? Dua cowok cewek diatas, sisanya di bawah, jadi saling menjaga," kata Awan bijak. Laki-laki pendiam dengan kaca mata itu berbicara. Selalu seperlunya, tepat pada intinya.

"Pengacara kita telah berbicara, deal ya?" tutur Bintang. Laki-laki humoris dan pecicilan itu menarik Mina ke arah tangga. Walau dapat perlawanan.

"Hei, siapa yang mau ke atas?" teriak Mina. Gadis tomboy itu meronta. Walau pada akhirnya kalah tenaga.

"Ingat ya! Antara cowok cewek pisah kamar!" teriak Sriti.

"Aku keatas nemenin Mina," ujar Pelangi. Gadis pendiam berkaca mata bulat itu berlalu. Ia berjalan menuju tangga, tiba-tiba gadis berponi dengan rambut pendek itu berjingkat.

"Aku bawakan!" ujar Awan pelan. Tanpa menunggu jawaban Mina, ia mengambil tas gadis itu. Berjalan terlebih dahulu tanpa bersuara lagi.

"Jadi kita di bawah Sriti?" tanya Purnama menaik turunkan alis.

"Kamu sama Surya di kamar itu, aku sama Wilis di kamar ini!" ujar Sriti tegas.

Terlihat kekecewaan Purnama dibuat-buat. Sriti hanya memutar mata malas. Kenapa mereka bisa berteman dengan laki-laki omes ini?

"Kamu jadi gerhana? Tidak jadi Purnama?" kekeh Surya. Pemuda tampan itu menarik teman yang super omes ke kamar satunya. Ia menggelengkan kepala melihat kelakuan tersebut.

"Sayangku Sriti, kalau nanti dingin, Abang bisa panaskan malam mu!" ujar Purnama tersenyum lebar. Sebelum menutup pintu, kepala laki-laki itu tersembul keluar. Tangan Surya lalu menarik kepalanya dan pintu menutup.

"Dasar bulan item! Astaga, omesnya sudah darurat," keluh Sriti kesal. Ia benar-benar selalu dibuat murka, menghadapi Purnama. Gombalan omesnya benar-benar membuat kepala gadis itu berasap.

"Item manis kali, Sriti," ucap Wilis mengulum senyum.

"Kamu mau?" ketus Sriti.

Wilis tersenyum manis. Ia kerap menggoda Sriti yang selalu merona. Tampaknya gombalan Purnama tepat sasaran, walau penerimanya sok kesal, sok marah.

"Kan Abang Item maunya dedek Sriti," ucap Wilis kalem.

"Kamu maunya Surya sih, ya?"

"Apaan sih?"

Wilis lalu menerobos masuk tanpa mengindahkan Sriti. Wajahnya panas, merah sampai telinga. Ia memang menyukai pemuda itu sejak SMP, tapi ia pendam. Hanya Sriti yang tahu kenyataan itu, karenanya ia akan digoda balik, bila menggoda temannya itu.

"Mukanya merah saudara-saudara."

Sriti dengan cepat menutup pintu dan mengejar Wilis. Ia berdiri tepat di depan temannya itu, sambil terus menggoda. Ia menarik turunkan alisnya, meminta perhatian.

Wilis berusaha tenang, walau hatinya menghangat. Mencintai dalam diam itu berat. Tapi ia selalu mengambil sisi positif dari perasaannya. Perasaan tidak bisa dipaksakan, bukan?

"Aku mandi duluan!" ucap Wilis cepat.

Setelah mengambil pakaian ganti, gadis itu berlalu ke kamar mandi. Tidak mengindahkan Sriti yang terus menggodanya. Ia lebih baik membersihkan diri, membiarkan temannya berbicara sendiri.

"Yah, malah kabur."

Teriakan Sriti tidak mendapat respon dari Wilis. Gadis itu telah menutup pintu. Sesaat kemudian bunyi air dari dalam kamar mandi terdengar.

Hari ini sebenarnya bertepatan dengan ulang tahun Sriti. Karena kesibukan orang tuanya, ia meminta teman-temannya menemani merayakannya. Tentu saja disanggupi semuanya, apalagi mereka lulus.

Sriti habis menerima telepon dari orang tuanya. Mengabari kalau ia dan teman-temannya telah sampai. Dan menerima permintaan maaf mereka, karena tidak bisa berkumpul bersama. Gadis itu berusaha ceria, walau sebenarnya ia ingin bersama keluarganya, siapa yang tidak?

"Sana! Mandi!"

Wilis sudah keluar dari kamar mandi. Sriti menengadahkan kepala dari ponselnya. Ia lalu kabur secepatnya ke kamar mandi, hanya membawa handuk. Temannya hanya menggeleng, karena ia lupa baju ganti.

Wilis secepatnya mengeluarkan kostum badutnya. Temannya semua akan memakainya untuk menghibur Sriti. Ia menghidupkan perekam di tempat tersembunyi. Ia menekan ponselnya ke mode senyap. Setelah memakai wig dan hidung merahnya, ia bersembunyi di lemari.

Lemari itu memanjang dan rata, hingga tidak terlihat, lebih menyerupai tembok. Wilis tersenyum di dalamnya. Teman-temannya sedang mengambil kue ulang tahun. Ia menggerutu dalam hati, kenapa harus berenam keluar?

Ia masih bisa melihat dari lubang kecil pintu lemari. Walau agak pengap, ia tetap semangat. Memberi kejutan ulang tahun buat temannya.

"Sepi!"

Suara asing membuat Wilis memicingkan mata. Ia melihat tiga orang pria memasuki kamar. Ia begitu panik sekarang.

"Siapa kalian?"

Sriti yang baru keluar kamar mandi terkejut. Melihat tiga pria asing ada di kamarnya. Apalagi ketiganya melihat tubuh yang hanya terbalut handuk itu, dengan tatapan aneh.

"Wah, sudah lama tidak melihat bidadari."

Seorang pria yang bertubuh gempal menyeringai. Ia menoleh ke arah kedua temannya. Mereka langsung menyerbu Sriti.

Sriti yang terkejut tidak siap untuk kabur. Kedua tangannya dicekal. Ia berusaha meronta namun sia-sia. Kedua orang itu menariknya ke arah ranjang.

"Lepas! Lepas!"

Teriakan Sriti tidak membuat kedua pria itu peduli. Keduanya malah tertawa-tawa membuat bulu kuduk berdiri. Tangisan pilu dengan lelehan air mata, tidak membuat pria-pria itu iba.

Sementara Wilis melihat semua dengan hati tercekat. Tubuhnya bergetar hebat. Ia membungkam mulutnya dengan kedua tangan.

Rapalan doanya untuk keselamatan sahabatnya, sepertinya sia-sia. Melihat Sriti yang hanya teriak, memohon dan menangis sedih, membuat kepalanya pening. Ia tidak mampu berbuat apa-apa.

Adegan kekerasan pemerkosaan, terpampang nyata di mata Wilis. Bagaimana sahabatnya ditampar, disiksa dan disetubuhi dengan brutal. Tawa biadab pelaku mengiringi tragedi miris itu.

Hingga semua menjadi sunyi. Pria-pria itu kabur setelah mendengar bunyi mobil. Keadaan di ruang itu hening namun penuh mencekam.