Bu Regina melangkah cepat ke meja yang di tempati Pak Ferdi dan Bu Alin.
"Regina, silakan duduk," ucap Bu Alin mempersilakan saat melihat kedatangan Regina.
"Ada apa, ini?" tanya Bu Regina panik sambil duduk di sofa, berhadapan dengan Pak Ferdi dan Bu Alin.
"Re, tolong jawab jujur, se ... jujur jujurnya," ucap Bu Alin membuka percakapan.
Bu Regina semakin bingung ada apa sebenarnya. Ia takut kalau orang tua Fira akan memutuskan secara sepihak hubungan cinta anak mereka. Terlebih Revan sudah sangat mencintai Fira.
"Revan, anak siapa? Apakah anak Radit?" tanya Bu Alin pelan.
Sementara Pak Ferdi hanya mendengarkan dengan seksama.
"Maksudnya apa, bertanya seperti itu?" Bu Regina balik bertanya. Ia heran kenapa harus membahas masa lalu.
"Kami harus tahu," jawab Pak Ferdi dengan suara baritonnya.
"Itu bukan urusan kalian, siapapun ayah Revan. Aku dan Mas Andi menyayangi Revan sebagai anak kami," jelas Bu Regina dengan suara sedikit naik.
"Bukan begitu maksud kami, Re. Tolong tenang dulu." Bu Alin berkata dengan pelan agar Bu Regina tenang.
Bu Regina menarik napas panjang, meredakan gejolak emosi dalam dadanya.
"Tolong langsung saja pada intinya, Mbak," ucap Bu Regina yang sudah mulai tenang.
"Saya mohon jawab dulu, Revan anak siapa?" tanya Bu Alin kekeuh.
"Ma—Mas Radit," jawab Bu Regina dengan terbata.
"Astaga!" kata Bu Alin dan Pak Ferdi berbarengan, mata mereka melotot, dan bibir menganga. Tak percaya dengan apa yang telah didengar.
"Jangan bercanda, Re!" hardik Pak Ferdi setengah berteriak.
Kemungkinan terburuk dalam hidupnya benar-benar terjadi. Fira akan tahu semuanya dan pernikahannya dengan Revan tak akan bisa terjadi.
"Aku sedang tidak bercanda! Ada ada apa ini sebenarnya?!" tanya Bu Regina yang sudah sangat penasaran bercampur kesal.
Pak Ferdi dan Bu Alin menarik napas panjang. Menguak masa lalu, akan sangat menyakitkan bagi mereka. Apalagi sekarang masa depan anak mereka akan tergadaikan.
"Pa, jelaskan!" titah Bu Alin pada suaminya.
"Aku bingung mesti dari mana memulainya," ujar Pak Ferdi dengan suara lemah.
Suasana hening, mereka semua membisu. Dari mana harus memulai cerita masa lalu.
"Dulu ...," Pak Ferdi hendak memulai menceritakan kisah itu.
"Ketika kami ke Singapura sebenarnya bukan untuk bisnis. Tapi ...." Suara Pak Ferdi tercekat di tenggorokan, berat untuk melanjutkan ceritanya.
"Tapi, apa?!" Bu Regina semakin mendesak, "Untuk apa kalian ke Singapura waktu itu!"
Bu Alin bergeming, mulutnya seakan terkunci untuk bicara yang sebenarnya. Air mata mulai membasahi pipi mulusnya.
Pemandangan suami-istri di depan Bu Regina ini semakin membuatnya penasaran. Ada apa sebenarnya, apa yang terjadi. Semua pertanyaan itu berputar di kepalanya.
"U—untuk melakukan prosedur medis donor benih." Pak Ferdi melanjutkan ucapannya dengan suara pelan.
"A—apa?! Kalian tahu itu ilegal di negara kita!" hardik Bu Regina. Ia tak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Iya, kami tahu. Makanya, kami melakukannya di Singapura dengan bantuan Radit," jawab Pak Ferdi.
Bu Regina menutup mulutnya dengan tangan. Tak percaya atau lebih tepatnya tak ingin percaya. Bahkan kalau boleh meminta ia akan memohon agar saat ini hanyalah mimpi dan bukan kenyataan.
Bu Regina bahkan mencubit tangannya, memastikan kalau ini bukan mimpi. Sakit, berarti yang ia alami adalah nyata.
"Jadi, bantuan apa? Apa yang Mas Radit lakukan untuk kalian!" bentak Bu Regina.
Ia tak kuasa menahan gejolak emosinya. Marah, sedih, kecewa, semuanya bercampur jadi satu. Andai saja ia tahu sejak awal, mungkin kejadiannya tak akan seperti ini. Ia akan memilih tetap tinggal di Singapura dan tak bertemu lagi keluarga Radit.
Apalagi harus bertemu dengan cara seperti ini. Akan menyakiti semua pihak termasuk dirinya dan Revan.
"Bantuan ... benih, Radit menjadi pendonor untuk kami." Pak Ferdi menjawab dengan suara berat.
"Berarti Revan dan Fira itu adik-kakak?! Begitu?!" Kali ini Bu Regina benar-benar berteriak.
Ia tak peduli dengan suara dan ekspresinya. Untungnya tempat merekaterhalang dinding kaca riben hitam. Tempat yang ditempati mereka memang VIP, terpisah dari meja lainnya dengan sekat kaca yang cukup tebal.
"Bisa dikatakan seperti itu," jawab Pak Ferdi pelan. Ia berusaha tak terpancing emosi, karena tahu ini berat untuk semua, termasuk untuk dirinya.
"Astaga ...." Bu Regina menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia menangis tersedu-sedu. Tak percaya semua ini menimpa dirinya dan Revan.
"Kenapa Mas Radit tak pernah menceritakannya, hingga kini Revan dan Fira saling mencintai ...." Bu Regina berkata di sela tangisnya dengan suara parau.
"Abang yang minta Radit merahasiakan ini dari siapapun, termasuk dari kamu, Re," Pak Ferdi menganganya dengan kepala menunduk.
Sepenuhnya ia merasa bahwa ini semua salahnya. Ia yang sejak awal memaksakan kehendak untuk melakukan prosedur medis tersebut. Bahkan sampai melakukannya di luar negeri. Ia juga yang meminta istri dan sepupunya, Radit terlibat. Juga meminta agar tak ada yang tahu selain mereka bertiga.
"Abang yang salah Re, Abang ...," lirih Pak Ferdi dengan air mata mengalir. Matanya pun terlihat begitu merah.
"Bagaimana ini ... bagaimana kita jelaskan ini pada Revan dan Fira?" gumam Bu Alin lirih sekali hampir tak terdengar.
Bu Regina menunduk menopang kepalanya dengan tangan kanan. Air mata begitu deras mengalir dari manik cokelat miliknya.
"A—aku sudah tak bisa berpikir, apa yang mesti aku lakukan dan bicarakan pada Revan," ucap Bu Regina dengan suara bergetar.
"Kami minta maaf, Re. Tak menyangka jika Revan itu anakmu. Kami tak mengetahui sejak kapan kau tinggal di Indonesia. Waktu di restoran itu, aku dan Mas Ferdi juga sangat kaget," tutur Bu Alin pelan.
"Keluarga Mas Radit memang tak pernah ingin tahu keberadaanku dan anak-anakku," gumam Bu Regina.
Pikirannya melayang pada kejadian 26 tahun silam.
Saat itu, Mas Radit pamit untuk pergi bekerja. Tak seperti biasanya, seperti ada sesuatu yang ingin ia katakan. Tapi, ia begitu terlihat ragu.
Bu Regina yang saat itu tengah hamil muda, dan baru tahu dua minggu sebelumnya kalau dirinya hamil, merasa penasaran. Tapi urung ia tanyakan.
"Aku pergi dulu ke kantor, Re. Nanti kamu jangan lepas silaturahmi, ya, dengan keluargaku di Indonesia apalagi sama Bang Ferdi. Ada hal besar yang belum kamu tahu," tutur Pak Radit saat hendak berangkat ke kantor.
Ucapan dan tingkahnya terlihat sangat berbeda. Bahkan sejak semalam ia terus meminta maaf pada Bu Regina. Takut selama jadi suaminya, ia tak becus mengurus keluarga.
"Mas, bicara apa, sih, ya, enggaklah. Kenapa juga mesti putus silaturahmi," ucap Bu Regina santai.
Meskipun begitu hatinya tak dapat dibohongi, ada hal yang tak seperti biasanya terjadi pada suaminya.
"Ya sudah, Mas, pergi dulu, aktifkan terus ponselmu, ya." Pak Radit mencium kening istrinya.