"Mungkin, kau pun sudah tahu sebelumnya, bahwa kalian berdua akan dijodohkan. Demi terhindar dari perjodohan itu, Elyana memutuskan untuk kabur dari rumah dengan meminta bantuan aku dan Arani. Ketika orang di rumahnya sudah tahu bahwa aku membantu Elyana melarikan diri, tidak hanya membuat aku terluka hingga harus dirawat di rumah sakit, juga membuat ayahku bangkrut. Begitu pun dengan Arani. Setiap hari, Arani didatangi orang suruhan keluarga Elyana, dan pada akhrinya, Arani pun menerima tindak kekerasan dari mereka hingga masuk rumah sakit karena tidak mampu membuat Elyana kembali pulang ke rumahnya. Itulah alasan mengapa saat ini aku ingin Elyana menjauh dari kami. Aku tidak ingin hal buruk terjadi lagi pada kami jika masih dekat dengan Elyana," jelas Daniel dengan perasaan berat.
Sebenarnya, ia pun tidak ingin memutus persahabatan mereka karena hal ini. Karena kedekatan mereka, lebih dari sekedar persahabatan. Bisa dibilang mereka adalah saudara yang tidak terikat darah.
Tadi pun, ketika sedang menjenguk Arani di rumah sakit, Daniel melihat Elyana dibawa oleh Felix ke ruangan itu. Dengan sembunyi-sembunyi, ia terus memperhatikan ruang perawatan Elyana. Tidak berani untuk masuk, hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Baru di malam hari, ketika Elyana tertidur lelap, ia berani melihatnya. Namun sayang, di ruang an itu ada David. Ia memutuskan untuk pergi lagi.
"Sekarang, kau sudah tahu alasan aku bertengkar dengan Elyana kemarin. Jika kau bersedia memberi ayahku pekerjaan, aku tidak akan meminta Elyana untuk menjauhi kami lagi. Toh, kau dan Elyana sekarang sudah menikah. Mungkin, mereka tidak akan mencelakai Arani, dan membuat orang tuaku sengsara lagi," tambah Daniel dengan penuh keyakinan.
"Aku hanya ... ingin ayahku mempunyai pekerjaan lagi untuk menghidupi kami sekeluarga," lirihnya tiba-tiba. Ada kesedihan ketika Daniel mengatakan hal ini. Jika bukan karena dirinya, keluarganya tidak akan sengsara seperti sekarang.
David mendengar setiap kata yang Daniel ucapkan. Ada keraguan yang terlintas di pikirannya ketika mendengar kekejaman Alex pada sahabat Elyana.
Walaupun demikian, David tetap mengiyakan.
"Baiklah! Besok, beritahu ayahmu untuk datang ke perusahaan Demino. Asisten Edwin akan mencarikan pekerjaan yang kosong untuk ayahmu," jawab David tanpa basa-basi. Ia bangkit berdiri, bersiap untuk pergi.
Waktu sudah sangat malam, ia pun sudah mendengar penjelasan dari Daniel. Tidak ada lagi yang harus mereka bicarakan. Dirinya sudah berjanji akan memberi pekerjaan untuk ayahnya Daniel. Sekarang, waktunya David pergi, melihat keadaan Elyana.
"Aku pergi dulu!" Ia bangkit berdiri, meletakkan dua lembar uang lima puluh euro di atas meja. Lalu berkata, "Belikan makanan juga untuk temanmu."
"Tunggu!" tiba-tiba Daniel menghentikan langkah David. "Aku dengar, Elyana dirawat karena alerginya kambuh. Apa yang dia makan hingga alerginya kabung separah itu?"
"Apa ... alergi?" David menoleh untuk menatap Daniel. Ia sama sekali tidak tahu tentang hal ini. Felix tidak mengatakan alasan wanita itu sakit.
'Apa benar karena alergi?'
"Ya, tadi siang, aku sempat menguping pembicaraan dokter. Ada reaksi alergi yang cukup parah yang dialami oleh Elyana. Kau ... sebagai suaminya masa tidak tahu?" cibir Daniel. Merasa kesal dengan suami sahabatnya ini, yang tidak bisa menjaga Elyana dengan baik.
"Walau tidak ada dasar cinta dalam pernikahan kalian, kau tetap harus bisa menjaga istrimu dengan baik," tambah Daniel dengan tajam. Ia menatap David dengan sinis.
Tanpa menanggapi ucapan Daniel, David segera pergi meninggalkan tempat makan tersebut dengan terburu-buru. Ia tidak sabar ingin segera sampai di gedung rumah sakit, dan melihat kondisi istrinya.
*
Pagi terasa sangat sejuk di ruang rawat Elyana. Bau desinfektan menusuk indra penciumannya, dan membuat wanita lemah itu mulai tersadar.
Elyana mulai membuka matanya, menatap langit-langit ruangan dengan cahaya lampu terang yang sedikit menyilaukan mata.
"Nona! Anda sudah sadar?" tanya seorang pelayan wanita, lalu menghampiri Elyana.
"Eh, Nike! Sedang apa kau di sini?" tanyanya dengan bingung. Lalu ia duduk, bersandar di kepala tempat tidur sambil menatap pelayannya.
Elyana tahu, wanita yang bernama Nike ini adalah pelayan dari rumah David. Orang yang dulu merawatnya juga ketika dirinya tertabrak mobil.
'Mengapa sekarang Nike ada di sini?'
"Saya hanya menemani Nona di sini. Nanti siang, Nona sudah boleh pulang," ucap Nike dengan sopan.
"Di mana David?" tanyanya penasaran. Ia berharap, suaminya ada di sini, menemaninya.
Tapi, jawaban dari Nike selanjutnya membuat harapannya hancur, "Dari jam dua malam, saya menemani Nona di sini. Jadi tidak tahu keberadaan Tuan."
"Oh!" Elyana menarik pandangannya kembali, tidak bertanya apapun lagi pada Nike.
"Ya, ampun! Siapa yang membawaku ke ruang rawat ini? Ongkos taksi ... aku lupa membayar ongkos taksi. Bagaimana ini? Harus ke mana aku mencari sopir taksi itu?" ucap Elyana sambil menepuk kepalanya sendiri. Merasa berdosa belum sempat membayar ongkos taksinya kemarin.
"Aku sudah membayarnya!" tiba-tiba suara seseorang terdengar dari ambang pintu, diiringi pintu ruangan yang terbuka. "Aku juga yang membawamu ke ruangan ini."
"Dokter Felix?" bisik Elyana, menatap pria berpakaian putih, berjalan masuk ke dalam ruangan itu menghampiri Elyana.
"Bagaimana kondisimu sekarang? Apa sudah baikan?" tanyanya pada Elyana.
Felix dibantu oleh suster, mengecek tekanan darah gadis itu.
"Tekanan darahmu cukup normal. Suhu badanmu juga sudah normal. Apakah di badanmu masih terasa gatal atau panas?" tanyanya.
"Tidak!" Elyana menggelengkan kepala. Dirinya memang sudah tidak merasakan apapun lagi sekarang. Setelah tidur lama, kondisi tubuhnya sudah jauh lebih baik.
"Syukurlah! Nanti siang, kau sudah boleh pulang," ucap Dokter Felix. Itu membuat Elyana merasa lega. Juga merasa malu karena sudah ditolong olehnya.
*
Di kantor, semua orang dihebohkan dengan perintah sang atasan. Pasalnya, David mencari koper milik Elyana yang ia buang kemarin di bak sampah yang ada di belakang gedung kantornya. Tapi sekarang, koper itu sudah tidak ada.
"Cari lagi, atau lihat rekaman CCTV, siapa orang yang berani memungut koper merah muda dari belakang!" perintah David di lantai dasar, di depan semua karyawannya.
"Saya tidak ingin tahu, pokoknya, sebelum jam istirahat, koper itu harus sudah ada di hadapan saya," tambahnya lagi, masih dengan berteriak.
Semua orang dibuat kebingungan oleh perintah bosnya ini. Hanya koper yang bosnya buang kemarin, tapi sekarang semua orang berkumpul dan harus ikut menemukannya.
"Bukankah sudah dibuang? Mengapa harus dicari lagi?" bisik karyawan wanita pada temannya.
"Jangan-jangan, isi di dalamnya adalah uang. Makanya Bos ingin memungutnya kembali."
"Benar juga! Jika isinya hanya barang biasa, tidak mungkin Bos meminta semua orang mencari koper itu lagi."
David menegaskan, "Jika koper dan isi di dalamnya sudah ada, bawa segera ke ruangan saya!"
Setelah itu, ia beranjak pergi ke ruangannya yang ada di lantai atas. Menghiraukan banyak bisikan yang mulai tidak enak untuk didengar.
"Sepertinya itu koper milik istrinya. Warnanya merah muda. Warna kesukaan wanita."
"Jangan-jangan, Bos dan istrinya sedang bertengkar. Bos membuang koper milik istrinya. Dan sekarang, dia ingin memungutnya kembali."
"Benar juga!"
"Makanya, jangan mau menikah dengan orang kaya. Mereka akan membuang kita sesuka hati, dan akan memungut kita kembali jika mereka mau."
"Kasihan sekali, ya, putri dari keluarga Danu itu."