webnovel

Bab 8. Laki-laki jelmaan iblis

"Kenapa cemberut begitu? Maaf karena aku nggak kasih tahu kamu dulu. Aku sengaja bikin kejutan buat kamu." Areez tersenyum begitu tulus saat mengatakan itu. Hal yang tentu saja akan membuat orang lain terharu, tetapi mata Briana tidak bisa ditipu oleh senyum menawan itu. Ada seringai licik yang sebenarnya tersemat di sana, tidak terlalu kentara, tetapi mata Briana bisa menangkapnya dengan jelas.

"Kalian kenal?" Bian yang baru saja akan memperkenalkan diri tentu saja terkejut mendapat sambutan seperti itu.

"Anda, Sabian? Adiknya Ibu Sera?" Areez bersikap sangat sopan saat ini. Siapa pun pasti akan terpedaya oleh aktingnya yang begitu memukau.

"Iya, benar." Bian menjawab sembari memperhatikan wajah Briana yang tampak tertekan semenjak melihat laki-laki di depan mereka ini.

"Sayang, kamu nggak kenalin aku ke senior kamu ini?"

What? Apa katanya tadi? Sayang? Briana ingin sekali memukul kepala Areez saat ini. Belum lagi melihat wajah syok yang Bian berikan, Briana rasanya ingin menenggelamkan diri ke dasar bumi saat ini.

"Apa maksudnya ini?" tanya Bian bingung. Sejak kapan Briana memiliki kekasih, bukankah gadis ini single? Dan setahu dirinya, Briana menyukainya, seperti dirinya yang menyukai gadis ini. Bahkan Bian sudah menyiapkan hati untuk menyatakan perasaannya hari ini.

"Sayang, kamu nggak mau jelasin ke Bian?" Areez sungguh aktor yang begitu handal. Briana ingin menangis rasanya, apa yang harus dilakukannya sekarang?

"Maaf, Kak. Aku boleh ngobrol sama dia sebentar?" Briana langsung menarik lengan Areez untuk keluar dari ruangan itu sebelum terjadi hal yang tidak diinginkan. Seperti sepatunya yang melayang ke wajah laki-laki ini misalnya.

*

"Maksud Anda itu apa, si?" Briana nyaris berteriak saat menanyakan itu. Sesekali mengedar pandang, takut ada yang menguping pembicaraan mereka.

"Pelankan suara kamu." Areez pura-pura panik, tetapi langsung tersenyum miring saat Briana mendecih kesal.

"Anda benar-benar ingin menghancurkan hidup saya? Apa salah saya pada Anda sebenarnya?" Hilang sudah semangat untuk kabur hari ini. Percuma saja kabur, karena kini Briana sadar jika dirinya tidak akan berdaya melawan Areez. Laki-laki ini dengan uangnya, pasti akan menemukannya dengan mudah di mana pun. Kenapa dia harus terjebak dengan permainan laki-laki ini?

"Menghancurkan hidup kamu?" Kening Areez berkerut, pura-pura tidak paham dengan maksud dari kalimat yang Briana katakan. "Saya jelas-jelas sedang membantu kamu."

"Membantu dari segi apa!" Briana nyaris kehilangan kendali. Dia benar-benar berada di ujung putus asa saat ini.

"Saya tahu kamu sedang mencari donatur untuk sanggar ini, agar bisa membuka kelas gratis untuk anak-anak yang tidak mampu. Itu kenapa saya maju, karena saya mampu." Areez mengatakannya dengan sangat tenang.

Briana mengerutkan kening, "Dari mana Anda tahu soal itu?" Lama-lama Briana merasa ngeri dengan laki-laki di depannya ini. Bahkan Areez bisa tahu semua hal yang dilakukannya, Bian pun tidak tahu soal dia yang diam-diam membantu mencari donatur agar sanggar bisa segera merealisasikan niat untuk membuka kelas gratis.

"Itu bukan hal sulit untuk saya." Areez menunjukkan senyuman tipis.

"Anda cukup menakutkan ternyata," bisik Briana yang semakin merasa tertekan. Sepertinya dia tidak akan pernah bisa kabur selama bukan Areez sendiri yang berniat melepaskannya.

"Tidak, saya tidak semengerikan seperti yang kamu bayangkan. Saya benar-benar bisa menjadi malaikat penolong kamu, dengan syarat kamu tidak menodai kepercayaan saya. Dan mau menuruti apa pun yang saya katakan." Senyuman itu kembali muncul, senyuman yang terlihat memuakkan di benak Briana.

Briana mendengkus sinis. "Jadi saya harus menjadi kacung Anda?"

"Boleh kalau kamu mau." Ada senyum geli yang coba laki-laki itu tahan. "Atau jadi ratu saya, semua pilihan ada di tangan kamu."

Mata Briana kali ini berkaca-kaca, kumpulan dari semua rasa tidak menyenangkan itu kini menekan dadanya. Areez menjadi donatur utama sanggar, itu artinya laki-laki ini memiliki sesuatu untuk dijadikan ancaman untuknya.

"Anda senagaja menjadi donatur utama untuk menjadikan itu ancaman bagi saya bukan?" Briana sudah lelah sekali untuk berpikir, biarkan dia memuntahkan semua isi pikirannya kali ini.

"Setengah benar, setengah salah," jawab Areez santai. Sudah terbiasa mendapat tuduhan buruk dari banyak orang menjadikan mentalnya kuat. Mau dikatakan seperti apa tidak akan memengaruhi emosinya.

"Pertama, mungkin seperti yang kamu pikir. Saya harus memiliki sesuatu agar kamu bisa segera menandatangani kontrak pernikahan itu. Kedua, saya rasa pemikiran kamu untuk membantu anak-anak berbakat yang tidak mampu dengan membuka kelas gratis, untuk beberapa bidang juga bukan hal buruk. Itu perbuatan mulia." Areez menunjukkan senyuman menawannya. Senyuman yang hanya ada di bibir, tidak sampai ke mata. Senyuman yang di mata Brana selalu terlihat seperti sebuah ejekan semata untuk dirinya.

"Jadi saya udah nggak bakalan bisa kabur lagi? Saya nggak punya pilihan lain lagi?" tanya Briana dengan sorot putus asa. Apalagi saat Areez menganggukkan kepalanya dengan wajah tenang.

"Oke," ujar gadis itu lagi. "Mana surat kontraknya, saya bakalan tandatangani saat ini juga."

Areez tersenyum, lalu mengisyaratkan asistan tang sejak tadi menunggunya untuk keluar. Briana yang berpikir laki-laki ini tidak membawa surat kontrak yang dimaksudkan, melebarkan mata. Tadi dia hanya menggertak.

"Kamu sudah tidak bisa berubah pikiran," ujar Areez saat menyadari keterkejutan yang Briana tunjukkan. "Atau, saya bisa membatalkan—"

"Kenapa harus saya?" Briana sengaja memotong kalimat ancaman yang sudah dia pahami maksudnya. Mata gadis itu dengan berani menatap sorot mata Areez yang terlihat dingin, kosong, dan—Briana segera menghentikan pemikiran tidak pentingnya.

"Karena kamu adalah orang yang tepat. Dan dengan perjanjian ini, kita sama-sama diuntungkan."

Briana menghela napas, lalu mengangguk. Tidak paham dengan kalimat 'kamu adalah orang yang tepat'. Namun, karena tidak lagi bisa mundur, maka gadis itu segera membubuhkan tandatangannya di atas materai. Satu bulir jatuh begitu saja, dengan ini dia tengah menggadaikan kebebasan yang dimilikinya untuk meraih kebebasan lain yang entah kenapa terasa semu saat sudah dimilikinya.

*

"Na, kamu nggak papa?" Bian sungguh khawatir dengan kondisi Briana yang mendadak menjadi pemurung sejak bertemu dengan laki-laki bernama Areez tadi.

"Na." Bian memberanikan diri untuk menggenggam jemari Briana, dan gadis itu terlihat tersentak.

"Kamu nggak papa?" tanya Bian lagi karena tadi sepertinya gadis ini tidak mendengarnya. "Kamu beneran nggak papa?"

Briana berusaha untuk menunjukkan senyumannya. "Aku nggak papa kok, Kakak tenang aja."

"Kamu beneran kenal sama laki-laki tadi?" Entah mengapa Bian merasa sanksi jika laki-laki tadi adalah kekasih Briana.

Briana kembali menunjukkan senyuman. "Kenal kok. Dia orang baik," katanya menahan hasrat ingin muntah saat mengatakan itu.

"Apa karena sanggar? Dia ngancam kamu?" Bian tidak tahu kenapa pemikiran ini datang begitu saja.

"Kakak kok bisa mikir ke situ? Kakak pikir aku orang yang mudah ditindas?" Dulu iya, dia gadis yang sulit ditindas, setidaknya sebelum bertemu Areez. Laki-laki itu bukan lawan seimbang untuknya.

"Aku khawatir." Bian meraih dua jemari Briana untuk digenggam. "Mungkin ini sedikit terlambat, tapi aku sayang sama kamu, dan aku pengin selalu ngelindungin kamu, Na."

Briana tersenyum getir, andai saja kalimat suka ini dikatakan sejak kemarin, mungkin rasanya akan menakjubkan. Kali ini tidak ada sesuatu yang meletup di dadanya karena kondisinya tidak memungkinkan untuk dekat dengan laki-laki lain. Konsekuensinya tertulis jelas di salah satu pasal yang ada di surat kontraknya. Jika dia diam-diam berhubungan dengan laki-laki lain selama kontrak berlangsung, maka Areez tidak akan segan-segan menghancurkan laki-laki itu.