Senin sampai Rabu, semua dilewati seperti biasanya, dari mulai bangun pagi, bekerja, pulang dan beristirahat lagi hingga arunika hari esok menyambut. Sekarang sudah Kamis pagi sekitar pukul sepuluh, dan aktivitas yang berlangsung masih tetap sama, sebuah note kecil terselip di saku seragam Rere, kali ini ia bukan tengah mengisi barang yang kosong pada masing-masing gondola alias rak-rak dengan nama tertentu. Gadis itu berdiri di dekat rak promo tempat puluhan minyak goreng berukuran dua liter berjejer rapi dengan harga yang cukup menggiurkan, hanya saja setiap pengunjung hanya bisa membeli maksimal dua pack, tak ada borong-memborong.
"Renita."
Gadis yang baru saja menata posisi minyak goreng kemasan tadi menoleh dapati Arista—supervisor swalayan—menyodorkannya sebuah kertas berisi daftar barang.
"Iya, Mbak."
"Bisa kamu cek lagi barang-barang ini di gudang, minyak gorengnya udah rapi semua, kan?"
"Bisa kok." Rere meraih kertas tadi. "Aku permisi, Mbak."
"Iya."
Gadis dengan mahkota diikat tinggi itu melangkah lewati beberapa rak yang cukup banyak, pasalnya posisi rak promo selalu diletakan di bagian depan, atau berada di dekat meja kasir, kali ini ia harus menuju gudang barang yang posisinya berada paling ujung dari gedung swalayan itu.
Tak ada keluh kesah, sama sekali tak ada. Ia paham jika bekerja memang melelahkan, ia mengerti kalau mencari uang tak semudah menengadah tangan. Untung saja di sudut-sudut tempat besar itu banyak menempel AC, jadi rasa gerah tak menggeregoti tubuh Rere yang terlihat paling sibuk di antara teman-temannya. Apalagi, Arista lebih sering mengandalkan Rere jika ia butuh bantuan, jarang sekali karyawan lain disuruh-suruh oleh Arista, setidaknya Rere jadi miliki predikat A di mata Arista.
Seraya melangkah lewati beberapa rak barang yang terlihat dipenuhi oleh beberapa pengunjung, Rere menatap daftar barang pada kertas tadi. Ada sekitar tiga puluhan barang yang perlu ia cek, belum lagi saat mencarinya satu per satu di gudang, bisa ia terawang akan selelah apa tubuhnya nanti. Namun, sebuah pekerjaan jika dilakukan dengan ikhlas maka cukup menyingkirkan rasa lelah.
Gadis itu membuka pintu gudang, terlihat dua karyawati lain juga berada di sana. Hanya saja mereka terlihat cekikian seraya bergosip ria di dekat Duty Rack, atau sebut saja rak khusus yang terletak di gudang untuk meletakan stok barang.
"Nyari apa, Re?" tanya Nana—seorang karyawati yang telah bekerja selama hampir empat tahun di tempat itu, anggap saja ia senior Rere, lebih berpengalaman, tapi juga sedikit menjengkelkan ketika hobi gosipnya bisa berlangsung di mana-mana, termasuk ketika bekerja. Lagi, tak ada yang bisa menegurnya selain atasan. Nana berdiri di sebelah Aila—karyawati yang baru bekerja selama lima bulan.
"Ini, Mbak. Suruh cek barang sama Mbak Arista."
"Kamu kan kesayangannya Mbak Arista, ya." Perkataan itu terdengar seperti cibiran. "Ya udah buru kerjain, biar cepet kelar."
Rere hanya mengangguk sebelum melengos hampiri Duty Rack yang sediakan stok barang di urutan pertama, ia hanya perlu memberi tanda centang, menghitung jumlah dus yang masih tersedia sebelum menulis jumlahnya pada daftar kertas yang diberikan Arista.
"Eh, La. Kamu tahu nggak, Mbak Arista itu lagi dekat lho sama manajer kita, Pak Tomi. Katanya Pak Tomi lagi proses cerai sama istrinya, mana tahu nanti Mbak Arista yang bakal jadi istri baru dia." Nana mulai bergosip lagi, telinga Rere juga sejelas-jelasnya mendengarkan hingga hanya helaan napas panjang yang berlangsung tanpa sudi berkomentar, yang namanya gosip belum tentu benar. Toh, jika benar pun urusan mereka apa ikut campur permasalahan hidup orang lain.
"Masa sih, Mbak. Ya nggak apa-apa, cantik sama ganteng kan cocok," ujar Aila.
"Kamu nggak tahu aja kalau banyak yang naksir Pak Tomi di sini, termasuk—"
"Mbak Nana, kan?" potong Aila seraya tunjuk wajah Nana, ia terkekeh geli.
Nana mengibas tangan. "Hush, udah ah aku mau urus yang lain." Ia melengos keluar begitu saja usai wajahnya terciduk merona seperti stroberi.
Kini hanya ada Aila dan Rere di gudang besar itu, keduanya sama-sama melakukan pekerjaan masing-masing hingga kesunyian hanya memperdengarkan helaan napas mereka serta suara barang yang bergesekan saat tangan masing-masing sibuk menyentuhnya.
***
Sore akhirnya tiba, tak usah menanti senja, sebab langit mengabu tanpa aba-aba. Seperti biasa, dari Desember menuju awal tahun berikutnya pasti hujan sering berlangsung, sudah menjadi alarm bagi semua orang, hanya saja Rere menjadi salah satu yang bengal. Ia tak pernah membawa jas hujan atau payung untuk sekadar berjaga-jaga.
Sekitar sepuluh meter lagi ia akan sampai di BRT yang terlihat dipenuhi oleh orang-orang, kebanyakan dari mereka adalah pekerja sepertinya, sebagian anak sekolah. Ada yang ganjil dari beberapa hari ke belakang, tapi Rere menganggapnya sebagai sebuah berkah.
Saat gadis itu masuk ke BRT seraya keluarkan sebuah kartu, seseorang ber-hoodie putih yang juga baru datang lantas berdiri di belakang gadis itu, ikut antre e-ticketing pembayaran busway.
Desir angin berembus menggelitik bagian tengkuk Rere yang terekspos jelas saat rambut panjangnya ia cepol tinggi, gadis itu tak acuh. Desir angin berikutnya berlangsung sama, Rere masih saja mengabaikan hingga desir angin ke-tiga membuatnya mengusap tengkuk.
"Apa, sih," gumam Rere tanpa menoleh, tapi setelahnya giliran cuping telinga kanan yang seolah ditiup desir angin, dan gadis itu benar-benar terganggu, akhirnya ia menoleh temukan seseorang yang kini pamer deretan gigi padanya. "Kamu?"
"Gue?"
Rere berdecak sebal, padahal tiga hari sebelumnya sudah begitu nyaman saat perputaran waktunya selama di dunia tak diisi makhluk yang kini berdiri di sebelah Rere. Ia pikir laki-laki itu memang menjauh, atau bila perlu pindah negara—bahkan planet jika memungkinkan. Padahal Rere cukup merasa senang saat hari-harinya berlangsung normal, sebab kehadiran Jordan membuat hidupnya terasa abnormal.
"Aku kira kamu mati," celetuk Rere tanpa ragu.
"Nggak mungkinlah gue mati sekarang, gue matinya nunggu elo mati." Jordan pun bisa menyahutnya dengan mudah.
"Kok bisa? Apa hubungannya?"
"Kalau elo belum mati, masih ada yang bisa selamatin gue pas kena katana lagi. Kalau elo udah mati duluan—pastinya nggak ada yang lindungin gue."
Rere tertawa hambar. "Nggak lucu."
"Kangen nggak?" Jordan menyikut lengan gadis itu berulang kali sampai Rere risi dan memukulnya. "Aduh! Nggak sakit."
"Barudak sinting, maneh!" Gadis itu melengos saat busway yang ditunggu akhirnya datang, tapi Jordan juga tak mau ditinggalkan dan terus mengekor di belakang Rere seperti anak ayam yang butuh induknya.
Seperti biasa, gadis itu duduk di dekat pintu, tapi Jordan ikut duduk di sebelahnya—membuat Rere mengernyit tatap laki-laki itu beberapa saat sebelum decakan kesal terjadi, ia memalingkan wajah seraya keluarkan headset dari ransel kecilnya.
"Kok kamu bisa nongol di mana-mana sih, kamu jelmaan apa? Kalau malaikat nggak mungkin, iblis, ya?" Rere kembali berkata asal seraya menatap sinis Jordan yang seolah tak terpengaruh dengan kalimat sarkas tadi, ia justru merebut satu headset Rere yang kini menyumpal telinga kiri usai Jordan menurunkan tudung hoodie. "Kamu kok—"
"Mau ikut dengerin," selorohnya santai, ia bersidekap sandarkan punggung seraya memejam tanpa peduli pada Rere yang semakin kesal, bahkan gadis itu sampai ingin mencakar wajah Jordan dengan kedua tangannya.
Mengalah, Rere terpaksa mendengarkan lagu dengan satu headset saja. "Kumaha kiye jelma."
Sepanjang busway melaju pun tak ada sepatah kata terlontar dari bibir keduanya, Jordan terus memejam seolah tertidur bersama musik yang mengalun di telinga kiri, entah musiknya cocok atau tidak, tapi Rere ingin mendengarkan semua yang ia suka. Gadis itu bersidekap sembari sesekali lirik Jordan yang seolah menikmati waktu santai di rumah.
Kelopak kiri Jordan terbuka saat Rere kembali meliriknya. "Lihat-lihat terus. Kangen, ya?"
"Nggak, aneh aja sama kamu." Ia langsung alihkan pandang. Jordan pun enggan menyahut, tapi senyum miringnya terukir pasti.
Busway berhenti di BRT usai dua puluh menit berlalu, buru-buru Rere menarik headset dari telinga kiri Jordan dan memasukannya ke ransel, ia beranjak tanpa ingin mengajak Jordan yang kini kembali tersenyum miring. Tentu saja, Jordan akan mengikutinya sampai kost dengan senang hati.
"Rumah kamu itu di mana?" Rere melangkah di trotoar pun dengan Jordan di sebelahnya, tudung hoodie kembali dinaikan.
"Nggak ada niat ngapel kan tanya-tanya rumah gue?"
"Nggak."
"Nanti kapan-kapan gue ajak."
"Nggak perlu, makasih." Rere mempercepat langkahnya, tapi Jordan menarik lengan gadis itu, membawa tangan kanan masuk ke saku hoodie bersama tangan Jordan, menggenggamnya erat-erat.
"Kamu—" Rere mendelik kesal. "Lepasin tangan aku."
"Nanti aja kalau udah sampai tempat kost, oke?"
"Kamu—"
"Kalau nggak mau malah gue satuin bareng tangan gue pakai borgol penjara, gimana? Mau?" Ia tersenyum miring lagi, benar-benar menjengkelkan.
"Kamu gila! Kok kamu gitu, sih!" Ingin sekali Rere memukul wajahnya hingga pingsan, memutilasi, memasukannya pada karung dan melempar mayatnya ke Ciliwung. Sungguh indah dunia, tapi rupanya semua hanya khayalan imaji, gadis itu kalah oleh ironi. "Emang tujuan kamu sebenarnya mau ke mana? Kita kan pertama ketemu di busway, terus kamu kenalin aku."
Jordan manggut-manggut. "Kalau hari itu emang gue kabur dari rumah, kan gue udah bilang waktu itu. Jangan salahin gue kalau gue ketemu penolong waktu itu, salahin takdir. Lagian Jakarta kan luasnya cuma kayak peta telapak tangan."
"Terus habis itu kamu ngapain lagi ke tempat busway, nggak mungkin kan kalau kamu sengaja—"
"Nungguin elo? Tebakan yang bagus, nanti gue kasih reward."
"Aku tuh nggak mau ya ada urusan sama kamu."
"Kenapa? Gue bukan kriminal kok, cuma senang berantem aja."
"Itu pasti yang bikin kamu bakal dipenggal malam itu, kan? Emang nggak bisa hidup damai, sebentar lagi kiamat, mending taubat." Mereka terus saja beradu argumen sepanjang jalan hingga tiba di area kost Rere, tapi sampai di depan pintu pun Jordan enggan meloloskan tangan gadis itu. "Kalau kayak gini, gimana aku mau buka pintunya?"
"Lah itu tangan kiri, nggak bisa dipakai?" Sebelah alis Jordan terangkat, sangat menyebalkan.
Rere mendengkus, ia rogoh kunci rumah dari saku seragam menggunakan tangan kiri. Memasukannya pada lubang pintu dan memutar dua kali hingga terbuka, untung saja keadaan di area kost juga sepi, sepertinya Alam belum pulang bekerja atau mungkin nongkrong dengan dua temannya lebih dulu.
"Kita udah sampai, lepasin tangan aku." Rere menatapnya jengah.
"Boleh sih, tapi gue mau kasih elo reward dulu. Di dalam, ya?"
"Apa, sih." Rere mengalah, ia masuk ke dalam bersama Jordan sebelum laki-laki itu menutup pintu, tirai jendela ruang depan memang tak pernah Rere buka saat selalunya ia bekerja dari pagi hingga swastamita menjemputnya. "Udah, sekarang lepasin."
Jordan diam sejenak, menatapnya tanpa kedip, hal itu membuat Rere sedikit kikuk sampai ia alihkan pandnag berkali-kali. Jordan mendorongnya ke sudut tembok tanpa melepaskan tangan kanan Rere, bahkan membawa tangan kiri gadis itu ke belakang punggung sebelum menguncinya bersama tangan kanan.
Rere mendelik tanggapi perilaku aneh Jordan kali ini, hingga tanpa diduga laki-laki itu mengapit dagu Rere menggunakan ibu jari serta telunjuknya sebelum sentuhan lembut bibir Jordan menyambut—mereguk paksa bibir Rere yang tak pernah disentuh siapa-siapa.
"Mm—" Gadis itu memelototkan mata seraya memberontak saat kedua tangannya semakin sulit menemukan ruang gerak di balik punggung bersama tembok yang ikut menguncinya, sedangkan Jordan justru menikmati perbuatan gilanya seraya terpejam, mengulum bibir Rere dengan lidahnya dan membuat suhu tubuh gadis itu semakin naik, meremang bersama napas yang mulai sesak ketika hidung Jordan mengunci pernapasannya.
"Emang nggak bisa ciuman sambil napas?" Laki-laki itu baru saja melepasnya, menatap bingung Rere yang kini usapi bibir dengan lengan seragam setelah tangannya diloloskan si pelaku.
"Kamu gila! Kamu ngapain tadi!"
"Kasih reward, kan udah bilang." Wajahnya pasang ekspresi tanpa dosa.
"Siapa yang minta! Aku nggak mau—" Pagutan pelan kembali berlangsung saat Jordan mulai terlena oleh perasaan asing yang menariknya pada satu hal khusus, satu tangan merengkuh lengan Rere, dan tangan lain menangkup pipi kiri agar tangan Rere yang sibuk memberontak tak bisa halangi keinginan Jordan.
Sungguh, Rere merasa akan mati berdiri setelahnya.
***