Diagnosa dokter itu membuat aktivitas keseharian Lanai semakin dibatasi. Satu-satunya hal yang membuat Lanai melupakan penyakitnya adalah sekolah. Banyak teman-teman yang baik dengannya di sekolah. Gurunya pun memberi perhatian yang lebih kepadanya. Pasti neneknya telah menitip cerita kepada para guru di sekolah.
Kendati berada di kota, namun pada saat itu sekolah dasar tempat ia menimba ilmu pengetahuan bukanlah sekolah favorit. Sekolah itu merupakan SD Negeri Inpres yang hanya memiliki delapan ruangan. Enam lokal untuk aktivitas belajar mengajar, satu ruang guru dan satu ruangan Kepala Sekolah.
Tidak ada yang spesial di sekolah itu. Setiap angkatan hanya menerima empat puluh siswa. Lanai kini duduk di kelas lima. Prestasinya tidak bisa dibilang bagus, juga tidak jelek, biasa saja. Maklum, ia harus berkutat dengan penyakitnya yang tak kunjung sembuh. Di sekolah – ia termasuk anak yang pendiam – bahkan cenderung suka menyendiri. Tak banyak yang dibicarakannya. Lanai tidak mau penyakitnya diketahui oleh anak-anak lain. Tidak ada gunanya, hanya akan menimbulkan rasa iba.
Ada satu orang anak yang selalu ia ingat. Namanya Mahali. Ia duduk di kelas enam, kakak kelas Lanai. Setiap berpapasan dengannya, ada perasaan aneh yang tidak bisa difenisikan olehnya dengan kata-kata. Perasaan aneh yang seharusnya belum dimiliki oleh anak seusianya.
Waktu itu, hari senin. Sudah menjadi rutinitas, pada hari Senin diadakan upacara bendera. Lanai berdiri di barisan depan membelakangi teman satu kelasnya. Anak lelaki yang belakangan ia ketahui bernama Mahali itu bertugas sebagai pemimpin upacara. Setengah perjalanan, Lanai mulai merasakan kepalanya berat dan matanya berkunang-kunang. Lama kelamaan, upacara itu membuatnya bosan dan semakin membuat beban di kepalanya semakin menjadi-jadi. Tidak disadarinya, badannya yang kecil itu mulai oleng. Sebelum jatuh ke bumi – anak lelaki yang berdiri tepat di depannya karena memimpin upacara itu – berlari menyangga tubuhnya.
Upacara hari itu sontak terganggu. Si pemimpin upacara ikut membawanya ke rumah sakit. Saat kesadarannya lenyap, masih didengarnya bunyi suara kenalpot angkutan kota yang membawa tubuhnya ke bangunan bercat putih tersebut..
Mahali ikut menumpang angkutan kota mengantar Lanai. Bahkan ketika ia tersadar, sosok anak laki-laki yang bertubuh kurus itu masih menungguinya. Ia tak banyak bicara. Namun perhatiannya membuat Lanai luluh. Saat itu, Mahali seperti perawat saja. Dengan sabar, disendokinya bubur jatah dari rumah sakit, sesuap demi sesuap. Lanai terharu.
"Kamu harus banyak makan. Biar kuat. Di dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat," ujarnya berusaha melucu.
Belum pernah Lanai mendapat perhatian dari orang lain seperti ini. Orang tuanya satu tahun sekali baru bisa dijumpainya. Selama ini hanya nenek yang mendampingi kesehariannya. Nama Mahali hari itu terpatri di dalam relung hatinya yang paling dalam. Pria kerempeng itu, sore ini menjadi pahlawan Lanai. Tidak ada yang bisa menggantikannya.
Lucu juga melihat anak laki-laki berseragam putih merah ini, begitu batinnya. Kalau boleh memilihkan cita-citanya, Lanai pasti memintanya untuk menjadi dokter. Kalaupun meleset, anak ini pasti jadi perawat. Untuk sekali ini, Lanai bisa tertawa lepas. Saat Mahali melirik ke arahnya, dipamerkannya gingsulnya yang lucu itu satu-satu.
Hari menjelang siang, nenek datang ke rumah sakit membawa obat. Ikut bersamanya, ibu Susi, wali kelas Lanai. Tak lama berselang, Guru pelajaran Bahasa Indonesia itu kembali ke sekolah. Mahali ikut bersamanya. Sedih rasanya melihat kepergian anak laki-laki itu.
Tidak lama kemudian dokter Didi dengan sejumlah perawat mendatangi bangsal tempatnya tertidur. Senyumnya yang tak ramah itu membuat Lanai merinding. Pertanyaan itu selalu terlontar dari mulut dokter berkaca mata ini.
"Apa khabar Lanai. Apa yang sekarang kamu rasakan?" tanyanya sembari memeriksa botol infus yang airnya masih penuh itu.
Lanai tidak menjawab. Ia hanya bergumam pelan sambil menunjuk ke kepalanya. Bosan rasanya harus melayani pertanyaan dokter Didi sejak tiga tahun yang lalu. Huh, kalau saja Lanai bisa membalas perbuatan dokter ini, pasti yang pertama dilakukannya adalah menyuntikkan jarum yang selalu ada di saku baju putihnya itu.
Beberapa saat kemudian dokter Didi nampak terlibat perbincangan serius. Tak jelas apa yang dibicarakan mereka. Namun setelah dokter Didi berlalu, nenek mendekapnya erat-erat.
"Menurut keterangan dokter, ginjal kamu belum bisa disembuhkan. Nenek hari ini akan mengirim khabar ke kampung agar ayah dan ibumu menjenguk ke rumah sakit," jelas nenek dengan mata berkaca-kaca.