Pagi itu, langit tampak cerah dengan matahari yang mulai menyinari puncak Gunung Hitam. Udara sejuk membawa ketenangan setelah malam yang penuh ketegangan. Setelah pertempuran yang terjadi di biara, Ceun-Ceun dan Loupan merasa perlu menenangkan pikiran dan merencanakan langkah mereka selanjutnya. Salah satu hal yang penting adalah memastikan mereka memiliki persediaan makanan yang cukup, terutama untuk membantu memulihkan tenaga Loupan yang terluka.
Ceun-Ceun memutuskan untuk pergi ke pasar terdekat, sebuah tempat yang dikenal sebagai pusat perdagangan bagi penduduk desa di sekitar Gunung Hitam. Pasar ini terkenal dengan bahan makanan segar, rempah-rempah, dan berbagai macam barang kebutuhan sehari-hari.
Dengan penuh semangat, Ceun-Ceun menyiapkan kudanya yang kuat dan gesit. Kuda hitam itu tampak bersemangat, seolah-olah memahami pentingnya perjalanan ini. Setelah memastikan semua keperluan telah dibawa, Ceun-Ceun melompat ke punggung kuda dan menarik tali kekang dengan lembut.
"Loupan, aku akan kembali sebelum matahari terbenam," katanya, tersenyum tipis pada Loupan yang masih beristirahat di depan biara. "Kau jaga dirimu baik-baik di sini."
Loupan mengangguk sambil tersenyum lemah. "Hati-hati di jalan, Ceun-Ceun. Pasar mungkin tampak aman, tapi kita tak pernah tahu siapa yang mengawasi kita."
Ceun-Ceun mengangguk mengerti, lalu memacu kudanya perlahan menuruni jalan setapak yang berliku di lereng Gunung Hitam. Angin pagi yang sejuk menyentuh wajahnya, membawa kesegaran yang menenangkan setelah malam penuh ketegangan.
Perjalanan menuju pasar tidak terlalu jauh, tapi cukup untuk memberinya waktu berpikir. Pikirannya melayang pada pertempuran yang baru saja terjadi, ancaman yang masih mengintai, dan rencana-rencana mereka ke depan. Meskipun demikian, ia juga merasakan rasa damai yang tumbuh ketika ia mulai mendekati pasar, sebuah tempat yang penuh kehidupan dan aktivitas.
Setelah sekitar satu jam perjalanan, Ceun-Ceun tiba di pasar yang terletak di lembah yang subur. Suasana pasar yang ramai dan penuh warna segera menyambutnya. Pedagang-pedagang dengan berbagai dagangan mereka berteriak menawarkan barang, sementara pembeli-pembeli bergerak dengan cepat, mencari barang-barang yang mereka butuhkan. Aroma rempah-rempah dan makanan yang sedang dimasak menyebar di udara, membuat perut Ceun-Ceun keroncongan.
Ia menambatkan kudanya di dekat pintu masuk pasar, memastikan kuda tersebut diikat dengan aman. Kemudian, ia mulai berjalan memasuki keramaian pasar dengan penuh kewaspadaan, namun juga dengan antusiasme untuk menemukan bahan-bahan terbaik yang bisa ia olah menjadi santapan lezat.
Ceun-Ceun menyusuri barisan demi barisan pedagang, matanya tertuju pada berbagai macam bahan makanan. Ia melihat sayuran segar, buah-buahan yang ranum, daging yang baru dipotong, serta ikan-ikan yang masih segar dari sungai terdekat. Ia berhenti di salah satu kios yang menjual rempah-rempah, tertarik pada aroma tajam dan menggoda dari berbagai bumbu yang dipajang.
"Ini rempah-rempah terbaik di seluruh lembah," kata sang pedagang, seorang wanita tua dengan senyum ramah. "Cocok untuk masakan apapun, khususnya bagi yang ingin menambah cita rasa."
Ceun-Ceun tersenyum dan membeli beberapa rempah-rempah yang dirasa akan memberi kehangatan pada masakan yang akan ia buat. Ia melanjutkan perjalanannya melalui pasar, mengisi kantong belanjanya dengan berbagai bahan makanan, mulai dari sayuran hijau segar hingga potongan daging yang berkualitas.
Sambil memilih bahan makanan, Ceun-Ceun tidak dapat menghilangkan perasaan bahwa seseorang mengawasinya. Meskipun pasar ini ramai, ada sesuatu yang membuatnya merasa sedikit gelisah. Dia memperhatikan sekelilingnya dengan lebih teliti, berusaha mencari tahu apakah ada bahaya yang mengintai. Namun, yang ia temui hanyalah keramaian pasar yang biasa, orang-orang sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
Ketika Ceun-Ceun hendak menuju kios terakhir untuk membeli beberapa buah-buahan segar, seorang pria paruh baya dengan pakaian sederhana mendekatinya. Wajahnya tidak terlalu mencolok, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Ceun-Ceun merasa waspada.
"Permisi, Nona," kata pria itu dengan suara rendah. "Apakah kau berasal dari biara di Gunung Hitam?"
Ceun-Ceun mengerutkan kening, merasa curiga. "Benar. Ada yang bisa saya bantu?"
Pria itu tersenyum tipis, tetapi senyumnya tidak mencapai matanya. "Hanya ingin mengingatkan, hati-hati di jalan. Belakangan ini banyak yang hilang di sekitar gunung."
Ceun-Ceun merasakan dingin merambat di tulang punggungnya. Ia tidak yakin apa yang pria itu maksudkan, tapi instingnya mengatakan bahwa peringatan ini bukan sekadar kekhawatiran penduduk desa biasa. Namun, sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, pria itu sudah membungkuk sedikit dan menghilang ke dalam keramaian pasar.
Ceun-Ceun berdiri sejenak, mencoba mencerna peringatan yang baru saja ia terima. Meskipun ia merasa terganggu, Ceun-Ceun berusaha untuk tidak menunjukkan rasa cemasnya. Ia melanjutkan belanjanya, tetapi kini dengan kesadaran yang lebih tinggi akan sekitarnya.
Setelah membeli semua yang ia butuhkan, Ceun-Ceun kembali ke kudanya dan meletakkan semua bahan makanan di dalam kantong-kantong yang tergantung di samping pelana. Perjalanan pulang ke biara terasa lebih cepat, tetapi juga lebih tegang. Pikirannya terus memutar ucapan pria yang ia temui di pasar, sementara matanya mengawasi sekeliling dengan lebih tajam.
Ketika ia tiba di biara, Loupan sudah menunggunya dengan raut wajah lega. Ceun-Ceun segera turun dari kudanya dan membagikan semua bahan makanan yang ia bawa.
"Kau mendapatkan semua yang kita butuhkan?" tanya Loupan sambil membantu Ceun-Ceun membawa barang-barang ke dalam.
"Ya, dan lebih dari itu," jawab Ceun-Ceun, sambil berpikir tentang peringatan yang ia terima. "Kita harus berhati-hati. Ada yang memperingatkan tentang bahaya di sekitar gunung."
Loupan mengerutkan dahi, lalu mengangguk setuju. "Aku akan memperkuat pengawasan. Tapi sekarang, mari kita masak dan makan. Kita butuh tenaga untuk apa yang akan datang."
Malam itu, meski dengan rasa waspada yang tinggi, Ceun-Ceun dan Loupan berhasil menikmati makanan lezat yang mereka buat dari bahan-bahan yang dibeli. Setiap suapan terasa hangat dan menenangkan, memberikan kekuatan baru untuk menghadapi tantangan yang akan datang. Namun, di balik rasa nikmat itu, mereka tahu bahwa ancaman masih mengintai di balik bayangan, menunggu saat yang tepat untuk menyerang.
Malam semakin larut, namun mata Ceun-Ceun masih enggan terpejam. Pikiran tentang peringatan yang diberikan oleh pria misterius di pasar terus menghantui benaknya. Setiap suara kecil dari luar biara membuatnya waspada, seolah-olah musuh bisa datang kapan saja. Dia berusaha memejamkan mata, mencoba untuk tidur, tapi kegelisahan itu terlalu kuat untuk diabaikan.
Akhirnya, Ceun-Ceun menyerah pada rasa gelisahnya. Daripada terus berbaring dalam ketidaknyamanan, ia memutuskan untuk memanfaatkan waktu malam ini dengan cara yang lebih berguna. Ia bangkit dari tempat tidurnya, mengenakan jubah hitam yang selalu ia pakai saat berlatih, dan diam-diam meninggalkan kamarnya. Langkahnya lembut namun mantap, melewati koridor-koridor biara yang sepi, hingga ia mencapai pintu keluar menuju halaman belakang.
Di halaman belakang biara terdapat sebuah lapangan latihan yang jarang digunakan pada malam hari. Tempat itu dikelilingi oleh pepohonan besar yang menjulang, memberikan perlindungan alami dari pandangan orang luar. Di sinilah Ceun-Ceun sering berlatih, mengasah keterampilan dan kekuatan Tangan Besinya yang menjadi andalannya dalam bertarung.
Malam ini, Ceun-Ceun merasa perlu memperkuat kekuatan Tangan Besinya. Ia ingin memastikan bahwa ia siap menghadapi musuh apapun yang mungkin datang, apalagi setelah serangan mendadak yang mereka alami sebelumnya. Dengan tekad yang bulat, ia mulai memusatkan energi ke kedua tangannya, merasakan kekuatan yang mengalir dari dalam tubuhnya.
Perlahan-lahan, Ceun-Ceun mulai berlatih gerakan-gerakan yang telah ia pelajari selama bertahun-tahun. Setiap gerakan dilakukan dengan presisi, setiap pukulan dihantamkan ke arah udara dengan kekuatan yang mematikan. Tangan Besinya bersinar lembut di bawah cahaya bulan, memberikan aura yang mengintimidasi namun sekaligus mempesona.
Latihan tersebut tidak hanya untuk meningkatkan kekuatan fisiknya, tetapi juga untuk menenangkan pikirannya yang gelisah. Dengan setiap gerakan, setiap napas yang diambilnya, Ceun-Ceun merasa beban di hatinya perlahan-lahan berkurang. Dia memasuki kondisi meditasi yang dalam, di mana semua kekhawatiran dan rasa takutnya memudar, digantikan oleh ketenangan dan fokus.
Dalam diamnya, Ceun-Ceun mendengar suara dedaunan yang bergesekan, suara angin yang berdesir, dan suara detak jantungnya sendiri. Semua itu berpadu menjadi satu irama yang menenangkan, seolah-olah alam sendiri ikut serta dalam latihannya. Malam yang tadinya penuh dengan kecemasan, kini menjadi malam yang dipenuhi dengan konsentrasi dan pembaruan diri.
Ketika ia merasa cukup dengan latihannya, Ceun-Ceun berhenti dan berdiri diam di tengah lapangan. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, tetapi wajahnya menunjukkan kepuasan. Dia menatap tangannya yang terasa kuat dan penuh energi, merasa bahwa dia telah mencapai tingkat ketenangan dan kesiapan yang lebih tinggi.
Namun, di balik rasa puas itu, Ceun-Ceun tahu bahwa latihan ini hanya bagian kecil dari persiapannya. Musuh yang mereka hadapi bukanlah lawan sembarangan. Dia harus terus berlatih, terus memperkuat dirinya, baik secara fisik maupun mental, untuk menghadapi bahaya yang mungkin datang kapan saja.
Dengan pikiran itu, Ceun-Ceun memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Ia berjalan perlahan melalui koridor biara yang kini terasa lebih tenang. Ketika sampai di kamarnya, ia merasa sedikit lebih ringan dan yakin bahwa tidurnya kali ini akan lebih nyenyak.
Ceun-Ceun merebahkan diri di tempat tidurnya, menarik selimut dan menutup mata. Dengan latihan yang baru saja ia lakukan, tubuhnya terasa lebih lelah, tetapi hatinya lebih tenang. Perlahan-lahan, ia terlelap dalam tidur yang akhirnya datang, dengan pikiran yang tenang dan tubuh yang siap menghadapi tantangan esok hari.