webnovel

Journey on Earth (8)

"Hm ... Hm .. Hm ..."

Lantunan nada itu membangunkanku. Aku langsung menerka siapa yang menyanyikannya.

Mataku terbuka, tampak sosok berpakaian merah gelap tengah duduk di sisiku, tatapannya menghadap ke depan.

"Hm ... Hm ... Hm ..." Dia lanjutkan nyanyiannya. Suaranya terdengar gemetar, membuat lagu yang dia lantunkan semakin menyentuh. "Hm ... Hm ... Hm?" Nadanya diakhiri dengan suara ungkapan bingung. Dia hentikan nyanyiannya. Mata kuningnya melirik ke arahku. Dia tersenyum.

"Selamat pagi, Raana."

Kalimat pertama yang kudengar pada hari ini. Aku yakin, sepanjang malam dia di sini. Aku ingat sebelum aku tidur, Mentari masih duduk di sisiku. Dia bahkan tidak tampak berganti posisi sama sekali, walau sekarang sudah berganti wujudnya menjadi dewa.

Wujud dewa dan manusia dewasa dari Mentari tidak berbeda jauh, hanya dari tinggi saja. Namun, aku dengar ada wujud lain dari Mentari yang belum pernah kulihat. Ah, begitu banyak pertanyaan yang ingin kutanya.

"Pagi," balasku.

Dia mungkin masih di sini untuk menunggu kesimpulanku selama berada di bumi. Maka, kucoba ucapkan sekarang juga.

"Perjalanan di bumi cukup menyenangkan," jawabku tulus. "Namun, aku juga penasaran akan kehidupan lain di bawah sana."

"Aku juga, Raana," balasnya, masih menatap bumi di kejauhan sana. "Begitu banyak hal yang tersembunyi di bawah sana yang perlu dijelajahi."

Aku tidak membalas, berniat menunggu kalimat berikutnya, entah itu ajakan untuk wisata lagi atau hal selain itu. Namun, dia diam saja.

Aku seketika ingat kejadian malam itu. "Mentari, aku ingin bertanya."

Dia menyahut tanda mendengar.

Aku pun duduk dan meraih Bintang. "Kenapa Bintang tidak membantu? Aku nyaris tewas. Padahal sebelumnya Bintang pernah menjemputku dari bumi." Aku menatap Mentari, menuntut jawaban.

Mentari mengamatinya sejenak. "Biar kulihat." Begitu aku serahkan Bintang, dia kembali berkomentar. "Daya sihirnya masih seperti biasa. Aku tidak melihat ada yang salah. Barangkali, ada sesuatu yang menghambatnya."

"Apa itu?" tanyaku.

Mentari meletakkan Bintang ke tanah bulan. "Sudah. Biarkan dia beristirahat dulu."

Aku menatapi Bintang dengan kecewa. Harapanku dia bisa lebih membantu ke depannya. Namun, dia sekarang hanyalah benda atau hanya boneka, seperti yang Samira katakan.

Samira!

"Bagaimana kabar Samira?" tanyaku.

Mentari tampaknya terkejut akan pertanyaan itu. Namun, dia kembali tersenyum tipis. "Ramini menjaganya."

Aku lega mendengar kabar itu. Berarti, Samira tidak perlu merasa kesepian lagi, begitu pula dengan Ramini. Namun, ada sesuatu yang masih membekas dalam pikiranku. Perihal pertanyaan dari Samira.

"Mentari," panggilku. "Aku dan Samira mengobrol banyak hal."

"Oh, apa saja?" Mentari terdengar tertarik.

Aku kembali mengingat pertanyaan yang pernah Samira ucapkan. "Samira pernah bercerita kalau orang tuanya telah pergi ke tempat yang indah. Tempat di mana tidak ada lagi rasa sakit maupun sedih. Tempat apa itu?" tanyaku.

Mentari terdengar tertawa sedikit. "Itu surga, Raana. Tempat kita akan kembali."

"Bagaimana rupa dari surga itu? Kita bisa ke sana?" tanyaku lagi.

"Surga itu tempat di mana kita akan kembali. Kita hanya bisa ke sana jika sudah waktunya," jelas Mentari.

"Kapan?"

"Waktu adalah rahasia. Kita tidak tahu pasti kapan waktu kita habis." Lagi-lagi, Mentari menggunakan kalimat yang tidak kupahami waktu itu. Namun, setelah kisah itu, aku mulai mengerti dan kembali merenung.

Aku yang awalnya mengira itu hanya tempat biasa hanya ber-"oh" pelan. Tanpa menunggu jeda, langsung kulempari pertanyaan berikutnya. "Aku dengar jika para dewa akan ke bumi jika terjadi masalah. Benar begitu?"

"Benar." Kali ini, Mentari menjawab dengan singkat.

"Kenapa? Padahal Mentari bilang kita akan ke bumi untuk wisata," protesku.

Mentari tersenyum. "Ya, memang wisata. Namun, kita tidak bisa dipungkuri kalau bahaya selalu mengintai."

Aku tidak bisa menjawab setelahnya. Jadi, aku tanyakan hal lain. "Pertanyaan berikutnya, para dewa hanya ada untuk ditugaskan menjaga sesuatu?"

"Tidak selalu menjaga, mengurus hal lain juga," ujar Mentari.

"Kalau begitu, Mentari muncul ketika matahari baru diciptakan?" tanyaku.

"Eh?" Baru kali ini kulihat Mentari tampak bingung. Dia masih mempertahankan senyum walau dihiasi kebingungan di wajahnya.

"Yah, kalian ada karena sesuatu, bukan?" Aku coba mengulang pertanyaan.

"Benar." Dia jawab dengan singkat.

"Kalau begitu, Mentari ada setelah matahari muncul?" tebakku.

Mentari sepertinya mulai paham. "Ya, tapi itu bukan aku, melainkan pendahuluku."

Ucapannya entah kenapa membuatku terkejut. "Mentari punya pendahulu?"

"Semua dewa saat ini adalah pengganti pendahulunya," terang Mentari.

"Siapa pendahulumu?" Aku tentu penasaran.

"Namanya juga Mentari."

"Mentari? Kenapa namanya sama?" Aku kian bingung jadinya.

"Karena nama kami diambil dari tugas kami pula," jelas Mentari. "Contohnya, Kematian menggantikan pendahulunya yang sudah tiada."

"Dewa bisa meninggal? Kukira kalian abadi," sahutku.

"Tidak ada yang abadi selain sang Pencipta," balas Mentari. "Para dewa memang berumur panjang, tapi mereka tidak akan lepas dari kematian."

"Jadi, itu maksudmu yang 'waktu habis' tadi?" Aku mulai menghubungkan benang pembicaraan.

"Benar! Raana sudah mulai paham." Mentari terdengar bangga. "Setelah itu, baru mereka bisa pergi ke surga."

"Begitu," komentarku. Masih saja bingung perihal tempat yang disebut "surga" itu. Aku lalu bertanya lagi. "Lalu, berapa umurmu?"

Mentari tersenyum lagi. "Perkara itu tidak perlu Raana ketahui. Pastinya, aku jauh lebih tua dibandingkan dewa-dewa saat ini."

Aku ternganga mendengarnya. Setua itu dia?

"Nah, ada lagi pertanyaannya?" tanya Mentari, dia tidak terdengar lelah melainkan semangat menunggu pertanyaan lain.

Aku teringat akan pertanyaan yang terus menghantuiku selama di bumi. Akibat Samira, hal ini kini terasa penting untuk aku ketahui. Memberanikan diri, aku ajukan pertanyaan terakhirnya.

"Mentari, kamu ayahku?"

Keheningan menyambut. Bahkan wajah Mentari pun tidak menunjukkan reaksi apa pun selama beberapa saat, barangkali karena dia tidak pernah menduga pertanyaan ini akan keluar dari mulutku.

Melihatnya bingung, aku tambahkan penjelasan hasil diskusi dari Samira waktu itu. "Mentari merawatku sedari kecil, aku pun ada karena Mentari, dan sampai sekarang pun Mentari yang terus menjaga dan memastikan agar aku aman. Setahuku, itu tugas utama orang tua terhadap anaknya. Apa lagi bukti yang dibutuhkan?"

Kali ini, Mentari tampak memendam jawaban itu dalam dirinya. Melihatnya terdiam dan tatapannya kian sayu seakan menyembunyikan sesuatu yang menyakitkan. Namun, tangannya tetap bergerak untuk membelai rambutku.

"Raana tercipta karenaku, dan aku yang memberi nama dan menjagamu hingga sekarang." Dia ulangi penjelasan dariku dengan sudut pandangnya. "Menurut Raana sendiri, bagaimana?" Pada akhirnya, dia tetap memberikan jawaban yang membingungkan.

Aku menunduk, memperhatikan tangannya yang membelai rambutku. Rasa kecewa mencuat dari lubuk hatiku. "Kenapa Mentari seakan menyembunyikan itu? Padahal 'kan, bisa langsung bilang ke Raana jika Mentari itu ayahnya."

Hening lagi. Namun, dia sudah melepas tangannya. Membiarkanku terjebak dalam kehampaan. Kenapa dia seakan malu mengungkapkan itu? Padahal kurasa itu bukan hal yang patut disembunyikan. Entah apa lagi yang dia simpan dariku.

Mentari lalu berdiri. Begitu tingginya dia, bahkan aku hanya setinggi lututnya saja. Dia kembali bersuara, kali ini lebih rendah dari biasanya.

"Ranaa jaga diri, ya. Nanti aku akan membawakan hadiah."

Dia lenyap bersama kalimat terakhir yang dia ucapkan. Meninggalkanku seorang diri di bulan dalam keheningan.

TAMAT