"Raana di mana, nih?"
Mendengar suara Mentari membuatku langsung berlari ke arah sumber suara, yaitu menuju pintu luar.
Melihat dirinya berdiri di depan, aku melompat. "Mentari!" Aku memeluk perutnya.
Mentari tertawa kecil sambil mengelus rambutku. "Bagaimana tadi?"
"Tidak buruk, Ramini bercerita sedikit tentangmu." Aku menjawab.
"Oh, ya? Apa katanya?" Mentari terdengar tertarik.
"Mentari ke sini untuk mengusir iblis, bukan?" Aku memastikan.
Mentari tersenyum. "Betul. Itu bukan perkara yang sulit lantaran dewa mana pun bisa melakukannya."
"Apa itu berarti aku bisa melakukannya?" tanyaku.
Wajah Mentari yang biasanya cerah kini tampak murung, bahkan dia berusaha mempertahankan senyum meski tampak jelas dia tampak tidak senang mendengar ucapanku.
"Ra ... Raana tidak perlu berburu iblis." Baru kali ini kudengar Mentari terbata-bata. "Karena iblis sudah dilarang untuk mengusik titisan dewa."
"Ah, begitu." Aku yang waktu itu tidak begitu paham hanya mengiakan. "Kukira mereka akan memburuku."
"Oh, tidak." Mentari kembali tersenyum seperti biasa. "Mereka takut kepadaku."
Aku mengiakan tanda mendengar.
"Bagaimana tadi?" Kudengar suara Ramini dari balik ruangan sana.
"Sejauh ini aman," lapor Mentari. "Namun, aku menemukan sejumlah kejanggalan yang mungkin akan terlihat jelas di malam hari."
"Berarti kau perlu berjaga juga malam ini," simpul Ramini. "Sudahlah, sebaiknya tunggu baru beraksi."
Mentari mengiakan, dia kemudian menatapku. "Raana mau berkeliling?"
Aku mengangguk dengan antusias. Inilah yang kutunggu.
"Baik, mari bertualang!" Mentari meraih tanganku kemudian berjalan. Tidak lupa juga dia pamit kepada tuan rumah. "Ramini, kami pergi sebentar!"
Ramini hanya mengiakan dan kami pun keluar dari rumahnya.
***
Desa ini tampak sunyi meski matahari sudah tinggi, keherananku semakin bertambah ketika rumah-rumah tampak begitu tertutup seakan tidak berpenghuni.
Mentari rupanya menyadari kebingungan yang kualami sehingga dia menjelaskan selagi melangkah. "Warga desa tengah dilanda ketakutan. Mereka tahu iblis tengah berkeliaran di sekitar mereka. Jadi, aku suruh mereka menetap di rumah dan membiarkan aku mengurusnya."
"Apa tugas dewa itu membasmi iblis?" tanyaku. Tugas seperti itu terdengar merepotkan.
"Kami melakukannya sekehendak hati, manusia sudah belajar cara melawan musuh mereka," jawab Mentari. "Nanti, di desa ini, akan kedatangan pelindung bagi mereka. Untuk sementara, biar aku jaga dulu desa ini."
Aku mengiakan tanda mengerti.
"Raana lihat jejak itu?" Mentari menunjuk ke arah depan, sebuah tanah yang terlihat telah ditekan ke dalam hingga membentuk lubang dangkal.
Aku mengiakan, aku melihatnya. "Apa itu?"
"Itu jejak iblis," terang Mentari. "Mereka berkeliaran setiap malam dan meninggalkan sejumlah jejak. Malam ini, dia akan berburu lagi."
"Lagi?" beoku. Berarti ini bukan kali pertama?
Mentari mengiakan. "Betul. Nah, karena malam nanti akan sedikit menakutkan, Raana lebih baik menunggu di rumah, ya."
Rumah yang dia maksud mungkin saja tempatku dilahirkan dulu, di bulan sana. Jika aku disuruh pergi lagi, bukankah itu berarti perjalanan di bumi terbilang gagal? Aku yang merasakan kejanggalan langsung menyahut. "Bukannya Mentari bilang iblis tidak ingin menganggu titisan dewa, berarti masih aman, 'kan?"
"Betul, Raana. Namun, aku tidak ingin Raana ketakutan melihat wujudnya. Sementara saja, kok. Setelah semua selesai, aku akan mengajakmu jalan-jalan lagi, oke?" Dia tersenyum.
Aku keberatan. "Bagaimana kalau misal Mentari antar aku ke tempat tinggal yang jauh dari iblis itu?"
Kuharap tawaran ini membuatnya luluh. Membiarkan dia berpikir sejenak, aku amati sekitar. Desa ini sungguh sunyi sehingga tidak banyak hal menarik. Rasanya sama seperti di rumahku.
Mentari akhirnya bicara. "Baik. Akan kutitipkan kamu ke Samira."
Wajahku seketika dihiasi senyum lantaran aku bisa menemui teman pertamaku, tapi di sisi lain kembali ragu. "Apa Mentari akan menjamin Samira aman juga?"
"Jika iblis tahu ada Raana, mereka tidak akan berani," jawabnya terdengar yakin.
Pada akhirnya, dia membawaku ke tempat yang cukup jauh dari desa itu. Sebuah rumah kecil yang terletak di perbatasan antara desa dan hutan.
Meski tampak kecil, aku bisa langsung masuk. Namun, Mentari mengajariku untuk mengetuk pintu atau setidaknya berseru untuk memastikan kalau kami layak memasuki rumah itu.
"Samira!" panggil Mentari.
Tidak lama, terdengar sahutan dari dalam. "Dewa Mentari?" Dia terdengar kaget.
"Ada tamu spesial untukmu." Mentari berkata dengan nada.
Kudengar pintu dibuka dan terlihat Samira menatapku. Dia terbata dan nyaris terlihat hendak jatuh kalau saja tidak memegang sisi pintu. "Ka ... Kamu?"
Kupikir dia sepertinya lupa namaku. Aku kembali memperkenalkan diri. "Ini Raana dan Bintang." Aku lalu menunjuk Mentari. "Juga Mentari."
Samira menatap kami secara bergantian baru kemudian bicara. "Ada apa?"
"Raana ingin menginap, bolehkah?" tanya Mentari.
Samira kembali menatap kami, seakan mempertimbangkan suatu keputusan yang berat. "Boleh."
"Terima kasih!" Mentari mendorongku dengan pelan. "Aku titipkan dia, ya. Nanti dijemput."
Tanpa menunggu balasan, Mentari pergi begitu saja. Meninggalkanku bersama Samira yang canggung.
Samira mundur dari pintu. "Silakan masuk."
Aku pun melangkah masuk ke rumah Samira. Baru kali pertama aku mengunjungi rumah teman dari bumi selain Ramini. Ketika pintu ditutup, aku dituntun untuk duduk di tengah. Samira melangkah ke belakang untuk beberapa saat sebelum akhirnya kembali membawa beberapa jenis makanan.
"Makanlah," ujar Samira.
Aku menolak dengan halus. "Tidak, terima kasih."
"Oh, aku lupa," sahut Samira. Sepertinya dia ingat ketika aku menjelaskan bahwa dewa dan titisannya tidak perlu makan.
Kubiarkan keheningan menyambut kami berdua. Aku memeluk Bintang selagi Samira masih saja diam memandangi meja. Canggung. Aku bahkan belum menemukan topik obrolan yang mungkin menarik perhatiannya.
"Tidak kusangka kamu berkunjung," ujar Samira pada akhirnya. Dia bicara sambil menuangkan teh ke gelasnya dan mengunyah kue kering. "Jujur saja, aku merasa sedikit kesepian."
"Aku juga," sahutku sambil memegang Bintang. "Aku ingin teman lain selain Bintang dan Mentari."
Samira mengiakan, mata hitamnya terlihat sedikit berkaca. Di balik wajahnya yang dihiasi senyum tersirat perasaan pilu yang dipendam. "Dulu, aku punya sosok yang kukenal sejak lahir dan dia teman pertamaku."
"Benarkah?" Aku mulai tertarik dengan kisahnya.
"Ya, dia kakakku," jawabnya. "Namanya pun mirip denganku, Samir."
"Seperti apa dia?" tanyaku.
Samira memandang sekitar, seakan mengingat sesuatu. "Dia baik, sangat penyayang. Dia peduli padaku dan Ibu. Namun ... Sekarang aku tidak tahu dia di mana."
Mendengar kisahnya, muncul perasaan sakit dalam diri, seakan sebuah jarum kecil menggores hati. Dari sini aku belajar untuk berempati.
"Apa yang terjadi?" Kutanya dia.
"Kami terpisah waktu pindah rumah," jawab Samira. "Awalnya kami pergi bertiga, lalu iblis menyerang kereta kami. Ibu berhasil lolos sambil menggendongku, meninggalkan Samir yang sudah diterkam iblis."
Mulutku ternganga mendengar kisahnya. Aku memang belum pernah melihat iblis secara langsung, tapi membayangkan saja rasanya membuat resah batin.
"Kini, setelah tinggal di sini, Ibu dan aku hidup berdua seperti biasa." Samira meanjutkan. "Namun, baru sebulan ini Ibu meninggal karena sakit."
"Meninggal?" beoku dengan polos. Aku memang pernah bicara dengan Samira perihal orangtuanya dan dia bilang mereka pergi ke suatu temat yang indah. Kucoba memahami maksudnya. "Meninggalkanmu? Ke mana dia pergi?"
Samira menarik napas. "Raana sepertinya belum mengerti. Tidak apa. Kamu cukup memahami jika kita semua akan pergi meninggalkan kehidupan saat ini."
"Untuk apa?" tanyaku.
"Aku ... tidak tahu." Samira menunduk. "Yang kuyakini, kita semua akan kembali ke tempat kita berasal."
Aku yang waktu itu masih belum mengerti hanya tersenyum dan bilang. "Ya, suatu saat kita akan bermain di sana."
Suasana hening menyertai. Hanya senyuman dari Samira yang kulihat selagi merasakan aura janggal pada siang ini. Rasanya semua ini membuatku resah, seakan sesuatu tengah menunggu.
Entah apa itu.