webnovel

Journey on Earth (5)

"Raana belajar banyak." Mentari menjawab. "Kini dia tahu nama benda-benda."

Rupanya, itu tidak memuaskan si wanita. Raut wajahnya tidak berubah, lebih terkesan dingin bahkan tampak merendahkan.

"Di usia sepuluh tahun dia baru belajar itu?" komentarnya. "Ayah macam apa kau?"

Mentari diam saja, tapi aku yakin perasaannya mungkin saja terluka mendengar itu.

Aku tidak tahu bagaimana anak manusia belajar. Barangkali caranya berbeda dari yang kubayangkan. Dari ucapan wanita itu jelas aku terkesan terlambat belajar bahkan tertinggal jauh. Membuatku sedikit malu kenapa tidak mengetahui bumi lebih banyak. Tapi, sudahlah, percuma saja menyesal sekarang.

"Akan kubuatkan sarapan, untukku saja." Dia menjauh. "Kalian tidak butuh, 'kan?"

"Makanlah," sahut Mentari.

Dengan begitu, dia pergi.

Aku menahan diri untuk tidak berkomentar buruk tentang dia. Aku belum kenal tapi kesan awal sudah seperti itu. Barangkali Mentari punya alasan lain untuk menjadikannya sebagai teman. Cukup salut melihat reaksinya yang tampak membalas dengan santai seakan itu hanya obrolan biasa. Atau memang benar ini dialog mereka saban kali berjumpa.

"Tidak apa, Raana." Rupanya Mentari menyadari padanganku akan wanita itu. "Dia tidak bermaksud kasar."

"Siapa dia? Mentari kenal?" tanyaku. Melihat reaksi Mentari terhadap ucapan wanita itu, aku menebak bisa jadi mereka sudah lama berteman sehingga sifat terburuk pun bukan jadi masalah lagi.

Aku belum pernah memiliki teman lama yang berbeda pandangan, kecuali Mentari seorang. Tapi, dia juga tidak pernah menimbulkan rasa pertentangan karena aku lebih sering mengiakan semua yang dia ucapkan. Karena aku tidak tahu apa pun sementara dia tampak mengetahui segalanya.

"Ramini dan aku sudah lama berteman," jawab Mentari. "Aku mengenalnya hampir setengah dekade yang lalu. Waktu itu, Raana masih sibuk bermain bersama boneka berian dari warga desa ini."

"Apa yang kaulakukan di sana?" tanyaku penasaran.

"Tidak banyak, menurut para dewa," jawab Mentari. "Aku hanya mengusir beberapa makhluk buas dari desa ini."

Barangkali kecil bagi Mentari tapi bagi warga sekitar bisa jadi itu suatu yang luar biasa. Di bulan, tidak ada gangguan lain lantaran hanya ada aku dan Bintang. Tapi, aku mengerti rasanya diganggu dan itu sangat tidak nyaman.

"Ramani manusia pertama yang menerimaku," lanjutnya. "Dari situlah kami saling kenal."

Aku mengiakan, barangkali ini menjadi alasan Mentari memercayakan wanita itu untuk mengajariku. Meski dia terlihat kasar walau mungkin saja dia bermaksud untuk jujur tapi tidak mempertimbangkan terlebih dahulu.

Mentari lalu berdiri. "Selagi Ramini sarapan, aku akan pergi. Kabari dia nanti."

"Ke mana?" Aku tentu saja tidak terima. Dia tidak bisa meninggalkanku di sini dengan wanita asing!

"Tidak jauh, hanya memeriksa." Mentari tersenyum berniat menenangkan, tapi aku justru merasa sebaliknya. "Sebentar saja, aku akan kembali."

"Mentari!"

Aku mengangkat tangan, berusaha meraihnya yang telanjur berdiri tegak dan siap berangkat.

Aku tidak bisa menahannya lebih lama. Membiarkan Mentari pergi berarti aku harus diam di sini dan bicara pada wanita itu. Tidak mungkin aku mendiamkan dia sementara niat Mentari melemparku ke sini hanya untuk mengajari tentang bumi. Sungguh aneh caranya mendidikku, langsung pada sosok yang barangkali punya ilmu itu.

"Raana jaga diri, ya." Mentari mengelus rambutku sebagai ucapan perpisahan. "Nanti aku bawakan sesuatu."

Maka, dia raib dari pandangan.

***

"Mana ayahmu tadi?" Wanita itu datang beberapa saat setelahnya. "Lho, ke mana dia?" Dia langsung saja menyemprot begitu menyadari aku sedari tadi duduk sendirian di serambi.

"Mentari bilang ada yang ingin dia periksa di sekitar sini," jawabku.

Ramini menatapku sejenak kemudian kepalanya mendongak pelan ke belakang dan dia bersuara "oh" begitu panjang sebagai reaksi menyadari sesuatu. Terlihat aneh memang, barangkali karena aku belum pernah mencobanya.

"Memang benar kami undang dia ke sini untuk mengatasi sesuatu," kata Ramini. "Nah, sebagai ganti, dia justru menyuruhku mengasuh anaknya. Kalau tahu, aku harusnya memaksa kepala desa untuk memberinya upah."

Aku memahami sistem upah di dunia ini dari Mentari. Komentarku sama seperti dia.

"Upah tidak ada gunanya bagi para dewa," ucapku persis seperti Mentari waktu itu. "Toh, makan dan minum saja tidak perlu."

"Ah, sudahlah." Ramini membalikkan badan. "Kalau kamu berbuat onar di sini, aku tidak akan segan menghukum meski kau pada hakikatnya anak dewa."

Aku mengiakan tanda patuh. Wanita ini seram juga.

Keheningan berlanjut, bahkan Ramini tidak juga pindah tempat. Kukira dia akan bosan denganku dan pada akhirnya minggat. Tapi, justru sebaliknya. Dia barangkali menganggap permintaan Mentari untuk menjagaku itu mutlak karena sebagai gantinya Mentari akan menyelesaikan masalah di desa ini.

Jadi, benar adanya ucapan Samira waktu itu. "Yang aku tahu, para dewa hanya akan turun ke bumi jika ada masalah."

Berarti benar Mentari ke sini lantaran ada sesuatu yang menganggu di desa dan dia segera turun tangan. Terlintas dalam benakku untuk bertanya kepada Ramini.

"Ramini, aku ingin tahu lebih banyak tentang manusia," ujarku.

"Katakan saja," balasnya yang kemudian duduk di lantai berlapis kayu ini. Masih menjaga jarak denganku.

"Apa yang kalian lakukan pada para dewa jika bertemu langsung?" tanyaku. "Selain Mentari maksudnya."

Ramini menggaruk pelan pipinya, mata dia menatap ke sekeliling, tampak menginggat sesuatu. "Aku tidak terlalu memuja para dewa layaknya manusia lain. Karena bagiku kalian hanya manusia yang kebetulan lebih beruntung dari segi kekuatan."

"Jadi, ada yang memuja tapi ada juga yang tidak peduli?" Aku mencoba menangkap maknanya.

"Ada banyak kisah tentang para dewa di masa lalu, setiap dari mereka memiliki keahlian tersendiri dan masa kejayaan juga," tambah Ramini, suaranya lebih kalem ketika menjelaskan kali ini. "Hampir setiap abad dewa berganti, tapi gelarnya tetap sama. Begitu juga dengan ayahmu itu."

"Mentari?" tebakku. "Memang siapa pendahulunya?"

Padahal umur Mentari juga terbilang panjang, lantas posisi siapa yang dia gantikan?

"Aku tidak tahu," balas Ramini. "Tanya saja dia."

Jawaban yang tidak memuaskan, tapi tidak salah juga.

"Apa maksudmu dengan 'para dewa itu manusia yang lebih beruntung' tadi?" tanyaku.

"Ya, kalian hanya makhluk biasa di bumi, tapi kemudian dipilih menjadi kaki tangan Sang Pencipta, begitulah menurut kepercayaanku." Ramini kemudian menatap sekeliling ruang, terdapat beberapa lukisan bergambar keluarganya.

Aku jadi semakin penasaran. "Apa saja selain itu?"

"Maksudmu?"

"Tentang dewa. Kamu bilang bahwa dewa adalah mereka yang terpilih. Mereka terpilih untuk jadi apa?" Aku mencoba bertanya lebih.

"Kamu benar-benar tidak tahu rupanya." Ramini berkata, tapi aku tidak menemukan unsur hinaan dari itu. Barangkali dia sudah cukup sabar menghadapiku. "Tentu saja untuk menjaga dunia yang mereka pilih. Sementara Mentari kebetulan telah menjaga bumi sejak beberapa abad lamanya."

"Berapa lama?" Aku bahkan tidak tahu umurnya, bagaimana bisa menebak berapa lama dia menjadi dewa?

"Entahlah." Ramini kemudian menunjuk sebuah lukisan seorang wanita. "Tapi aku ingat dulu ketika nenekku pernah menceritakan tentang seorang dewa bernama Mentari yang melindunginya dari serangan iblis."

"Benarkah?" Aku terkesima. Belum pernah kudengar Mentari bertarung melawan iblis sebelumnya. Sangat tidak adil jika dia tidak cerita.

"Nenek hanya menjumpainya sekali," ujar Ramini. "Sementara aku mengenal Mentari sejak kecil."

Dapat kurasakan mataku terbuka lebar saking kagumnya. "Teman masa kecil?"

Ramini mengangkat bahu. "Barangkali. Tapi, kami tidak sering bicara."

"Lantas, apa yang sering Mentari lakukan di sini?" tanyaku.

"Melindungi wilayah ini dari serangan iblis dan monster," jawab Ramini. "Bahkan Pemburu Sihir pun tidak banyak berkeliaran, sehingga sulit mencari bantuan."

Aku bahkan belum pernah mendengar tentang Pemburu Sihir. Hari ini sudah begitu banyak cerita yang kudengar. Akan kusampaikan pada Mentari ketika kami berjumpa.

"Terima kasih sudah memberitahu." ucapku tulus.

"Iya." Hanya itu balasannya sebelum dia pergi entah ke mana.

Sementara aku duduk diam di ruang tengah sambil mendekap bintang.

Tidak lama setelahnya, Mentari kembali.