Arya terkejut saat melihat kedatangan Sariel bersama seorang anak lelaki di gandengannya. Bahkan tatapan anak tersebut diselimuti dengan rasa takut saat menatap dirinya. Lelaki kecil tersebut tampak bersembunyi dibalik tubuh Sariel.
Mata lelaki tua tersebut kembali bergerak memindai Roni yang juga baru muncul dibalik punggung Sariel. Lelaki itu baru saja masuk kedalam ruangan tersebut untuk mengikuti Tuan Kecilnya.
"Jadi, inikah jawabanmu untuk papa atas keinginanmu memutuskan pertunanganmu!?"
Suara Arya yang lemah terdengar menggelegar. Ia terlihat sudah emosi, wajahnya yang pucat tampak diliputi warna merah. Kentara sekali kalau lelaki tersebut sedang marah pada Sariel.
Beberapa kali Rohana menahan tubuh lelaki itu agar tidak bergerak dari tempatnya berbaring. Wanita itu juga menatap Sariel dengan tajam. Tetapi Sariel tetap fokus pada Arya. Kepalanya menggeleng beberapa kali menampik tuduhan yang tak benar tersebut.
Sariel tahu pasti Evan lah yang sudah mengadu pada ayahnya. Betapa liciknya lelaki tersebut sementara dirinya lah yang mengkhianati pertunangan mereka. Apalagi dikeadaan sekarang yang justru semakin membuat pihak mereka rugi.
"Pa. Bukan itu alasan saya. Tapi..."
"Tapi kamu lebih memilih duda ini dibanding lelaki pilihan ayahmu sendiri!?" Rohana menuding Roni memotong cepat sanggahan yang diberikan oleh Sariel. Matanya berkilat penuh ancaman.
Sariel melirik sebentar kearah Roni. Terlihat jelas lelaki yang tak dikenalnya tersebut tampak sangat tak nyaman.
"Ma, jangan bicara asal seperti itu. Saya juga tidak mengenalnya," sahutnya pelan.
"Oh... Jadi kamu membelanya." Lagi-lagi Rohana berkata sinis. Ia berdiri dan berjalan kesisi Sariel. Tangannya bersedekap didada dengan tatapan sinis.
"Bahkan kamu sangat mudah berganti lelaki dengan yang baru. Entah darimana kamu dapat mengenal mereka, nyatanya dirimu memang seperti itu kan?"
Lirikan mata Rohana semakin remeh, mengejek dirinya dikeadaan terpojok seperti sekarang.
"Padahal Evan selalu memaafkan kesalahanmu setelah kamu menghianatinya dengan cowok gembel yang datang kerumah waktu itu. Tetapi sekarang kamu justru membawa lelaki yang entah berantah ini. Huh, sikapmu sangat murahan," bisik Rohana sambil memperhatikan Roni.
Sariel tak menghiraukan ucapan ibu tirinya. Matanya masih menatap ayahnya yang justru tak mau menatapnya lagi. Terlihat jelas kalau lelaki paruh baya tersebut tak ingin menatapnya sama sekali.
"Maaf Tuan. Saya bukan lelaki yang tuan tuduhkan seperti itu." Roni angkat bicara. Ia merasa sangat tak nyaman terlibat dalam perdebatan keluarga mereka. Apalagi ini adalah pertemuan pertama mereka. Ditambah dengan dirinya yang membiarkan Bello untuk ikut bersama Sariel tadinya. Dan ternyata keadaan wanita ini sangat tidak baik-baik saja.
Tetapi Arya justru tetap acuh. Ia lebih memilih membuang muka daripada mendengarkan ucapan Roni barusan. Baginya keluarga Evan adalah penolong bagi perusahaannya. Maka siapapun lelaki yang dekat dengan Sariel, yang paling pantas adalah Evan.
"Bello. Sini ikut paman. Tante Sariel sedang ada urusan dengan orang tuanya."
Roni meraih tangan Bello, ia menyunggingkan sedikit senyumnya. Ini pertama kalinya ia melihat orang tua yang sangat egois pada anaknya sendiri.
Lelaki kecil tersebut tampak keberatan tetapi ia mengalah juga. Melepaskan genggaman tangannya pada tangan Sariel. Kepalanya mendongak menatap Sariel yang terlihat sedih. Tangannya bergerak meminta Sariel untuk berjongkok. Keinginannya segera terkabul saat Sariel mengangguk.
Bello mengecup pipi Sariel sebentar sebelum ia melepaskan genggaman tangannya dan berjalan keluar dari ruangan tersebut.
Belum sampai selangkah dari depan pintu, suara Arya tampak menggelegar mengisi kekosongan ruangan yang sudah mencekam sejak tadi. Roni segera meraih Bello dan menggendongnya. Ia memeluk anak kecil tersebut yang terkejut dan tampak sangat ketakutan. Ia tak mendengar jelas apa yang baru saja mereka bicarakan.
"Kalau kamu memang ingin putus dari Evan, kamu tidak perlu memfitnahnya seperti itu. Dan sekarang! Kelakuanmj tidak ada bedanya dengan kelakuan ibumu!"
Sariel terhenyak mendengarnya, napasnya tercekat. Bukan dirinya yang dibela tetapi lelaki yang nyatanya salah tersebut yang dibela. Perasaannya campur aduk, antara kecewa dan sedih.
"Sebaiknya kamu angkat kaki dari rumahku!!!"
Wajah Arya tampak menggelap dengan rahang yang mengeras. Sariel menunduk sedih, dadanya bergemuruh hebat menahan sesak yang menghimpitnya.
"Mulai sekarang aku tak akan perduli lagi mengenai kehidupanmu kedepannya. Karena kamu memang bukan anakku!!!"
Sariel mengusap wajahnya pelan. Bukan seperti ini yang ia inginkan. Matanya tampak berkaca, sebisa mungkin ia menahannya. Tetapi lelehan airmata tersebut tetap merembes dipipi putihnya. Sekuat apapun ia menahannya, kabar yang mengejutkan tersebut tetap menembus jantungnya yang terasa berdenyut nyeri. Memang menyakitkan mendengar ucapan yang keluar dari mulut ayahnya sendiri, menyatakan kalau dirinya bukan darah daging Arya. Dan penghinaan terhadap ibunya.
"Kamu beruntung sudah aku besarkan hingga sekarang. Padahal kenyataannya kamu hanyalah anak selingkuhan ibumu!!!' Arya menuding Sariel yang kembali membatu ditempatnya. Ia tak bergeming dengan badan yang penuh gemetaran. Matanya bertambah buram tak mampu berucap apapun lagi. Ia menangis dalam diam. Ia tak bisa menampiknya karena ia tak tahu masa lalu mereka seperti apa. Ada rona abu yang menghias sudut hatinya.
"Anak jal*ng sampai kapanpun akan tetap menjadi jal*ng!!"
"Pergi kamu dari sini!!! Pergi dari hidupku!!!" Arya kembali berteriak. Tangannya bergerak mengibas beberapa kali.
"Kamu hanya membuatku benci menatap wajahmu itu!"
Beberapa perawat berlari masuk ruangan setelah mendengar teriakan Arya, melewati Sariel yang masih mematung ditempatnya. Mereka berusaha menenangkan Arya yang tampak mengamuk.
Salah seorang diantara mereka menyuntikan obat dosis rendah kedalam selang infus Arya. Terlihat jelas lelaki tua tersebut tampak mulai tenang dengan mata yang mengantuk.
Begitupun dengan Roni, lelaki itu menguping dibalik pintu. Ia tak mampu berbuat sesuatu untuk menolong Sariel karena tidak ada kuasa baginya.
"Apa kamu puas sudah membuat ayahmu bertambah parah seperti itu? Tingkat stresnya meningkat!" Rohana angkat bicara. Ada nada tak suka dalam ucapannya.
"Kamu sudah diusir oleh ayahmu. Oops," Rohana menutup mulutnya dibarengi dengan senyum puas.
"Bukan. Tapi lelaki yang diselingkuhi oleh ibumu. Jadi, pergilah dari sini sebelum dia sadar dan menyeretmu secara paksa. Aku yakin kamu akan merasa sangat tertekan dan malu."
Tanpa berpikir dua kali, Sariel langsung berbalik dan berlari keluar dari ruangan yang ditempatinya. Terlihat jelas gambaran rasa puas dari wajah Rohana.
Sariel berlari melewati Bello dan juga Roni begitu saja. Ia tak ingin memperlihatkan rasa sedihnya dihadapan anak kecil yang tak mampu bicara tersebut. Ia ingin segera pergi dari kediaman orang tuanya dan kembali menata hatinya yang sudah hancur.
Inikah jawaban kebencian Arya padanya. Pantas saja lelaki tua tersebut sangat tidak suka saat melihat dirinya. Ternyata dirinya adalah anak selingkuhan ibunya sendiri.
Langkah Sariel tampak terseok saat berjalan didepan Favilium yang ditempatinya. Ia ingat betul tatapan sinis beberapa pelayan mansion utama. Mereka kerap menggunjingnya. Inikah jawabannya.
Beberapa kali ia mengusap wajahnya yang selalu basah oleh airmata. Tak terdengar Isak dari mulutnya. Pandangannya tampak kosong.
"Nona. Kenapa dengan Tuan?" Wina bergegas menghampiri Sariel. Memapah wanita tersebut. Ia tampak gelisah dan merasa was-was. Tak biasanya Sariel sesedih ini hingga wanita tersebut tampak menangis dihadapannya. Memperlihatkan kelemahannya.
"Tuan baik-baik saja kan?" berondong Wina sambil membantu Sariel untuk duduk. Dengan cepat Wina menyuguhkan segelas air putih untuk Sariel. Wanita muda tersebut tampak sangat rapuh. Ia segera menerimanya tanpa bergerak sedikitpun, tatapan matanya masih terlihat kosong. Terlihat dari wajahnya Sariel tampak sangat sedih dan putus asa. Entah apa yang barusan terjadi, Wina tak tahu.
Wina tahu betapa Sariel sangat menyayangi ayahnya walaupun sebenarnya ayahnya sama sekali tak perduli padanya. Walaupun lelaki tua tersebut mengasingkannya, Sariel tetap meminta kabar mengenai ayahnya.
"Aku... Aku diusir dari rumah," sahut Sariel lemah. Menarik ingusnya pelan hingga menimbulkan bunyi yang cukup terdengar. Tangannya bergerak menyapu ujung hidungnya. Wina membola mendengarnya.
"Apa? Kenapa bisa?" Wina tampak tak percaya. Ia meletakkan dirinya begitu saja disamping wanita yang terlihat sangat tidak berdaya tersebut.
Sariel berpaling menatap Wina. Ia tersenyum dengan senyuman pahit yang menghiasi bibirnya, membuat Wina merasa takut melihatnya.
"Karena aku bukanlah anak kandung papa," Sariel terisak dengan suara serak yang tercekat ditenggorokan. Wina tersentak dan segera memeluknya dan menepuk bahunya pelan.
"Papa tak ingin melihat wajahku lagi karena aku anak selingkuhan mama," isakan Sariel bertambah keras. Tubuhnya bergetar hebat.
Wina tak mampu berbuat apa-apa. Ia hanya mampu menenangkan wanita yang terlihat gelisah tersebut.
"Tidak apa-apa, Non. Belum tentu Nona bukan anak kandung Tuan Arya. Bisa saja Nona memang benar anak kandung Tuan. Hanya saja ada kesalahpahaman di masa lalu."
Sariel menggeleng lemah.
"Sekarang Nona tenangkan diri dulu. Mungkin saja kesalahpahaman ini bisa diselesaikan."
"Tapi Wina... Aku juga tak bisa bergantung dengan papa lagi. Ada keraguan didalam hatiku."
"Baiklah. Kalau begitu saya akan ikut dengan Nona. Kita akan keluar bersama dari rumah ini."
Sariel diam sejenak. Kembali menarik ingusnya. Ia melepaskan pelukan mereka. Menatap Wina dengan intens. Matanya terasa sangat sulit terbuka karena membengkak. Ini pertama kalinya ia menangis sehebat ini dalam hidupnya.
"Tapi bagaimana dengan pekerjaanmu? Jangan libatkan masalahku dengan dirimu."
Wina menggeleng, matanya tampak memerah.
"Nona adalah segalanya bagi saya. Dan Nona juga yang selama ini banyak membantu saya dan keluarga saya. Saya ikhlas ikut kemanapun Nona pergi."
Sariel diam sebentar menatap Wina yang penuh harap. Ia mengangguk lemah kembali memeluk wanita itu.
Tok tok tok
Terdengar bunyi pintu yang digedor keras dari luar. Mereka kembali menghentikan kegiatan mereka. Sariel mengernyit menatap Wina penuh tanya. Tetapi dibalas Wina dengan mengangkat kedua bahunya. Keduanya berpaling secara bersamaan kearah pintu yang kembali digedor dengan lebih kencang dari sebelumnya.
Wina segera berdiri dan berjalan kearah pintu. Belum sempat ia membukanya, pintu sudah dibuka dengan paksa. Nino tampak berkacak pinggang didepannya. Menatap Sariel dengan nyalang.
"Kenapa kamu selalu menyusahkan hidup kami!?" Ia berteriak berjalan kearah Sariel. Wina bergerak cepat menghalangi langkah lelaki tersebut.
"Kamu sudah membuat kelaurga Evan menggantung perusahaan papa. Apa kamu tidak berpikir bagaimana kedepannya kehidupan kita kalau mereka menghentikan kerjasamanya dengan kita!!?" Mata lelaki tersebut tampak berkilat marah.
Tetapi yang diajak bicara hanya diam membatu.
"Tuan Nin__"
"Diam!!" bentak Nino. "Aku tidak bicara denganmu tetapi bicara dengannya!!"
Nino mendorong Wina hingga wanita tersebut terhuyung. Baru saja Nino melangkah kearah Sariel, dering handphonenya berbunyi. Ia menghentikan langkahnya. Tangannya bergerak meraih handphone tersebut, menatap nama pemanggilnya. Ia berbalik kearah pintu sambil menghentikan langkahnya sebentar, mendelik tajam kearah Sariel sebelum melengos dibalik pintu.
***