webnovel

Tak Terima

Ya.. demikianlah manusia, demikianlah aku, demikianlah kamu, kita; yang sudah jadi sebuah kebiasaan untuk selalu lapang dada, memaafkan kesalahan yang hanya itu-itu saja. Namun pada pertemuan kita yang terkesan menenggelamkan ini, aku tak lagi terima jika harus berlapang dada, sampai waktu benar-benar mengizinkan. 。 ⎙ Ranu dan Andra sudah menyandang status sebagai sahabat karib selama lebih dari empat belas tahun. Sosok Andra yang cenderung berbeda dari lelaki kebanyakan membuat Ranu merasakan perasaan cinta yang belum pernah di rasakan olehnya; cinta pertama. Ia selalu lari dan sebisa mungkin mengelak dari rasa itu sendiri, meski Ia tahu hal itu tidak sepenuhnya dibenarkan. Tapi, Ia terlalu takut untuk patah hati dengan perasaan Andra yang masih sama; hanya menganggapnya sebatas 'sahabat karib.' Lalu ditengah semua kepura-puraan yang Ranu ciptakan agar perasaannya tidak terbongkar, ada sosok Ayu, si primadona sekolah yang berhasil membuat Andra jatuh hati pada pribadinya. Sepanjang hidupnya, Ranu selalu berada dalam pelarian dan mimpi-mimpi buruk atas rasa itu sendiri. Sampai akhirnya Ia memberanikan diri untuk menerima kenyataan, meninggalkan Jogja, dan mulai mencintai Braga. Ceritanya di tanah Jogja masih Ia simpan baik-baik dalam kenangan, hanya perasaannya saja yang berbeda. Bagi Ranu, kisahnya di tanah Jogja bukan hanya persoalan cinta remaja semata, meski tidak ada salahnya juga jika kau ingin beranggapan seperti itu. Kisahnya tentang Jogja, Andra, dan Ayu adalah sebaik-baiknya penghantar yang membawanya pada dunia serta hal-hal baru didalamnya. Dan menemu Naru. Jogja, 2010. Temui Ranu, Andra, Ayu, dan Naru di IG: @oceanbehindme

oceanbehindme · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
14 Chs

BAGIAN 8; SEMAKIN JAUH SAJA RASANYA

Sudah enam bulan aku dan Andra bersekolah di SMA Harapan Bangsa, dan mulai senin besok, kami diliburkan sebelum benar-benar menghadapi persaingan di semester kedua. Tak banyak yang berubah, teman-teman sekelasku masih asik seperti biasanya, aku belum kehilangan mereka.

Kami masuk ke eksterkulikuler yang kami inginkan. Rendra dan Dikri berhasil masuk ke tim basket sekolah, Sawa dan Hanna sekarang sudah jadi anggota sanggar tari karena kecintaan mereka terhadap seni gerak tubuh, Ratu masuk eskul PMR, sementara aku masuk eskul fotografi.

Bentuk sekolah masih tetap sama, hanya pagarnya saja yang di cat ulang.

Yang berubah malah Andra.

Dia masuk OSIS dengan ambisi-ambisi nya yang bangkit setelah pemilihan ketua kelas bersama Ayu. Aku masih sering berangkat ke sekolah dengannya, tapi belakangan ini justru Ia sering lupa akan janjinya untuk selalu pulang bersama selama masa SMA.

Sebenarnya aku 'nggak terlalu bergantung sama janjinya Andra, karena waktu itu bukan aku yang membuat janji, melainkan dirinya sendiri. Mungkin dulunya janji itu adalah satu-satunya jalan bagi Andra untuk memudahkannya dalam bergaul. Sepertinya sekarang Andra sudah tidak butuh aku lagi. Dan hal itu berhasil membuatku merasa kesal.

Kriettt.. pintu kamarku berdenyit nyaring.

Aku memberhentikan aktivitas mengutak-atik kamera analog ku, mengarahkan pandanganku kepada ibu yang hanya berdiri di depan pintu sambil tangan kirinya memegangi gagang.

"Ibu baru habis masak brownies, kamu anterin dulu gih kerumah Andra." Titah ibu, kembali menutup pintu.

Aku menghela napasku, membereskan mejaku kecil-kecilan agar lebih enak dilihat nantinya, hingga kemudian ikut pergi menyusul Ibu di dapur.

Hari ini seisi rumah dipenuhi dengan aroma cokelat yang hangat. Di atas meja makan, sudah disiapkan oleh Ibu seloyang kue brownies yang nantinya akan aku antarkan pada Andra.

Ibu menghampiriku yang berdiri di tepi meja dengan bahu yang rapuh, Ia mengelus-ngelus pundakku. Hangat sekali.

"Udah, 'nggak usah dipikirin.. Andra itu kan juga manusia, Ya wajar kalau dia lupa. Nanti kamu omongin baik-baik aja sama dia masalah janji kalian itu, kalo 'nggak dibilangin ya dianya mana akan tahu Ran." Kata Ibu, memberi saran.

Omongan ibu memang ada benarnya, tapi entah kenapa.. ada rasa sakit di hatiku yang lebih dari sekedar janji yang diingkari. Aku tak bisa mengatakannya pada ibu karena bingung harus bagaimana memulainya.

Aku memang orang yang tak pandai mengartikan rasa, semua rasa yang pernah aku jumpai di dalam hidup seringnya justru malah membuatku semakin bingung. Semuanya berenang di kepala; cinta, patah, tumbuh, jatuh, sedih, senang, bangkit, cemburu.. aku tak tahu bedanya apa.

Kadang cinta bisa sama seperti sedih, sama seperti jatuh, seperti patah. Kadang cinta juga bisa sama seperti senang, sama seperti bangkit, seperti tumbuh.

Yang menenggelamkan, yang tunduk di hadapan cinta.

Perasaan manusia, perasaanku, adalah teka-teki itu sendiri.

Ibu kemudian menyenggol bahu kanan ku. "Kamu itu bukannya 'nggak bisa maafin Andra karena ikar janji, kamu itu cemburu karena Andra dekat-dekat cewek secantik Ayu kan?"

Lalu yang terakhir.. ada cemburu yang—, entah bagaimana aku harus menafsirkannya.

Aku tidak membalas perkataan ibu, hanya mengangguk-ngangguk dan bergumam kecil, 'Oh.. jadi itu toh, perasaan gundah yang aku rasakan semalaman ini sampai ingin menyalahkan Ayu.'

Apa ini bisa disebut cemburu? Seperti kata kebanyakan orang.

"Ya, kayaknya bener sih Bu."

Ibu terkekeh kecil, "Ran Ran.. Ibu tuh heran ya sama kamu. Zaman sekarang orang malu mengakui kalau dia cemburu, eh kamu malah blak blakan ngaku."

"Ihhhh... lagian kenapa? Itu tandanya aku beneran suka sama Andra." Aku melambaikan tanganku pada Ibu, "Dah ah Bu, aku pergi dulu, dadah.."

Aku sebenarnya setengah hati ingin mengantarkan brownies ini kerumah Andra, aku sedang musuhan dengannya. Untuk pertama kalinya Andra tidak menepati janji untuk pergi di hari Sabtu kemarin. Biasanya, Andra hanya akan terlambat kemudian memohon permintaan maaf dariku. Tapi, kali ini tidak. Kali ini berbeda. Selepas mengantar Ayu ke rumah saudaranya kemarin, Andra malah mengejekku yang sudah siap dengan kemeja biru di teras rumah.

Katanya, "Mau kemana Ran? Udah punya pacar aja lu!"

Andra benar-benar lupa, dan Ia tidak ingin berusaha untuk kembali mengingatnya.

Timbul rasa sakit di hatiku, malam itu aku sebisa mungkin menahan air mata yang sudah menggumpal di pelupuk mataku. Ia hanya perlu menjatuhkan diri. Tapi tak kuizinkan Ia jatuh hanya untuk lelaki yang mengingkari janji-nya sendiri.

Baru seminggu yang lalu Ia berjanji padaku, dan ini belum lewat satu bulan atau bahkan satu warsa.

Ya, aku bisa saja mengiriminya pesan untuk memastikan janjinya itu, tapi dengan begini, toh sekarang aku jadi lebih tahu bagaimana sikap Andra ketika sudah lupa diri.

Pagi ini Ia masih saja mengejekku lewat pesan-pesannya yang sedang aku abaikan. Seakan Ia menganggap bahwa semua kesabaran ku dalam menunggunya itu hanyalah sebuah lelucon yang patut di balas dengan cibiran.

Kesabaran berhasil membuatku rela menunggunya hingga pukul tujuh malam, hanya karena dengan bodoh aku percaya bahwa Ia adalah seorang pria baik yang tidak akan mengingkari janji. Aku terus gelisah sampai terus-terusan meyakinkan diri sendiri.

Aku sudah salah menilai Andra.

Nyatanya, aku tidak mengenal Andra sebaik itu.

Nyatanya, Andra teteplah seorang manusia biasa, bukan malaikat ataupun alien seperti yang ada di serial drama China kesukaan Hanna.

Ia bukan Alladin, dan Ia tidak pula sama seperti Ayah Nif.

Nyatanya, Andra masih sama saja dengan pria kebanyakan.

Ya, kebanyakan.

oOo

"Assalamualaikum.."

Ramai yang menjawab salam, tapi suara Ayah selalu bisa kutemukan diantara kegaduhan itu.

Gampang sekali mengenali Ayah. Kalau aku bertandang, dia pasti selalu bilang,

"Eh nak Ranu.. makin cantik saja."

Selalu dan selalu.

Aku mengulum senyum, "Udah ah Yah.. nanti Ranu terbang."

"Jangan terbang dong, nanti Bunda 'ndak punya anak cewek lagi, 'ndak ada teman ngobrol.. Andra kadang tuh suka 'ndak asik kalo diajak ngobrol." Sambung Bunda yang baru saja datang membawa nampan berisi kopi.

Ayah menghela napas, "Ya gimana mau asik, wong koe selalu cerita sinetron.."

Sementara di sisi lain, Mas Putut malah menatapku, ayah, dan bunda dengan tatapan menggoda. "Jangan-jangan dek Ranu ini sudah dapat lampu hijau dari Mas Nif dan Mbak Nahayu ya? Cieeee.."

"Cia cie cia cie lampu ijoo ndasmu.. koe iki bukannya kerja, koe pikir saya ini simpang lima apa?!" Cerca Ayah balik.

"Sampurane toh pak.. maaf maaf terbawa suasana ini saya."

Aku terkekeh kecil melihat apa yang terjadi pagi ini di beranda rumah Ayah. Sampai akhirnya sadar bahwa aku punya maksud dan tujuan untuk datang kesini.

"Oh, iya Bun! Ini ada brownies dari Ibu, baru jadi tadi." Seruku, memberikan tupperware berisi seloyang brownies cokelat kesukaan Andra.

"Pas banget.. Andra belakangan ini emang sering minta, tapi hari ini 'ndak jadi bunda bikinin karena kemarin pulangnya lewat adzan isya."

Aku hanya tersenyum. Dasar, Andra bodoh. Padahal dia sudah tahu dia bakal dimarahi kalau belum pulang sebelum isya.

"Udah toh Bu, yang udah udah tu biarkan sudah, mending browniesnya di simpen abis itu di potong-potong buat kita sama anak cerucut betiga ini juga cukup." Saut ayah, menunjuk-nunjuk kearah Mas Putut, Mas Andi, dan Mas Gio.

Baru saja Bunda berbalik badan, suara motor vespa biru milik Andra semakin lama terdengar semakin dekat.

Andra memarkirkan vespa kesayangannya di pekarangan rumah, di belakang Andra ada seorang gadis. Aku menyipitkan mata dengan rasa keingintahuanku yang sangat besar. Ini masih pagi, dan dia sudah pergi lagi setelah kemarin dimarahi?!

Benar-benar gila.

Aku tak menyangka Andra bisa se-nekat ini, dan semua itu hanya akan Ia lakukan ketika Ia bersama..

"Assalamualaikum.. bun, yah, kenalin, ini namanya Ayu."

Hanya jika Ia bersama seorang Saradisayu Amaranggana.

Bunda berjalan mendekat kearah Ayu, Ia menyelipkan beberapa helai rambut Ayu ke telinga kirinya.

"Ayu yo.. koyok namanya." Kata Bunda, tersenyum. "Sama loh nama kita,"

Andra merangkul Ayu dan bunda, "Aku punya dua Ayu, yang sama-sama ayu."

Andra menoleh kearah Ayu, begitupula Ayu, keduanya saling pandang dan tersenyum.

Hatiku terasa sesak sekali.

"Belum halal!" Seru Bunda, menepis tangan Andra.

Andra meringis kesakitan setelah melepaskan rangkulannya dari Ayu, Ia kemudian melingkarkan kedua tangannya ke tubuh Bunda, mendekapnya dengan erat.

"Coba tebak bun,"

"Apa?"

"Ayu masak brownies, dia bawa seloyang kesini."

Tiba -tiba saja, Ayah merangkulku, "Wah wah.. si Ranu juga Ibunya baru masak brownies, nganterin kesini."

Aku menunduk. Percuma, bahkan keberadaanku saja Andra tidak sadar. Percuma.

"Lah Ranuu?! Lu tuh jelmaan kuyang atau apa sih? Gue 'nggak nyadar ada lu disini."

Aku memutar bola mataku malas, "Gimana mau sadar? Janji aja lu lupain semua."

Andra membelalakkan matanya, Ia baru sadar, ada janji yang Ia lupakan.

Ia baru sadar, bahwa penampilanku kemarin yang sibuk Ia ejek itu tak lain adalah untuk pergi dengannya.

"Yah, Bun, Ranu pamit, mau bantuin ibu masak. Assalamualaikum.."

Andra mengejarku sambil sesekali meneriakkan namaku. Sialnya, Ia berhasil menangkap tanganku setibanya kami di pekarangan rumah bapak. Genggamannya sangat erat, sekaligus hangat. Seperti takut bila harus kehilangan, seperti biasanya dahulu kami.

Ia kemudian menarikku kedalam pelukannya. "Maafin gue.. gue beneran minta maaf.."

Aku menahan tangis di dalam dekapannya yang tidak ku balas itu. Sumpah, rasanya aku capek sekali karena belakangan ini sudah menangis terlalu sering. Ayu dan Andra sudah terlalu sering menebar keromantisan, dan pelupuk mataku mulai perih.

Sementara itu di ujung penglihatanku, Ayu menyimak dari depan pintu pagar. Aku ingin benci, tapi tidak bisa.

Bukan. Semua ini juga bukan salah Ayu.

Aku yang salah, kenapa sampai 'nggak berani menyatakan kepada Andra lebih dulu, dan malah selalu berprasangka yang negatif.

Aku tersenyum pada Ayu yang rautnya sudah menunjukkan perasaan amat bersalah. Kukatakan dengan isyarat mulut, "bukan salah kamu."

Memang bukan salah siapa-siapa.

Karena akulah satu-satunya yang bermasalah.

"Hari pertama semerster dua kita pulang bareng ya, habis itu keliling Malioboro."

"Nggak usah," jawabku dingin, "Jangan janji janji lagi Ndra,"

"Yang kali ini serius, please.."

Menjalani hidup dengan ada Andra di dalamnya tidaklah mudah. Sudah kubilang, dia itu pandai sekali membolak balikkan hati seseorang, entah cuma aku saja yang mudah termakan dengan semua bujuk rayunya, atau malah memang sudah begini adanya.

Aku mengangguk, sebagai tanda bahwa aku menerima tawarannya. Uh, kurang ajar.

AKHIR BAGIAN 8.