webnovel

Tak Terima

Ya.. demikianlah manusia, demikianlah aku, demikianlah kamu, kita; yang sudah jadi sebuah kebiasaan untuk selalu lapang dada, memaafkan kesalahan yang hanya itu-itu saja. Namun pada pertemuan kita yang terkesan menenggelamkan ini, aku tak lagi terima jika harus berlapang dada, sampai waktu benar-benar mengizinkan. 。 ⎙ Ranu dan Andra sudah menyandang status sebagai sahabat karib selama lebih dari empat belas tahun. Sosok Andra yang cenderung berbeda dari lelaki kebanyakan membuat Ranu merasakan perasaan cinta yang belum pernah di rasakan olehnya; cinta pertama. Ia selalu lari dan sebisa mungkin mengelak dari rasa itu sendiri, meski Ia tahu hal itu tidak sepenuhnya dibenarkan. Tapi, Ia terlalu takut untuk patah hati dengan perasaan Andra yang masih sama; hanya menganggapnya sebatas 'sahabat karib.' Lalu ditengah semua kepura-puraan yang Ranu ciptakan agar perasaannya tidak terbongkar, ada sosok Ayu, si primadona sekolah yang berhasil membuat Andra jatuh hati pada pribadinya. Sepanjang hidupnya, Ranu selalu berada dalam pelarian dan mimpi-mimpi buruk atas rasa itu sendiri. Sampai akhirnya Ia memberanikan diri untuk menerima kenyataan, meninggalkan Jogja, dan mulai mencintai Braga. Ceritanya di tanah Jogja masih Ia simpan baik-baik dalam kenangan, hanya perasaannya saja yang berbeda. Bagi Ranu, kisahnya di tanah Jogja bukan hanya persoalan cinta remaja semata, meski tidak ada salahnya juga jika kau ingin beranggapan seperti itu. Kisahnya tentang Jogja, Andra, dan Ayu adalah sebaik-baiknya penghantar yang membawanya pada dunia serta hal-hal baru didalamnya. Dan menemu Naru. Jogja, 2010. Temui Ranu, Andra, Ayu, dan Naru di IG: @oceanbehindme

oceanbehindme · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
14 Chs

BAGIAN 5; SARADISAYU AMARANGGANA

Lain hal-nya dengan Andra. Di kelasnya, Andra malah kesusahan untuk mendapatkan izin masuk. Ada sebuah konsekuensi jika Andra ingin masuk dan ikut berdiskusi mengenai pemilihan ketua kelas yang belum terpecahkan sedari tadi.

"Bu," kata Andra, mulai meyakinkan. "Kita ini anak IPA, pasti kan banyak yang lebih baik daripada saya, saya aja sama peraturan sekolah belum bisa taat, apalagi kalo dikasih amanah jadi Ketua Kelas Bu."

Ibu Nuril, wali kelas-nya Andra, mungkin merupakan pribadi yang teguh pada pendiriannya. Kalimat bujukan dari Andra yang biasanya manjur itu nampaknya tidak berlaku pada Bu Nuril, membuat Andra semakin tersudutkan dan mau tidak mau harus menerima tawaran tersebut. Jelas, pemicunya adalah karena Ia terpaksa.

Wajah Bu Nuril tampak sumringah mendengar jawaban setuju namun singkat dari Andra. Ia lalu mengalihkan pandangannya pada seorang gadis cantik yang duduk di barisan meja paling depan. "Sekretaris, catet. Nanti kalo ada lomba hias kelas 17-an, di bikin struktur kelas-nya."

Ia kembali menyambung perkataannya, "Udah gitu, Harsa yang jadi wakil-nya ya.."

"Loh Buk kok jadi Sa—"

"BK stand by 24 jam ya Sa."

"'Nggih Buk.." Lelaki bernama Harsa itu kini hanya bisa tertunduk pasrah.

'Nyokap Bokap sengaja kasih nama gue Harsa kan karena artinya bahagia gitu.. lah ini kenapa malah jadi—'

"Ibu bisa denger loh ya Hersa, gumaman- gumaman kamu itu."

"'Nggih Buk.. Harsa buk bukan Hersa, sampurane Buk,"

Andra kemudian di persilahkan duduk pada satu-satunya kursi kosong; kursi tersebut memang sudah dipersiapkan oleh Bu Nuril untuk posisi Ketua Kelas dari sebelum kedatangan Andra yang terlalu tiba-tiba itu. Kursi yang posisi-nya tepat di sebelah gadis yang di gadang-gadang akan jadi primadona kelas sepuluh. Si Sekretaris.

Begitupula dengan Harsa yang kini berteman sebangku dengan si Bendahara, Nandy namanya.

"Mau?" Tanya Harsa.

Nandy mengernyitkan dahinya, sebelum Ia melirik kearah Harsa sejenak. "Mau apa?"

"Mau jadi pacar kamu." Jawab Harsa, cengengesan. "Makasih loh ya, baru hari pertama udah mau nanyain aku maunya apa."

Nandy memutar bola matanya malas. Dasar buaya.

"Inget yo.. barisan depan ini khusus untuk perangkat kelas yang penting penting, makin kebelakang, itu berarti makin 'ndak penting." Katanya mengingatkan. "Kalo minus, beli kacamata, kalo pendek, ya salah sendiri kenapa pendek. Beli itu obat peninggi badan, udah banyak, bisa beli juga sama saya kalo mau. Pengertian banget ya saya? "

"Ya toh?" Sambungnya lagi setelah memberi jeda sesaat, sembari menaikkan kedua alisnya.

Bu Nuril mengernyitkan dahi-nya setelah menyadari bahwa tidak ada setupun anak murid yang merespon perkataannya. "Weladalah.. iki anak murid kok pada laknat gini karo gurune, jawab gitu lho nak, 'nggih buk.."

Dan langsung saja, seluruh murid kelas X IPA 1 menjawab dengan nada terpaksa, sambil menirukan logat yang diucapkan bu Nuril sebelumnya; merasa apa yang sedang wali kelas mereka bicarakan itu bukan hal yang penting di saat-saat tengah berdiskusi seperti ini, alias buang-buang waktu.

Dan dari situ, mengertilah Andra akan satu hal, alasan mengapa tak ada yang bersedia jadi ketua kelas. Kecuali jika di paksa; sebab itu adalah hal yang menimpa dirinya.

"'Nggih buk.."

Bu Nuril mengambil spidol dari dalam dompet yang lebih seperti pouch, disebelah tumpukan jurnal dan absen untuk kelas X IPA 1. Ia mulai menuliskan judul yang bicara tentang tata tertib di sekolah. Sementara itu, para murid—termasuk Andra—malah mengeluarkan suara helaan napas secara serentak.

Mereka merasa lega sebab mata guru yang kelewat absurd ini tidak lagi tertuju kepada mereka saja, Atmosfer di kelas jadi semakin longgar.

Sadar akan perlakuan anak muridnya, sekoyong-koyong Bu Nuril kembali membelakangi papan tulis. "Kenapa lagi?"

Lagi-lagi yang ajaibnya—kompak, mereka menggelengkan kepala agar bisa berdalih dari ocehan si wali kelas.

Suasana kelas kembali menjadi tegang. Nampaknya hukuman akan berlaku kepada Andra selama masih Bu Nuril yang mejabat sebagai walas.

Di tengah suasana mencekam sekaligus absurd itu; dimana bernapas saja rasanya begitu susah, gadis cantik tadi yang menjabat sebagai sekretaris kelas memberanikan diri untuk sebisa mungkin menyapa Andra.

"Namaku Ayu, kamu Jenandra kan? Yang jadi Pangeran Kodok Of The Year? Sama siapa tuh, pasangan mu? Lali aku."

"Oh.. iya, si Ranu, anak X IPS 2." Balas Andra sedikit kaku. "Se-heboh itu ya? Sampe kamu aja tahu."

"Oh 'nggak, aku sebenernya 'nggak tahu."

'Ini cewe kelewat bodoh apa gimana?' Pikir Andra.

Andra menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak terasa gatal, sebab merasa keheranan dengan apa yang baru saja gadis itu katakan. "Oh ya?"

"He'eh, aku 'nggak tahu, aku tempe."

Andra jelas sekali terlihat bingung harus merespon seperti apa. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa gadis bernama Ayu yang kini jadi teman sebangku-nya itu bermaksud untuk melucu; yang sebenarnya lelucon Ayu cukup garing untuk membuat dirinya gagal tertawa.

Wajah ayu menunjukkan raut malu bercampur kecewa, kecewa pada dirinya sebab tak pandai memberikan kesan perkenalan yang berpotensi untuk diingat. "Nggak lucu ya?"

"Pffftt.." Andra menahan tawanya dalam-dalam, takut Bu Nuril sadar akan Ia dan Ayu yang sedari tadi sibuk mengobrol.

"Sekarang malah ketawa?"

"Sekarang justru baru lucu, dan kamu tahu 'nggak? Nahan ketawa itu lebih sakit daripada di cuekin gebetan."

"Lho kok gitu?" Tanya Ayu, meminta penjelasan.

"Minta di jelasin kenapa sekarang baru lucu, atau sakitnya nahan ketawa, atau dua-duanya?"

"Yang kenapa sekarang baru lucu aja."

"kenapa nggak dua-duanya aja?"

"Serakah itu 'nggak baik." Kata Ayu, menopang dagu.

Andra membetulkan posisi duduknya agar lebih nyaman, sebagai ancang-ancang ingin menjelaskan.

"Lucunya itu karena nggak lucu." Jelas Andra. "Terus ekspresi kamu itu lohh, kayak akutuh leleaki bajingan yang udah bikin gadis secantik kamu kecewa aja."

"Emang iya aku kecewa, dasar gombal!"

Andra terkekeh kecil, "Tuh kan.. perempuan mah gitu, kalo laki-laki bilang kenyataan dikit pasti dibilang gombal, buaya, genit, padahal kalo kamu Tanya satu sekolah nih ya.. gini, 'eh eh, aku cantik 'ndak?' Pasti pada jawab cantik dek Ayu.. gitu!"

"Aku kalo nanya gitu.. bisa-bisa malah dikira gila sama orang-orang."

"ya.. bagus dong," jawab Andra, membuat Ayu penasaran sebab Ia memberi jeda pada perkataannya. "Kalo orang-orang ngira kamu gila, berarti 'nggak bakal ada cowok yang mau deket sama kamu."

"Gitu ya?

"Iya, biar aku 'nggak punya saingan, jadi bebas deketin kamunya. Dari samping, bisa.. dari depan.. mah hayyuk, mau langsung ke KUA juga boleh."

Ayu mengulum senyum, seakan ia baru meneguk sebuah janji manis yang sudah dipersiapkan oleh lawan bicaranya itu.

Sementara Andra nyaris berbisik mengatakan, "Nah kalo yang ini.. baru kamu bisa bilang aku cowok gombal."

"Iya.. cowok gombal!" Balas Ayu dengan nada sindiran.

"Eh tapi.." lanjut Andra, "Aku emang lebih suka tempe daripada tahu."

Ayu sebisa mungkin menahan tawanya, "Masih mau bahas itu lagi?"

"Yang ini aku serius."

"Udah ah udah, 'ndak boleh food shamming toh?"

Andra menopang dagunya, menatap dalam kedua binar mata gadis yang kini sedang tersenyum.

"Sekarang makanan pun punya hak asasi?"

"Iya dong!" Jawab Ayu mantap. "Emangnya kamu doang yang mau di hargai?"

"Ya beda lah yu.. makanan kan 'nggak punya perasaan."

"Memangnya kamu punya?" Tanya Ayu, dengan nada menantang yang lebih terkesan seperti olokan.

"Punya."

Andra mengalihkan pandangannya kearah papan tulis, menunjukkan garis wajah tegas penuh kesungguh-sungguhan miliknya.

Ia akan sangat gugup apabila mengatakan hal yang satu ini sembari menatap gadis itu. Ya, sedikit pengecut memang.

Ia pun tahu, mengkin jawaban yang akan Ia lontarkan ini akan sedikit membawa perubahan pada sikap Ayu—juga dirinya; entah baik ataupun buruk.

Tapi, sebaik-buruknya sikap Ayu terhadapnya kelak, Ayu tetaplah Ayu yang hatinya sedang Ia incar. Dan tidak ada salahnya juga jika ingin mencoba.

Ia sedang tidak bermain-main. Dan Andra juga tidak sedang ingin bicara soal metafora semata; seperti yang Ia biasanya lakukan kepada Ranu. Walau mungkin bukan ini jawaban yang Ayu ingin dengar atas pertanyaannya yang terkesan 'hanya bercanda' itu.

Andra memantapkan hati untuk yang pertama kalinya. Dan berdo'a agar kalau nanti semisal Ia berhasil menaklukkan hati Ayu, semoga ini yang terakhir.

"Aku udah punya perasaan sama kamu dari semenjak kamu nyapa aku Yu."

AKHIR BAGIAN 5.