Saat ini Charla tengah dirawat di Rumah Sakit HMC Westeinde. Di sana para Dokter terheran-heran dengan keadaan tubuh Charla, walaupun perempuan berambut pirang ponytail itu terlihat lemas. Namun, luka bekas tusukan di perutnya telah pulih dengan cepat.
Seorang Dokter perempuan senior memasuki ruangan di mana Charla tengah dirawat, "Perempuan ini adalah seorang wizard dan ras mereka memiliki kemampuan regenerasi tubuh yang cepat. Jadi kalian tidak perlu heran dengannya." Dokter Isebel du Toit melihat mesin elektrokardiograf yang memperlihatkan detak jantung Charla berangsur normal. "Dia sempat kekurangan darah dan itu sudah diatasi. Kita di sini hanya menunggu keluarganya. Kalau dia hanya manusia biasa, lain lagi ceritanya."
Simone dan Kolonel Pieter berlari di lorong rumah sakit yang ramai menuju ke kamar A17, tempat di mana Charla tengah dirawat. Simone segera membuka pintu ruangan dengan kasar dan berjalan menghampiri Charla yang berada di atas kasur rumah sakit. Walaupun Charla adalah anak tirinya, namun Simone terlihat begitu mengkhawatirkannya.
"Tenanglah, Nyonya. Anakmu baik-baik saja. Beruntungnya lukanya sudah pulih dengan cepat. Biarkan dia istirahat sejenak," kata Dokter Isebel du Toit.
"Oh, syukurlah kalau begitu," kata Simone menghembuskan nafas leganya. Simone membelai lembut wajah Charla. Meskipun Charla adalah anak tirinya, tetapi Simone juga menyayanginya. Simone mengingat masa lalunya, ketika dia membantu proses persalinan Elizabeth dalam melahirkan Charla, dan Charlemagne serta ketika secara rahasia berkunjung ke rumah Elizabeth yang terletak di sebuah pedesaan di Limburg, Belanda. Saat itu usia kandungan Athena baru enam bulan. Simone bertemu Elizabeth sekaligus untuk meminta 'nama' untuk bayi yang tengah dia kandung. Dalam kesempatan itu, Simone juga menyusui Charla, dan Charlemagne yang saat itu masih berusia tujuh bulan, serta berjalan-jalan berkeliling Desa tersebut bersama dengan Elizabeth, Charla dan Charlemagne.
Sementara itu Kolonel Pieter terlihat agak sedikit khawatir. Meskipun wajahnya terlihat datar dan tenang, tetapi jauh di lubuk hatinya, dia sangat mengkhawatirkan puterinya yang tidak dia lihat. Namun dia berusaha berpikir positif dan berpikir semuanya akan baik-baik saja.
Simone menatap Charla dengan penuh kasih sayang dan membelai wajahnya yang berkulit putih mulus. "Kau memang Leopold dalam versi Perempuan."
Secara perlahan Charla membuka kedua matanya. Yang pertama kali dia lihat adalah sosok perempuan berambut panjang bergelombang berwarna pirang yang mengenakan pakaian bodycon berlengan panjang berwarna biru.
"Mommy," ujar Charla dengan suara pelan.
Simone segera memeluk Charla ketika anak tirinya berujar dengan suara pelan. "Syukurlah kau baik-baik saja," ungkap Simone dengan penuh rasa syukur.
"Daripada kau mengkhawatirkan aku, kenapa kau tidak mengkhawatirkan Alexandrine? Keponakanmu telah diculik oleh dua orang perempuan," ujar Charla dengan suara pelan.
Sontak saja Simone begitu kaget ketika mendengarnya, "Apa, Alexandrine diculik?!"
Kolonel Pieter begitu kaget bahwa puterinya diculik. Dia segera memasuki ruangan tersebut dan berjalan menghampiri Charla dan Simone.
"Apa, anakku diculik?! Siapa yang menculiknya!" teriak sang Kolonel dengan panik.
Simone memegang sepasang pundak adik tirinya, "Tenanglah, Pieter. Charla baru sadar."
"Ada seorang perempuan yang menusuk perutku, sedangkan perempuan yang lainnya membius Alexandrine, dan mereka membawanya pergi," kata Charla. "Coba hubungi bagian komunikasi The Passage Mall, aku yakin aksi mereka telah terekam CCTV."
"Baiklah, aku akan segera ke sana!" Kolonel Piter segera beranjak pergi meninggalkan mereka berdua menuju ke The Passage Mall.
Tatapan mata yang tajam dan penuh amarah dari seorang Ayah. Ekspresi wajahnya bagaikan api yang membara yang siap membakar apa saja yang ada di hadapannya.
.
.
Raja Belanda, Raja Wilhelm Nicolaas menyampaikan sebuah permintaan maaf secara pribadi ke Kanselir Leopold disela-sela kesibukannya dalam kunjungan kerja ke Denmark setelah mendapat kabar bahwa korban penusukan di Den Haag adalah anak pertama dari Kanselir Leopold. Dalam pesan tersebut, Raja Wilhelm Nicolaas meminta maaf karena tidak bisa menjaga dan melindungi anak pertama dari Kanselir Leopold yang tengah berwisata ke Den Haag.
Kanselir Leopold yang tengah berkunjung ke Perancis dibuat kaget akan pesan pribadi dari Raja Willem Nicolaas yang juga merupakan sepupunya. Sang Kanselir berusaha untuk tetap tenang, walaupun berita tentang Charla yang menjadi korban penusukan telah tersebar luas. Kanselir Leopold hanya diam dan untuk saat ini dia tidak membalas pesan pribadi dari sang Raja Belanda. Pesan pribadi yang lainnya masuk dan dikirim dari Konsulat Jenderal dan Duta Besar Prussia untuk Belanda, yang intinya menjelaskan bahwa kondisi Charla saat ini sudah membaik dengan sangat cepat.
Elizabeth terlihat khawatir setelah mendengar berita tersebut, walaupun Simone segera memberitahu bahwa Charla sudah pulih dengan cepat. "Syukurlah jika Charla baik-baik saja. Berita itu benar-benar membuatku sangat khawatir," ujar Elizabeth sambil mengelus perutnya yang semakin membesar. "Maafkan Ibu yah, sayang, jika barusan Ibu turut membuat kalian berempat khawatir." Elizabeth tersenyum lebar sambil menatap perutnya yang besar, "Yang sabar, yah, kalian berempat. Cepat atau lambat Ibu akan menyambut kalian di dunia baru."
Kekhawatiran Leopold akan puterinya segera sirna setelah dia melihat postingan IG puterinya sedang merokok di depan sebuah rumah sakit. Dalam postingan IG tersebut dilengkapi dengan kalimat yang berbunyi,
"Aku baik-baik saja, meskipun bajuku bolong. Mungkin aku harus beli baju baru. Bagi yang punya usaha baju, kirim pesan secara pribadi alamat kalian. Nanti aku akan mengunjungi Toko kalian. #CharlaMalherbe"
Meskipun anak seorang Pejabat dan seorang Bangsawan. Namun Charla selalu bersikap layaknya Warga Sipil pada umumnya, bahkan kelakuannya selalu mengundang tawa. Dia juga dikenal sebagai seorang freelancer yang berkecimpung di dunia Teknologi, Informasi dan Komunikasi.
Kolonel Pieter tengah berada di ruang informasi di The Passage Mall. Dia tengah melihat rekaman CCTV sebelum puterinya menghilang. Dalam rekaman itu diperlihatkan dua Orang Perempuan berkacamata hitam yang mengenakan kaos dan celana jeans serba hitam yang awalnya tengah berada di sebuah cafe, salah satu di antara mereka mengeluarkan sebuah benda mirip jam pasir. Setelah itu mereka berdua berjalan menghampiri Charla dan Alexandrine yang tengah memilih sepatu. Salah seorang perempuan menusuk Charla tanpa dia sadari dan seorang Perempuan membungkam mulut Alexandrine dengan kain, menutup kedua matanya dengan kain, dan mengikat kedua tangan & kakinya dengan borgol plastik. Lalu mereka segera pergi dari tepat tersebut. Video dipercepat lima belas menit kemudian, di mana Charla secara tiba-tiba terjatuh dengan perut bersimbah darah.
"Sepertinya mereka berada di dimensi yang berbeda, sehingga Charla, dan Alexandrine tidak sadar bahwa mereka tengah menjadi target penyerangan," ujar Kolonel Pieter van den Bosch. Rekaman CCTV menunjukkan kedua perempuan itu berjalan menuju ke tempat parkir, di mana salah satunya membawa tubuh Alexandrine. Dari tempat parkir, Mobil Mercedes-Benz C-300 berwarna hitam metalik dengan plat nomor "976-GX-0" yang mereka kendarai segera pergi.
.
.
Dua orang berambut pirang kecokelatan tengah bermain di atas kasur untuk memuaskan hasrat mereka yang liar. Suara desahan mereka perlahan menyadarkan Alexandrine, namun dia merasa bahwa mulutnya seperti disumbal oleh sebuah kain, sementara kedua tangan, dan kakinya terikat oleh sesuatu yang terasa seperti plastik. Alexandrine yang tersadar bahwa dirinya tengah disandera, melakukan perlawanan.
"Oh, jadi kau sudah bangun," kata Evelien yang berdiri di hadapannya dalam keadaan telanjang bulat. Marijke berjalan menghampirinya. Tangan kanan Marijke bermain dan bergerak dengan kencang di area penting Evelien. Evelien hanya meringis menahan perih, hingga akhirnya dari area itu keluar sebuah cairan bening yang muncrat dan membasahi wajah cantik Alexandrine.
Kedua Perempuan lesbian itu tertawa melecehkan Alexandrine.
"Evelien, ambil kameramu, dan kita akan rekam adegan panas ini," perintah Marijke.
Evelien berjalan memasuki kamar untuk mengambil kameranya, sementara Marijke langsung meremas-remas kedua gunung Alexandrine.
"Punyamu cukup besar juga dan masih kencang. Perawan memang beda," kata Marijke. "Kami sangat suka perawan," kata Marijke dan Evelien secara bersamaan.
Evelien memasang kameranya pada sebuah tripod dan kameranya diarahkan menuju ke Alexandrine. Melalui kamera tersebut, Marijke, dan Evelien tengah memulai siarang langsung alias 'live streaming' lesbian sex. Evelien menjilati wajah cantik Alexandrine dan tangan kanannya meraba area penting Alexandrine.
Air mata kesedihan perlahan keluar dari mata birunya. Alexandrine benar-benar sedih dan mentalnya hancur ketika tubuh dan kesuciannya direnggut oleh dua orang perempuan lesbian. Mereka berdua melepas kain yang menyumpal mulut sanderanya dan secara bergantian mencium Alexandrine. Alexandrine hanya bisa pasrah dan tak bisa melawan ketika kedua perempuan lesbian itu merebut ciuman pertamanya. Padahal Alexandrine hanya ingin menyerahkan tubuh dan cintanya bagi seorang lelaki yang mencintai dirinya apa adanya.
Selama tiga puluh menit, mereka berdua menodai, dan mengotori Alexandrine dengan kelakuan mereka yang bejat dan menyimpang. Siaran sex 'live streaming' itu dinamakan, "Dutch Lesbian Live Streaming." Dalam waktu singkat, siaran 'live streaming' itu ditonton oleh ribuan orang dari berbagai macam penjuru dunia.
Evelien dan Marijke tertawa di depan layar laptop, di mana video yang mereka upload di beberapa situs porno mendapatkan respon positif dari netizen.
Evelien tertawa dingin, "Padahal ini adalah debut pertama kita, tapi kita langsung viral dengan sangat cepat. Daripada menjadi predator sex, kenapa kita tidak menjadi artis porno lesbian saja. Bukankah hasilnya cukup bagus juga."
"Yah, setelah ini kita bisa meninggalkannya, dan pergi ke Amerika Utara untuk berkarir secara profesional," balas Marijke.
"Namun, tidak ada salahnya kita hidup di sini. Mengingat kita di sini sambil berjualan pakaian, dan kita memiliki 'marketplace' yang bagus," kata Evelien. "Pelanggan akan kecewa jika kita pergi," sambung Evelien sambil membelai lembut wajah pasangan lesbinya.
Sementara itu, Alexadrine hanya bisa menangis dalam keheningan di sebuah ruangan yang tertutup dalam keadaan telanjang bulat. Mentalnya benar-benar telah hancur dan dia sangat depresi atas pelecehan yang telah dia alami.