webnovel

Swords Of Resistance: Endless War [Indonesia]

Sebuah kisah fantasi di Alam Semesta paralel tentang pertarungan politik dari para Raja dan Penguasa. Dimulai dari peperangan, intrik politik, hingga drama kehidupan. Cerita ini hanya fiksi belaka. Kesamaan nama tokoh, tempat, kejadian, dan sebagainya hanyalah kebetulan dan atau terinspirasi dari hal-hal tersebut.

VLADSYARIF · Fantaisie
Pas assez d’évaluations
99 Chs

Bab 23, Ayah dan Anak Laki-lakinya, Krisis Di Tanah Khurasan

Seorang anak lelaki berambut pirang dan bermata biru tengah berlari mengikuti seorang perempuan berambut pendek berwarna pirang dan bermata biru yang memiliki wajah yang mirip dengannya.

Lelaki itu mengarahkan tangan kanannya ke atas seolah-olah ingin menggapai sebuah objek.

"Aku ingin terbang di angkasa dan menjadi seorang Pilot," gumamnya sambil membayangkan memiloti pesawat terbang.

.

.

Charlemagne tengah bersama dengan Ayahnya yang menjabat sebagai Kanselir Prussia mengunjungi pangkalan udara Magdeburg.

"Menurutmu Sukhoi atau MiG, mana yang terbaik?" tanya Kanselir Leopold kepada anak laki-lakinya.

"Mereka semua terbaik, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Baik Sukhoi atau MiG saling melengkapi satu sama lain," jawab Charlemagne.

"Jawaban yang bijak," balas Kanselir Leopold tersenyum ke arah Anak Laki-lakinya.

"Tapi aku lebih cenderung ke Sukhoi," kata Charlemagne sambil mengelus sayap bagian kanan pesawat Sukhoi Su-35.

"Kau seperti kakekmu yang menyukai pesawat terbang," balas Ayahnya dengan tatapan mata yang terlihat sendu dan nada sedih.

"Walaupun ayah memiliki hubungan yang kurang bagus dengan kedua orang tuamu, tteapi sepertinya kau masih menyayangi mereka berdua," kata Charlemagne tanpa menatap ayahnya.

Leopold tidak menjawab perkataan Anak Lelakinya, dan menatap beberapa unit pesawat Sukhoi Su-35 yang berjejer dengan rapih di hangar.

"Yah dan hubungan buruk itu bermula ketika aku berpisah dengan Elizabeth," katanya. "Agar bisa hidup bersama dengan Elizabeth, aku sempat mencoba kabur ke Amerika Utara, tapi Ibumu menolaknya, dan akhirnya kami sama-sama memilih jalan hidup yang pahit," jelas Leopold. "Aku berbicara seperti ini karena aku ingin kalian berdua bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk. Demi kebaikan diri kalian."

Charlemagne menghela nafasnya, "Aku sangat menantikan momen di mana kita bisa berbicara secara empat mata. Kau tahu, sejak kecil baik aku maupun Charla sangat mengharapkan kehadiran seorang Ayah."

"Maafkan aku," kata Leopold dengan nada sedih.

"Santai saja. Aku bisa memakluminya dan ini adalah sebuah pembelajaran agar aku tidak salah langkah," balas Charlemagne.

"Sungguh jawaban yang sangat bijak," puji Leopold pada Anak Lelaki satu-satunya. Leopold tenggelam dalam lamunannya. "Dia benar-benar seperti diriku, hanya saja dia jauh lebih tenang, baik sifat maupun tutur katanya. Kekurangan terbesarmu hanyalah sikapmu yang tidak menyukai dunia politik, meskipun kau adalah anak dari seorang Kanselir."

.

.

Seorang lelaki berambut pirang dan bermata biru merebahkan tubuhnya ke kasurnya yang empuk.

"Mirip dengan ayah meskipun tidak memiliki minat dalam dunia politik," ujar Charlemagne dengan nada pelan. "Politik memang busuk. Tak mengenal kawan dan lawan. Yang ada hanyalah sebuah kepentingan. Tidak peduli itu kanan, tengah atau kiri, semua tidak ada bedanya. Selama itu menguntungkan, ideologi hanyalah seperti baju yang bisa dipakai kapan saja dan sesuai dengan waktu serta kondisi."

.

.

Beberapa Pilot dari negara-negara Anggota Collective Security Organization dan North Atlantic Alliance berkumpul di Pangkalan Udara Bamyan dalam sebuah misi anti terorisme dan anti narkoba.

Charlemagne terlihat sedang menikmati shisha dan beberapa minuman serta makanan tradisional khas Afghanistan bersama dengan kedua orang yang tak dikenalnya.

"Ah, senang akhirnya kita bisa berkumpul di sini. Perkenalkan namaku Gustav Ludwig Wilhelm von Imhoff. Kalian bisa memanggilku Gustav," kata Lelaki bermata biru dan berambut pirang coklat setinggi seratus tujuh puluh delapan centimeter.

"Wah, sepertinya kau anak seorang Bankir," celetuk seorang Lelaki berwajah Turkic dan bermata hijau yang merupakan seorang Pilot asal Russia.

Mereka tertawa mendengar celetukan Lelaki Russia dari etnis Kazakh tersebut.

"Aku hanyalah Pilot biasa, meskipun aku berasal dari keluarga Bankir," jawab Gustav.

"Namaku adalah Abdullah Arslan Nurbolatev, senang berkenalan dengan kalian," ungkap Lelaki Russia dari etnis Kazakh tersebut.

"Namaku adalah Franz Ludwig Charlemagne Malherbe," ujar Charlemagne memperkenalkan dirinya.

"Wah, kau pasti anak dari Kanselir Leopld bukan?" tanya Arslan.

Charlemagne hanya menganguk.

"Aku harap kita bisa menjadi rekan yang baik. Selain itu, aku mohon bimbingannya, mengingat aku ini seorang Pilot pemula," kata Arslan.

"Tentu saja, kawan," kata Gustav menepuk pundak rekan barunya.

"Yang penting tetap tenang dan fokus pada target. Anggap saja seperti sedang bermain game. Tetap tenang, fokus, dan hancurkanlah musuhmu," jelas Charlemagne. "Misi kita hanya menghancurkan beberapa titik yang merupakan markas dari kelompok teroris dan kartel narkoba."

Gustav menatap sendu ke langit, "Negeri ini penuh dengan luka dan darah. Dahulu sangat damai dan indah, sekarang Tanah Khurasan menjadi sarang para teroris dan tempat di mana opium serta ganja dibudidayakan dengan bebas."

"Mereka hanyalah pion. Yang paling diuntungkan dari para teroris dan perdagangan ganja serta opium di sini hanyalah para Oligarki yang duduk manis di Washington dan London," jelas Charlemagne. "Siapa lagi kalau bukan Pebisnis senjata serta para Koleganya, juga para Bankir, dan Pebisnis Farmasi."

"Kau benar, kawan," balas Gustav. "Setidaknya kita hanya membantu Pemerintah Republik Islam Afghanistan dalam memerangi para separatis, kartel narkoba, dan teroris."

Sebuah suara memanggil mereka, "Para Pilot diharapkan datang menuju ke sumber suara."

"Ayo, kesana kawan," ajak Gustav kepada Charlemagne dan Arslan.

Mereka bertiga memasuki ruang komando di mana para Pilot tengah berkumpul.

"Baiklah, aku akan langsung menjelaskan operasi ini. Ini adalah Operasi Hephthalites. Kalian akan dibagi dalam sebuah Squad yang berisikan tiga orang dan misi yang kami berikan adalah kalian akan membom beberapa titik di sepanjang perbatsan barat laut, selatan, dan tenggara Provinsi Daykundi. Kalian semua berbarislah tiga baris ke belakang dan aku akan memberikan sebuah dokumen dimana titik-titik kordinat musuh yang harus diserang."

Mereka semua segera berbaris dengan rapih dalam posisi tiga baris ke belakang. Gustav berbaris di depan, sedangkan Charlemagne, dan Arslan di belakangnya.

"Aku mengharapkanmu, Kapten," ujar Arslan tersenyum.

Gustav menatap tajam kedua rekannya, "Sialan!"

"Jangan marah, Kapten. Bagaimana jika kita membicarakan strategi dan manuver penyerangan?" balas Charlemagne berusaha untuk mendinginkan suasana.

"Baiklah, sebagai Kapten kalian berdua. Aku minta bantuannya." Gustav mengambil tiga uang koin dari dalam dompetnya dan menaruh ketiga koin itu dengan posisi koin kanan dan kiri yang sejajar, sedangkan koin yang di tengahnya berada di depan kedua koin tersebut. "Karena aku Kapten, jadi aku di tengah, Charlemagne di sayap kanan, dan Arslan di sayap kiri."

"Kami mengerti," jawab mereka berdua.

Gustav membuka dokumen yang barusan dia terima. "Aku akan menyerang titik Afghara arah jam tiga delapan kilometer lima ratus enam puluh tiga meter, Charlemagne kau akan menyerang titik Afghara arah jam tiga delapan kilometer lima ratus lima puluh meter, dan Arslan kau akan menyerang titik Afghara arah jam tiga delapan kilometer lima ratus delapan puluh meter," jelas Gustav sambil menunjukkan beberapa titik yang ditandai dengan kode yang barusan disebutkannya. "Kemungkinan ini adalah gudang senjata milik teroris yang berada di kawasan pegunungan yang kering. Umumnya ladang opium berada di selatan Provinsi Daykundi."

"Baiklah, kami mengerti, Kapten," jawab mereka berdua secara bersamaan.

"Operasi akan dimulai pukul satu dinihari. Istirahatlah yang cukup dan jangan berpikiran yang macam-macam," jelas Gustav.

"Baik, Kapten," jawab mereka berdua sambil memberikan hormat.

Mereka bertiga berjalan menuju melewati lorong berwarna abu-abu dan bercahaya terang.

"Jujur saja, ini pertama kalinya aku terlibat di medan peperangan," keluh Gustav.

"Bukan hanya kau saja, aku juga, meskipun ini peperangan yang kedua yang aku ikuti," balas Charlemagne.

"Jadi kau pernah ikut perang?" tanya Gustav menatap Charlemagne.

"Pernah, tetapi saat itu aku hanya mengoperasikan sebuah drone dari penginapan, dan menghancurkan beberapa peralatan tempur Lithuania," jawab Charlemagne.

"Bagaimana denganmu, Arslan?"

Arslan hanya tersenyum dan dia mulai menjawabnya, "Sebelumnya aku ditugaskan di Tajikistan selama tiga bulan, lalu aku dipindahkan ke sini."

"Seharusnya kau yang jadi Kaptennya, mengingat kau berpengalaman," ungkap Gustav dengan nada keras dan wajah yang penuh amarah.

Arslan hanya tertawa garing, "Maaf, hanya saja kau berasal dari keluarga ternama, jadi aku rasa kau yang cocok menjadi Pemimpin Squadron," kata Arslan.

"Mau itu keluarga ternama atau tidak, kita semua sama saja di mata Tuhan," balas Gustav. "Tapi karena kalian menginginkan aku menjadi Ketua, aku mohon minta bantuannya."

"Santai saja," balas Arslan.

Charlemagne berjalan memasuki ke kamarnya, "Ayo, kita istirahat."

.

.

Hawa dingin yang menusuk daging dan tulang. Para Pilot berkumpul di posisi mereka masing-masing dan kesembilan Pilot tersebut berasal dari Russia, Abkhazia, Prussia, dan Belarusia.

"Apakah kalian sudah membaca dokumen tersebut?" tanya seorang Perwira Militer dari Russia yang telah ditunjuk langsung oleh Dewan Keamanan Persemakmuran Bangsa-bangsa.

"Siap, kami sudah membacanya."

"Apakah kalian sudah bagi tugas akan titik yang akan kalian serang?" tanya Perwira Militer Russia tersebut.

"Siap, kami sudah memiliki target masing-masing," jawab seluruh Pilot secara serentak.

"Bagus, kalau begitu masuklah ke dalam Pesawat kalian dan hancurkan Daesh! Laksanakan!" perintah Perwira Militer dari Russia tersebut.

Para Pilot segera memberi hormat dan pergi meninggalkan posisinya menuju ke pesawat tempur mereka masing-masing.

Satu per satu berbagai pesawat tempur tipe Sukhoi, F-16, dan MiG lepas landas dari Pangkalan Udara Bamyan untuk menghancurkan target mereka masing-masing.

"Sebuah kebetulan kita memiloti Pesawat Tempur Sukhoi Su-57," kata Arslan memulai dialognya di udara.

"Idealnya sebuah squad memiliki jenis dan model pesawat tempur yang sama untuk mempermudah manuver serangannya," celetuk Charlemagne.

"Dengarkanlah, ahlinya," kata Gustav. "Charlemagne adalah ahli benda terbang," lanjut Gustav dengan terkekeh.

"Aku hanya tahu beberapa. Masih banyak hal yang harus aku pelajari di dunia ini dan aku akan menghabiskan hidupku untuk mencari ilmu," ungkap Charlemagne dengan penuh keyakinan.

.

.

Beberapa lelaki bersorban dan berjenggot panjang tengah meracik opium dan ganja di ruangan mereka yang terletak di paling atas di sebuah bangunan berbentuk seperti Kastil di sebuah perbukitan di tenggara Provinsi Dayakundi. Mereka adalah milisi liar yang dikendalikan oleh seorang War Lord yang berasal dari sebuah klan dari etnis Pashtun. Negeri ini hancur dan dipenuhi dengan para War Lord yang berkuasa di setiap Kota dan juga Desa.

Posisi Tanah Khurasan sangatlah strategis dan kaya akan sumber daya alam dan juga sumber daya manusia. Baik Collective Security Organization maupun North Atlantic Alliance, mereka saling bererebut pengaruh di tanah Khurasan.

Para milisi terlihat santai tanpa sadar bahwa mereka sedang diburu.

"Target telah terlihat di depan," kata Gustav. "Bersiaplah dan kirim mereka ke Neraka."

"Siap, Kapten."

"Sekarang!" perintah Gustav.

Pesawat yang dipiloti Gustav terus terbang lurus, sedangkan pesawat yang dipiloti oleh Charlemagne dan Arslan berpisah darinya. Pesawat yang dipiloti oleh Gustav menjatuhkan sebuah cluster bomb dan dari cluster bomb tersebut keluar ratusan bom berukuran kecil yang meledak tiada henti dan menghancurkan markas musuh. Ledakan tiada henti itu menghancurkan Kastil yang berada di atas sebuah bukit dan membunuh seluruh milisi yang ada di dalamnya, sedangkan pesawat yang dipiloti oleh Charlemagne dan Arslan menjatuhkan bom fosfor putih yang membakar ladang opium beserta para milisi yang tengah menjaganya.

Mereka berteriak kepanasan ketika fosfor putih yang menyala itu membakarnya. Ketiga pesawat Sukhoi Su-57 itu menembakkan beberapa rudalnya secara acak untuk menghancurkan musuh yang masih tersisa.

Di dini hari yang gelap dan dingin, ledakan dan api memusnahkan nyawa para milisi yang tengah memanen dan memproduksi sebuah barang haram.

"Semuanya, misi telah dilaksanakan. Sekarang kita kembali ke Bamyan," perintah Gustav.