webnovel

Survive in Doomsday

Bayu tinggal di Amerika Serikat selama beberapa tahun untuk mencari kebenaran atas kematian rekannya, dia mendapatkan informasi bahwa ada orang di negaranya yang sengaja menyewa mafia dari kelompok laba-laba merah. Dia kembali ke Indonesia untuk mencari pelakunya namun dia terkejut bahwa istrinya ternyata hamil dan membesarkan anaknya sendiri. Bayu merasa bimbang apakah tetap fokus pada balas dendamnya atau tinggal bersama keluarganya. Namun, akhirnya dia memilih meninggalkan mereka karena tidak ingin menempatkan keluarganya dalam bahaya. Sesekali dia akan memberikan bantuan kecil pada istrinya dan mengawasinya dari jarak jauh. Ketika kebenarannya hampir terungkap tiba-tiba hujan darah muncul dan merubah 70% manusia menjadi zombie. Bayu sangat mengkhawatirkan istri dan anaknya kemudian mencari mereka, dia berharap mereka belum berubah menjadi zombie. Jalannya tidak mulus dan terus berhadapan dengan marabahaya namun Bayu tidak menyerah karena kali ini dia ingin melindungi keluarganya. Apakah Bayu bisa menyelamatkan keluarganya? Siapakah dalang yang merencanakan kematian rekan timnya? Sanggupkan mereka bertahan hidup di dunia yang kacau dan menemukan tempat aman? Silakan baca novel ini untuk menemukan jawabannya! Disclaimer : Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan. Ada beberapa tempat yang sengaja saya karang sendiri sehingga tidak sesuai dengan aslinya, jadi mohon dimaafkan.

Destiyana_Cindy · Fantaisie
Pas assez d’évaluations
15 Chs

BAB 13 - Paman Misterius

Bagas keluar dari kamarnya sambil menguap lebar, rambutnya sangat berantakan seperti sarang burung. Ketika melewati ruang tengah dia melihat Bayu yang duduk di sofa dan televisinya menyala. Dia mengabaikannya dan berjalan menuju kamar mandi untuk gosok gigi.

Setelah urusannya selesai dia ingin menyapa Bayu, tapi dia sangat terkejut ketika melihat Gavin tidur di pangkuannya. Kemarin pria ini menolak untuk bertemu dengan anak kandungnya dan sekarang mereka malah tertidur di sofa. Apakah ini yang dikatakan bahwa darah lebih kental daripada air?

"Hei Bayu, bangunlah!" Bagas menepuk bahunya supaya dia terbangun.

Karena pernah bekerja sebagai tentara membuat instingnya lebih tajam dan bisa terbangun hanya dengan sentuhan kecil. Namun, dia merasakan ada beban di atas pahanya dan tidak berani menggerakan tubuhnya. Bayu merasakan tatapan penuh arti dari Bagas dan bisa mengerti maksudnya.

"Dia tidak bisa tidur jadi aku menemaninya," ujarnya singkat.

Bagas menaikkan sebelah alisnya dan tersenyum kecil. "Benarkah?"

Bayu tidak menanggapi pertanyaan Bagas dan meletakan kepala Gavin dengan hati-hati supaya tidak terbangun. "Aku akan kembali dulu." Dia langsung pergi ke kamar dan meninggalkan mereka.

Bagas hanya mendecakkan lidahnya karena Bayu menyembunyikan perasaan aslinya, sudah jelas bahwa dia menyayangi putranya namun dia tidak ingin melihatnya. Bagas benar-benar kasihan pada Novita yang menikah dengan pria kaku dan pendiam seperti Bayu, dia layak mendapatkan orang yang lebih baik.

Ting Tong Ting Tong

Sepertinya itu adalah Novita yang datang untuk menjemput Gavin, Bagas merapikan rambutnya dulu kemudian membuka pintu rumahnya. "Selamat pagi, Novita."

"Selamat pagi, Bagas," sapa Novita balik.

"Apakah kau ingin menjemput Gavin? Dia masih tertidur." Bagas membuka pintunya lebar dan mempersilakannya masuk.

"Apakah dia merepotkanmu semalam?" Novita merasa tidak enak karena Bagas harus menjaga putranya.

"Tidak, dia adalah anak yang patuh dan menggemaskan." Bagas tidak berbohong karena dia tidak pernah melihat anak kecil sepatuh Gavin. Cukup memberinya cemilan maka dia akan tenang dan tidak memiliki permintaan lain.

Novita bernapas lega dan melihat putranya berbaring di atas sofa.

Bagas terbatuk kecil dan merasa malu karena tidak menyadari bahwa Gavin tidak tidur di kamar tamu. "Dia tertidur ketika menonton tv dan aku berjaga di sampingnya."

Novita meraih Gavin dan melihat wajah putranya yang tertidur nyenyak, awalnya dia khawatir jika dia tidak bisa tidur. "Terima kasih telah menemaninya dan maaf telah merepotkanmu."

"Sama-sama." Bagas menggaruk rambutnya yang tidak gatal.

"Oh ya apakah kamu sudah sarapan? Aku akan membelikan makanan untukmu," tawar Bagas ramah.

Novita tersenyum kecil dan menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu, kelihatannya kau masih mengantuk dan lebih baik kau kembali tidur saja."

Rambut Bagas mudah berantakan hanya dengan sentuhan kecil saja, jadi di mata Novita dia terlihat masih mengantuk. "Apakah besok kamu masih sift malam?"

"Ya, besok aku harus merepotkanmu lagi untuk menjaga Gavin." Bosnya sudah menyebar lowongan pekerjaan supaya bisa mendapatkan karyawan baru. Jadi untuk sementara dia harus bekerja saat malam sedangkan ketika pagi sampai sore akan di isi oleh bosnya.

"Bosmu sangat keterlaluan karena membiarkan seorang wanita berjaga saat malam hari," ujar Bagas mengutarakan pendapatnya.

Novita hanya tersenyum kecil dan tidak menyangkalnya. "Kalau begitu aku akan kembali dulu."

"Hati-hati di jalan, Novita."

oOo

Setelah sampai di rumahnya Novita meletakan Gavin di kamar kemudian pergi ke dapur untuk memasak. Sebenarnya dia sangat mengantuk tapi dia harus membuatkan sarapan untuk Gavin kemudian mengantarkannya ke sekolah. Meskipun tubuhnya lelah tapi dia harus melakukan semua itu karena dia adalah seorang ibu tunggal.

"Rasanya sudah pas," ucap Novita sambil tersenyum ketika mencicipi masakannya.

Dia melepaskan celemek kemudian pergi ke kamar untuk membangunkan Gavin, anak itu terlihat sedikit linglung kemudian matanya menjadi cerah saat melihat ibunya. Tangannya terbuka lebar dan memeluk leher orang yang sangat dirindukan.

"Ibu!" serunya bahagia.

Novita membalas pelukannya kemudian menepuk kepalanya. "Ehmmm …. Ibu di sini."

"Kapan kamu kembali?" tanya Gavin setelah melepaskan pelukannya.

"Baru saja, ibu langsung membawamu kembali dari rumah Paman Bagas." Dia mengangkat tubuh Gavin supaya keluar dari ranjang. "Apakah kamu suka tinggal di sana?"

Gavin menganggukan kepalanya dan tersenyum. "Kami menghabiskan malam dengan menonton tv dan mengobrol."

"Kamu tidak tidur lewat jam 9, kan?" Novita menyipitkan matanya curiga.

Dengan cepat Gavin menggelengkan kepalanya. "Tidak! Paman langsung menyuruhku tidur setelah jam 9," jawabnya dengan hati bersalah.

"Bagus, kalau begitu kamu harus mandi sekarang." Dia mendorong Gavin ke arah kamar mandi.

"Baik bu." Gavin tidak ingin kebohongannya terbongkar jadi dia meninggalkan ibunya dengan cepat.

Selagi menunggu Gavin selesai mandi, Novita mengambil seragam sekolahnya kemudian menyetrikannya supaya rapi. Setelah itu dia meletakannya di atas ranjang dan meninggalkan kamar untuk mengecek apakah nasinya sudah matang.

"Bu, apakah kamu melihat buku matematikaku?" tanya Gavin sambil membawa tasnya.

"Bukankah kau meletakannya di dalam laci," jawab Novita tanpa mengalihkan pandangannya.

"Oh ya aku lupa." Gavin kembali lagi ke kamarnya untuk mengambil buku.

Novita telah menata piring di atas meja dan bertepatan dengan Gavin yang kembali. "Ayo kita sarapan!"

Mereka akhirnya sarapan dengan makanan sederhana namun Gavin tidak pernah protes, dia menyukai apapun yang dibuat oleh ibunya. Bahkan teman sekelasnya sering meminta makanannya dan itu membuatnya jengkel. Dia selalu bersembunyi dari mereka supaya jatahnya tidak di ambil.

"Kemarin aku bertemu dengan teman Paman Bagas," kata Gavin membuka percakapan.

"Siapa dia?" Novita tidak pernah tahu bahwa di rumah Bagas ada orang lain.

"Aku tidak tahu namanya tapi dia orang yang baik seperti Paman Bagas." Meskipun ekspresi pria itu terlihat datar tapi Gavin bisa merasakan perhatiannya. "Dia menemaniku tidur dan menyanyikan lagu yang pernah ibu nyanyikan namun suaranya lebih jelek dari ibu."

Bagas mengatakan bahwa dia menemani putranya tidur, ternyata orang itu adalah temannya. "Seperti apa orang itu?" Novita penasaran dengan orang yang bisa membuat Gavin tidur nyenyak.

"Aku tidak melihatnya dengan jelas karena terlalu gelap, tapi-" Gavin menjeda ucapannya ketika mengingat wajah pria itu. "Ada bekas luka memanjang dari dagu ke matanya."

"Paman itu kasihan sekali karena selain suaranya jelek, wajahnya juga jelek."

"Gavin!" tegur Novita sambil menatapnya tajam. "Jangan pernah mengatakan hal seperti itu kepada orang lain."

"Aku mengerti." Dengan cepat Gavin menganggukan kepalanya.

Mereka sudah selesai sarapan dan Novita mengantarkan Gavin ke sekolah, sepanjang perjalanan dia teringat dengan perkataan putranya. Mengapa deskripsi pria itu mengingatkannya dengan suaminya yang sudah lama menghilang?

Novita pernah melihat banyak bekas luka di tubuhnya.

-TBC-