Sinar datang bersama dengan udara yang lebih hangat dari malam kemarin. Fajar menyapa dengan ceria. Langit cerah berwarna biru muda dengan gumpalan awan putih yang menghias angkasa. Suasana kampus yang khas. Ramai oleh para mahasiswa dan mahasiswi yang punya kelas hari ini. Bertemu dengan dosen, melakukan pembelajaran atau hanya sekadar datang untuk memenuhi janji menyelesaikan tugas hari ini. Pagi ini Sandra punya dua kelas yang harus ia hadiri. Kiranya beberapa jam lagi dirinya bisa memulai semua pembelajaran dengan serius. Bukan hal yang aneh kalau Sandra datang ke kampus satu hingga dua jam lebih awal. Alasannya hanya satu, Geya selalu saja membangunkan gadis itu lebih awal dari dugaan. Kalau Sandra berkata bahwa ia harus bangunan pukul' delapan pagi, maka pukul setengah enam pagi, Geya sudah datang dan membangunkan Sandra, meskipun gadis baik itu tak selalu bisa mampir lama untuk berbincang dan makan bersama-sama. Hanya datang untuk memenuhi janjinya saja.
Di lorong kampus inilah, Sandra memijakkan kakinya. Derap langkah kaki yang ia ambil terkesan begitu tegas dan mantap. Di ujung sana, Sandra punya janji temu dengan seorang dosen terkait rencana tugas akhir yang akan di ambil. Sandra membuat sebuah projek sederhana untuk mengabaikan ilmunya pada masyarakat. Agendanya kali ini dengan sang dosen hanya satu, berbincang-bincang ringan tanpa ada jeda juga tak bersela. Sebab baginya, cepat selesai maka itu akan lebih baik.
Ia menghentikan langkah kaki. Baru saja ingin mengetuk pintu kayu yang ada di depannya Sandra mendengar sebuah suara yang cukup jelas masuk ke dalam telinganya. Bukannya berteriak lantang pada lawan bicaranya, suasana lorong yang sepi, membuat suara pria tua itu terdengar begitu nyata meskipun sekat pintu dan dinding besar menghalangi.
"Aku benar-benar menyukai projek skripsi ini, Bima. Banyak lembaga pemerintah yang bisa menerima dirimu untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Kamu adalah pria yang berbakat. Tak mudah untuk cari orang yang punya niat tinggi juga prestasi yang mumpuni." Pria itu menyela. Mendengar kalimat yang terucap begitu ringan dengan sedikit penyesalan yang terbawa, Sandra mulai melirik ke arah jendela besar dengan tirai yang sedikit terbuka. Dari celah kecil itu, Sandra bisa melihat wajah penuh keraguan milik pria tua berkepala plontos menatap lawan bicaranya yang baru saja ia panggil dengan nama Bima. Ya, Bima yang sama. Si mantan kekasih yang dulu sempat menjalin hubungan dengan Sandra.
"Akan tetapi, itu tentunya akan sulit untukmu. Beasiswa ini mengharuskan dirimu pergi ke luar negeri. Meninggalkan calon istri dan membatalkan pernikahan bukan ide yang bagus bukan, Bima?" Sandra kembali menatap wajah itu. Kali ini bukan ekspresi wajah pria tua berkemeja rapi yang duduk sembari melipat tangannya di atas meja, tetapi pandang untuk wajah pria muda yang menundukkan kepalanya menatap permainan jari jemarinya untuk menghilangkan perasaan aneh yang dilukiskan oleh wajah tampannya itu. Hanya bisa mengangguk, Bima tak memberikan jawaban apapun untuk saat ini.
"Aku hanya bisa memberikan nilai baik untuk tugas akhir ini, selebihnya semua tergantung padamu, Bima. Beasiswa ini hanya datang sekali dalam seumur hidup. Tahun depan kau sudah tak bisa ikut lagi," imbuhnya menerangkan.
Sandra kini menarik pandangan mata indahnya. Ia tak lagi mengintip dari celah jendela, melainkan memutar tubuhnya dan bersandar di sisi ambang pintu. Helaan napas ringan muncul begitu saja.
"Terimakasih atas bantuannya, Pak. Aku pasti memikirkan dengan matang tawaran beasiswa itu," ucap Bima menjawab.
"Kalau begitu ... saya permisi. Terimakasih sudah memberikan saran baiknya," imbuh Bima mulai bangkit dari posisinya. Mendengar kalimat itu, Sandra lekas mengambil tempat untuk bersembunyi. Ia tak mungkin menyambut Bima datang dengan ekspresi wajah yang tak senang. Tentunya, bukan urusan untuk Sandra lagi. Mau Bima bagaimana nasibnya, itu adalah urusan pribadinya sendiri. Bima sudah punya istri sekarang, Sandra hanya orang lampau yang dibuang kala ia sudah tak dibutuhkan.
Pintu ruangan dibuka dengan ringan. Kini tubuh seorang pria jangkung keluar dari sana. Sandra yang bersembunyi di balik dingin besar itu hanya bisa menatap sayu kepergian Bima. Ingin rasanya, Sandra meraih bahu itu dan membuat Bima berputar lalu memeluknya. Sandra tahu, beasiswa adalah impian laki-laki malang itu. Namun, kesalahan dan kebodohan membuat dirinya harus kehilangan mimpi indahnya.
"Haruskah gue menghampiri Bima?" lirih Sandra berbicara pada dirinya sendiri. Ia keluar dari tempat persembunyiannya kala Bima sudah tak terlihat batang hidungnya. "Bima sudah punya istri sekarang. Buat apa gue ikut campur," tukasnya mengimbuhkan. Hanya bisa menghela napasnya untuk semua ketidaknyamanan yang ia rasakan.
Ponsel berdering. Sandra sigap mengambil benda itu dari dalam tas kecil yang ia bawa. Matanya mulai melihat nama yang ada di layar ponselnya saat ini. Ia mengerutkan dahinya kala tahu nomor siapa yang membuat panggilan untuk Sandra. Dari rumah sakit. Tempat di mana sang ibunda di rawat selama beberapa bulan terakhir ini.
"Halo?" ucap Sandra membuka panggilan. Suara ramah yang ia berikan disambut hangat oleh seorang wanita di seberang ponsel.
"Benarkah ini dengan Nona Sandra Iloana, wali dari pasien Nyonya Intan?"
Sandra berdeham lirih. Ia mengangguk lalu memberikan sebuah jawaban dengan kayat yang singkat. Tak biasanya rumah sakit mengabari dirinya dengan membuat panggilan. Biasanya mereka akan menunggu Sandra datang atau siapapun yang menjenguk sang ibunda.
"Ada masalah dengan ibu?" tanya gadis itu dengan ragu. Hatinya mulai was-was saat ini. Entah mengapa, pikiran-pikiran bodoh dan kotor mulai menyelimuti hati Sandra. Ia tak tahu harus bagaimana lagi, tetapi jujur saja Sandra selalu takut kehilangan sang ibunda.
"Bisa datang ke rumah sakit sekarang, Nona?" tanya wanita yang ada di seberang ponsel. Sukses membuat Sandra memincingkan matanya. Benar, ada yang salah sekarang ini!
"Ada yang ...." Sandra mengentikan sejenak kalimatnya. Ia lupa kalau dirinya punya janji dengan seorang pria yang sudah menunggunya di dalam ruangan ini. Sandra tak bisa membatalkan semuanya begitu saja.
"Saya sedang berada di kampus, mungkin saya bisa datang setelah semua urusan dan kelas selesai. Katakan pada ibu, untuk sedikit lebih bersabar dalam—"
"Kami sangat mengharapkan kehadiran Nona di sini. Mungkin ini adalah kali terakhir Anda bisa berbicara dengan ibu Anda," ucapnya memotong. Kalimat itu sukses membuat seluruh bulu kuduk milik Sandra berdiri. Gadis itu tak bisa berpikir apapun saat ini. Tiba-tiba saja kepalanya terasa kosong dan pandangannya tak berarah. Ia tak bisa fokus dengan semuanya.
"A--apa yang ...." Sandra mulai meneteskan air matanya. Selalu saja begini! Kalau sudah pasal sang ibunda, Sandra terlalu lemah dan payah!
"Baiklah. Saya akan datang sekarang," tuturnya menutup panggilan.
... To be Continued ...