Andini dan Kiran duduk berdekatan, Andini diatas ranjang sementara Kiran duduk dikursi tempat Gibran duduk sebelumnya. Andini terlihat tertunduk malu, karena ketahuan pura-pura tidur dan mendengar ucapan Gibran, sementara Kiran terlihat tidak nyaman karena kini Gibran tau sosok Kiran yang sebenarnya.
Gibran menatap dingin ke arah keduanya, ia melipat tangannya didepan dada seperti seorang guru yang bersiap menghukum siswa yang nakal. Entah mengapa posisi ini terlihat sedikit tidak masuk akal, apalagi dengan status Andini sebagai guru Gibran disekolah.
"Jadi kau tadi mendengar semua ucapanku?" tanya Gibran, mulai menginterogasi Andini. Andini terdiam sesaat mencoba memikirkan jawaban yang tepat.
"Yah mungkin beberapa, aku tidak begitu mendengar. Percayalah pendengaranku tidak sebaik yang kau kira." kata Andini, ia berbicara dengan wajah panik namun mencoba untuk tetap tenang.
"Memang dia bilang apa?" bisik Kiran penasaran.
"Ssssttt, diamlah!" jawab Andini kesal.
"Awas saja sampai ada yang tau apa yang ku katakan tadi." Ancam Gibran. Ia lalu beralih pada Kiran, Kiran sontak tertunduk.
"Jadi kau menyuruh Andini untuk datang malam itu karena sudah ingin mengakhiri hubungan dengan ayahku?" tanya Gibran dengan sorot mata tajam.
"Jelas dong, mana mau aku menjalin hubungan dengan suami orang. Apalagi jika anaknya sebesar kau." kata Kiran jujur.
Gibran mengerutkan dahinya, ia seolah ragu dengan pernyataan Kiran. Disaat itu Andini langsung menyemprot Gibran, ia benar-benar memendam kekesalan selama ini karena sebutan pelakor.
"Kan? Benar kataku. Aku bukan pelakor seperti yang kau tuduhkan." seru Andini puas.
"Kau pun salah, karena mau saja disuruh olehnya datang menemui suami orang!" Gibran balik menyemprot Andini. Andini sontak melengos mendengar ucapan Gibran yang ada benarnya juga.
"Sudahlah. Toh semua kesalahpahaman ini sudah diluruskan." Seru Kiran dengan wajah senang.
"Siapa bilang sudah selesai?" Gibran terlihat menatap tajam. Membuat Andini dan Kiran menoleh saling berpandangan.
"Lalu maumu apa?" tanya Andini dengan ekspresi sebal.
"Apa kalian pernah berpikir apa yang aku lalui selama ini, sampai akhirnya bisa menjebak selingkuhan ayahku? Aku benar-benar berniat membuat wanita-wanita sepertimu jera karena sudah mengusik suami orang dan menyakiti hati keluarganya." kata Gibran dengan nada dingin, wajahnya bahkan tidak terlihat senang sama sekali. Ia seolah menyimpan luka mendalam terlihat dari ekspresinya.
"Kami berdua kan sudah minta maaf, toh ayahmu juga salah! Jangan hanya menyalahkan perempuan saja, orang tidak akan masuk kedalam rumah jika tuan rumah tidak membukakan pintu dan mempersilahkan tamu untuk masuk." kata-kata Andini menohok hati Gibran.
Gibran terdiam, disisi lain dia senang karena ternyata Andini bukanlah selingkuhan ayahnya, tapi disisi yang berbeda ia kesal dengan Andini yang mau-mau saja datang menemui ayahnya menggantikan temannya.
"Lihat saja apa yang akan ku lakukan padamu." Ancam Gibran pada Andini.
Ditengah rasa kesal dan syukurnya Gibran langsung berlalu pergi tanpa sepatah katapun keluar dari mulutnya, ia bahkan tidak merespon pertanyaan Andini yang menanyakan apa keinginannya sebenarnya.
"Kenapa sih dengan anak itu?" gerutu Andini sama kesalnya.
**
Andini terkesiap menatap rumah megah di hadapannya, tampak gerbang besar menyambut kedatangannya. Ia kembali mengecek tulisan di secarik kertas yang sejak tadi dipegangnya.
"Apa benar ini rumahnya?" tanya Andini.
Ia lalu menekan bel, tak berapa lama seorang pria paruh baya dengan pakaian satpam menghampirinya.
"Ada yang saya bisa bantu bu?" tanyanya ramah.
"Mmm, apa benar ini rumah Gibran?" Andini terlihat bertanya dengan ragu.
"Ohhh, den Gibran. Ibu siapa yah kalau boleh tau?" satpam itu mencoba mengkonfirmasi identitas Andini.
"Ahh, saya guru sekolahnya pak." jelas Andini, satpam itu mengangguk-anggukan kepalanya dan bergegas membukakan pintu. Andini menarik napas dalam sebelum melangkahkan kaki masuk ke pekarangan rumah megah itu.
"Aku tidak tau kalau ada rumah sebesar ini." gumam Andini, ia melihat beberapa pekerja tengah menyapu dan membersihkan halaman.
Andini berjalan cukup jauh untuk tiba di pintu utama rumah itu. Saat tiba didepan pintu, ia kembali menekan bel pintu. Sesaat kemudian seorang wanita paruh baya membukakan pintu untuknya.
"Selamat sore." sapa Dayana ramah.
"Iya selamat sore, bu Andini yah? Mari silahkan masuk. Den Miko juga sudah ada didalam." ujar seorang wanita paruh baya.
Andini sampai tidak bisa menduga sebanyak apa pembantu dirumah ini, ketika melihat betapa luas rumah Gibran. Andini terlihat memperhatikan isi rumah, langkahnya terhenti disebuah foto berbingkai yang cukup besar tergantung didinding.
Terlihat sosok pria yang tidak lain adalah Vino, wajah Vino di foto itu terlihat tidak jauh berbeda dengan wajahnya saat ini. Seorang anak laki-laki berusia kurang lebih 8 tahun dengan wajah ceria juga terlihat disana. Andini memanyunkan bibirnya, dia bisa menduga itu adalah Gibran. Wajah lucunya saat kecil seolah tidak mampu menepis kekesalan Andini pada anak itu.
Kini pandangannya terhenti di sosok seorang wanita yang berdiri disebelah Vino, wanita itu tampak tersenyum bahagia. Wajahnya juga terlihat begitu cantik dan anggun. Benar-benar wajah wanita kelas atas. Namun entah mengapa, Andini merasa sedih melihat wajahnya meski digambar itu ia menunjukan ekspresi bahagia.
"Sekarang jelas dari mana dia mewarisi wajahnya itu." gumam Andini.
"Bu Andini." panggil Bi Lestari. Andini bergegas mengikuti langkahnya.
"Bu Andini!" sapa Miko terlihat antusias ketika melihat Andini datang, ia tidak pernah seantusias ini hanya untuk mengikuti kelas tambahan mata pelajaran matematika. Andini tersenyum melihat Miko, dia tau Miko adalah anak yang baik.
"Dimana temanmu?" tanya Andini, rautnya memperlihatkan ketidaksukaan setiap kali mengingat Gibran.
"Ohh Gibran..."
Cccrrraaassshhh.
"Aaahhh.." teriak Andini kaget, ketika cipratan air menghujaninya. Pakaiannya terlihat sedikit basah. Miko terlihat kaget karena Gibran sengaja mencipratkan air kolam ke arah Andini.
"Kau yaaahhh!" Andini terlihat marah besar, ia langsung mencari keberadaan Gibran yang baru keluar dari kolam. Andini termenung, ia bisa melihat tubuh Gibran yang atletis, dada bidangnya terpampang nyata. Perut rata dengan otot tubuh yang terbentuk dengan sangat baik, Tubuh dan rambut Gibran yang basah benar-benar membuatnya terlihat gagah.
Ditambah celana renang sepaha yang ketat, tampak menjiplak bentuk bagian itu dengan sangat jelas. Andini spontan melihat bagian itu dengan tatapan takjub karena ukurannya. Andini yang sudah lama tidak melihat tubuh pria seseksi itu setelah bercerai dari Dimas sempat tertegun, sampai suara Miko membuatnya sadar dan langsung mengalihkan pandangannya.
"Bercandamu tidak lucu Gibran, kasian bu Andini jadi basah." Tegur Miko, ia kemudian beralih pada Andini untuk memastikan pakaian Andini masih bisa dipakai dengan nyaman.
Gibran menatap Andini dingin dan datar, ia meraih handuk dan langsung mengeringkan rambutnya. Gibran seolah abai dengan ucapan Miko. Lagi-lagi mata Andini menangkap bayangan Gibran yang terlihat begitu gagah bak pria dewasa.
"Apa benar dia anak SMA? Tubuhnya bahkan lebih baik dari tubuh Dimas." batin Andini, dia jadi membandingkan antara tubuh Gibran dan Dimas. Tapi kemudian Andini menggeleng-gelengkan kepalanya, menyadari pemikiran bodoh yang sempat menghinggapinya.
"Sudahlah, bagaimana jika kita mulai kelas tambahannya?" tanya Andini mencoba menekan emosinya sendiri.
"Aku ganti pakaian dulu Mik." kata Gibran, ia seolah tidak menganggap keberadaan Andini.
"Dia kenapa sih?" gumam Andini kesal.
"Biarkan saja bu, Gibran memang seperti itu. Moodnya suka berubah-ubah." jelas Miko.
Kelas tambahan itu berlangsung cukup lama, selama 2 jam Andini terus memberikan mereka latihan soal dan memberi penjelasan terkait apa-apa yang tidak mereka ketahui.
"Gibran, bagaimana bisa kau salah mengerjakan jenis soal yang sama sebanyak 5 kali? Apa penjelasanku kurang jelas?" Andini tampak geram, karena Gibran ogah-ogahan mengikuti kelas tambahan ini. Ditambah ia tidak memperhatikan semua penjelasan Andini membuatnya sulit menyelesaikan soal, berbeda dengan Miko yang bisa dengan mudah menangkap apa yang dijelaskan.
"Ibu saja yang tidak pandai dalam menjelaskan, makanya aku tidak bisa-bisa." Gibran berbicara dengan suara datar, ia bahkan tidak menatap mata Andini, Andini hanya syok mendengar Gibran mencemooh caranya mengajar.
"Huffffttt... kita sudahi saja kelas tambahan sore ini, Miko karena kau sudah paham kita ketemu dipertemuan minggu depan." ucap Andini yang dibalas anggukan paham oleh Miko.
"Dan kau... aku akan kembali kesini besok untuk menjelaskan materi ini sampai kau benar-benar paham dan mengerti." Imbuh Andini menunjukan kekesalannya.
Miko yang ada janji malam ini bergegas pamit, ia bahkan sempat menawarkan diri untuk mengantar Andini pulang. Andini memang tidak membawa kendaraan karena motornya rusak saat kecelakaan beberapa waktu lalu.
"Biar aku yang akan mengantarnya." Kata Gibran kepada Miko.
"Loh kenapa? Kan aku sekalian pulang. Daripada kau keluar lagi.." Gibran menatap Miko dengan tatapan yang hanya Miko saja yang bisa mengerti. Dia kini paham kalau temannya itu memang benar-benar sedang ada sesuatu dengan guru baru ini.
"Biar aku pulang dengan Miko saja." Andini langsung menengahi pembicaraan mereka.
"Ya ampun, maafkan aku bu Andini, aku lupa setelah dari sini aku harus menjemput mamaku di rumah temannya yang tidak begitu jauh dari sini. Sepertinya ibu harus pulang dengan Gibran." tandas Miko yang mengerti kemauan Gibran.
"Kalau begitu biar aku pulang sendiri saja." Andini berbalik pergi, tapi kemudian Gibran menarik tangannya. Membuat Andini kaget dan langsung menoleh menatap wajah Gibran yang datar.
"Aku bilang aku akan mengantarmu pulang." kata Gibran berkeras. Andini tertegun, saat itu juga ia seolah tersihir dengan tatapan Gibran.