Braaakkk!
Lisya menggebrak mejanya dengan keras, seluruh mata tertuju padanya. Namun seolah bisu, semua orang hanya berani melihat tanpa bisa menegurnya.
Sorot matanya memperlihatkan kemarahan yang membuncah, dia meremas liptint yang di peganginya sejak tadi. Merry terlihat ketakutan sendiri, padahal berita yang dibawa oleh Merrylah yang menjadi penyebab kemarahan Lisya.
"Sialan guru baru itu!" Umpatan pun turut keluar dari mulutnya.
"Aduh, Lisya jangan ngamuk disini dong."
"Bisa-bisanya guru baru itu menggoda Gibran!" Wajah Lisya merah padam, degan cepat ia berjalan keluar. Tentu saja tujuannya tidak lain untuk mencari Andini.
"Lisyaaa, kau mau kemana? Ya ampun!" Merry menepuk jidatnya sendiri, dia pun berlari mengikuti arah kepergian Lisya.
Berita tentang kemesraan Andini dan Gibran seketika menyebar di seantero sekolah, meski mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi tapi kekuatan penyebaran informasi tidak bisa terelakkan lagi.
Andini dan Gibran berdiri dihadapan Gracia, perbedaan ekspresi antara Gibran dan Andini jelas terlihat. Andini tertunduk malu juga merasa takut, dalam hati ia sudah bisa menduga bahwa mungkin ini akan menjadi hari terakhirnya mengajar disekolah ini.
'Ibu Gracia pasti memecat ku!' Batin Andini pasrah, ia menoleh ke arah Gibran yang terlihat begitu santai tanpa ada beban juga rasa penyesalan, mungkin itu karena dirinya tau bahwa tidak akan ada yang bisa mengeluarkannya dari sekolah milik ayahnya. 'Dasar anak nakal satu ini, ini semua gara-gara ulahnya tapi dia justru masih bisa bersikap sesantai itu.' imbuhnya berucap dalam hati.
"Apa kalian pikir ruangan guru itu tempat untuk berdua-duaan seperti pasangan kekasih?" suara Gracia menggelegar memenuhi seluruh ruangan kepala sekolah. Andini tertegun, ia syok mendengar ucapan Gracia yang mengindikasikan bahwa Andini dan Gibran tengah berpacaran di ruangan guru.
"Bu Gracia, maafkan saya sebenarnya yang terjadi tidak seperti—"
"Apa ibu Gracia bercanda? Aku tidak akan mengajak bu Andini berpacaran diruangan para guru itu!" sanggah Gibran, ia bahkan sengaja memotong ucapan Andini. Andini sempat kaget tapi akhirnya merasa bersyukur mendengar jawaban Gibran. Andini sempat takut jika Gibran berucap semau hatinya seperti yang biasa dilakukannya.
"Kalau bu Andini mau jadi pacarku, aku jelas akan membawanya ketempat yang seharusnya didatangi sepasang kekasih. Bukannya diruangan seperti yang ibu tuduhkan. Bukan begitu bu Andini?" Sambung Gibran.
Andini yang semula mengangguk-anggukan kepalanya saat Gibran berbicara, seketika terkejut dan langsung menoleh ke arah Gibran.
"Heh, apa-apaan bicaramu itu!" Bentak Andini.
Gracia terkejut mendengar ucapan Gibran, secara tidak langsung Gibran membenarkan bahwa ada hubungan lain antara mereka berdua.
"Jadi maksudmu kau ingin bu Andini jadi pacarmu? Begitu Gibran?" Pertanyaan Gracia langsung pada intinya.
"Tidak. Tidak bu Gracia! Maksud Gibran mana mungkin dia pacaran dengan seorang guru, apalagi sampai berpacaran diruang guru. Kalau pun dia punya pacar jelas dia akan membawa pacarnya ke tempat-tempat romantis. Bukan begitu Gibran?" Andini tersenyum lebar sembari menoleh ke arah Gibran, terlihat ia memberikan penekanan pada kalimat terakhir saat dirinya bertanya pada Gibran.
Gibran tertawa kecil mendengar ucapan Andini, penjelasan Andini bertolak belakang dengan maksud Gibran yang sesungguhnya. Andini memberi isyarat dari tatapan matanya, agar Gibran bisa berhati-hati dalam berbicara.
"Cukup!" Suara Gracia membuat Andini dan Gibran terdiam.
"Gibran, saya tau bahwa ayahmu adalah pemilik sekolah ini, tapi bermesraan dengan seorang guru bukan perbuatan yang sepantasnya." Nada suara Gracia jelas mengisyaratkan kemarahan. "Dan Ibu Andini, apa anda tau berapa lama ibu baru mulai bekerja di sekolah ini? Sudah berapa banyak masalah yang ibu timbulkan selama waktu itu?" ganti Andini yang menjadi sasarannya.
Andini tertunduk, semua yang dikatakan Gracia benar adanya. Ini kali kedua dia dipanggil keruangan kepala sekolah karena permasalahan yang menyangkut tentang Gibran.
"Maafkan saya bu, ini tidak seperti yang ibu pikir—."
Braakk! Pintu ruangan kepala sekolah itu terbuka dengan kasar.
Lisya tanpa ragu masuk ke dalam ruangan Gracia, mereka semua terkejut melihat Lisya yang langsung masuk begitu saja tanpa permisi. Meski Lisya sudah biasa keluar masuk ruangan ini untuk bertemu ibunya, tapi tetap saja kali ini tujuannya jelas berbeda.
"Ibu harus memecat guru baru itu!" Teriaknya dengan lantang, kemarahan menguasai dirinya.
"Lisya, apa-apaan ini! Kamu tidak seharusnya masuk kedalam ruangan seenaknya seperti itu!" Suara Gracia sama lantangnya.
Andini terkejut, ia mengenal siswa perempuan ini. Dia adalah siswa yang sama, siswa yang tidak sengaja menumpahkan minuman ke pakaiannya beberapa waktu lalu.
"Ohh kau kan?" Andini menunjuk dengan ekspresi tidak percaya.
"Apa ibu akan membiarkan guru yang tidak sopan dan berani berbuat seperti itu disekolah untuk tetap mengajar disini? Dia pasti sengaja menggoda Gibran." Lisya menatap garang ke arah Andini.
Andini melongo mendengar ucapan Lisya.
'Siapa yang menggoda siapa?' batin Andini tidak percaya mendengar tuduhan yang seenaknya ditujukan kepadanya .
Tiba-tiba Andini teringat kejadian saat itu, Andini mulai berpikir jika Lisya mungkin memang sengaja menumpahkan minuman itu kepadanya.
"Apa kau sengaja menumpahkan minuman itu kepadaku?"
Lisya tersenyum miring.
"Seharusnya yang ku siram itu bukan bajumu, tapi wajah murahanmu."
Seketika Gibran berdiri dihadapan Andini, seolah tengah berusaha melindungi dan membela Andini.
"Jaga bicaramu Lisya, aku tidak akan tinggal diam jika kau berani mengusik wanita ini!" Gibran menunjukan sorot mata tajam dan dingin membuat Lisya tercekat. Selama ini Gibran memang selalu bersikap dingin padanya, tapi ini kali pertama Gibran menunjukan sorot mata tajam dan penuh kemarahan kepadanya.
"Gibran.. Kenapa kau justru membela wanita itu?" Lisya menatap sedih pada Gibran, kali ini suaranya langsung merendah dan terdengar lembut.
"Kalian semua cukup!!" Gracia melepas kacamatanya, dipijitnya tulang hidung diantara kedua netranya sebagai tanda kepalanya yang sudah pusing dengan permasalahan ini.
"Lisya kamu keluar sekarang." suara Gracia mulai terdengar pelan.
"Tapi bu."
"Lisya! Apa kamu mengabaikan perintah mama?" kali ini Gracia memberi perintah bukan sebagai seorang kepala sekolah, tapi sebagai ibunda dari Lisya.
Lisya mengepalkan kedua tangannya, ia bahkan terlihat menghentak-hentakan kakinya saking kesalnya. Dengan berat hati dia keluar dari ruangan itu.
"Gibran, sebagai hukuman kau akan di skors selama 1 minggu." Gracia mulai memberikan ultimatum. "Lalu bu Andini.." Gracia diam sejenak, seolah mempertimbangkan hukuman yang tepat untuk Andini. Andini tertunduk siap menerima semua konsekuensinya.
"Aku akan membicarakan hal ini terlebih dahulu kepada tuan Vino." Ungkapnya.
Gibran tercekat mendengar ucapan Kepala sekolah, perasaan heran menyelimuti hatinya saat itu juga .
"Kenapa anda harus membicarakan masalah bu Andini kepada ayahku?" tanya Gibran tak bisa menahan rasa penasarannya.
"Karena seperti itulah pesan beliau, dia tidak membiarkan aku mengambil keputusan apapun terkait bu Andini tanpa seizinnya." jelas Gracia.
Andini yang semula tertunduk lesu, kini mulai mengangkat kepalanya dan menatap bingung ke arah Gracia. Seolah tidak mengerti dengan maksud ucapannya. Disisi yang berbeda Gibran justru terlihat tidak senang, ia tersenyum miring. Kedua tangannya mengepal erat dengan kemarahan yang membludak di dadanya.
'Ternyata benar informasi itu!' ucap Gibran dalam hati.