webnovel

Isi Hati Gibran

Vino mengangkat tangannya, Tirta sontak bersiap untuk menahan Vino jika saja dirinya kehilangan kendali. Sementara Gibran, tidak sedikit pun memperlihatkan rasa takut pada ayahnya. Andini dan Dimas hanya bisa melihat apa yang akan terjadi diantara ayah dan anak tersebut tanpa bisa ikut campur.

Tapi ternyata dugaan mereka salah, Vino hanya memegang pundak Gibran. Ia sedikit memberi tekanan pada genggamannya, Vino bahkan tetap bisa menunjukan senyuman diwajahnya. Tapi Gibran bisa membaca maksud Cengkraman itu, hal itu seperti pesan tersembunyi dari Vino untuk Gibran. Pesan itu jelas berisi "aku akan membiarkanmu kali ini."

"Sebaiknya kau kembali kesekolah, bukankah ini masih jam sekolah. Ibu Andini tidak membutuhkan siswanya disini." kata Vino dengan senyuman diwajahnya. Gibran hanya terdiam, matanya menunjukan kebencian. Ia bahkan terlihat mengepal erat tangannya karena menahan emosi pada ayahnya.

Tirta sontak menghela napas lega, ia tidak bisa membayangkan jika Vino dan Gibran membuat keributan disini, hal itu tentu akan memunculkan rumor negatif untuk keluarga Darendra. Vino lalu berbalik menghadap ke arah Andini.

"Aku permisi bu Andini, jangan sungkan mengatakannya jika ibu membutuhkan sesuatu, aku pastikan bu Andini akan mendapat perawatan terbaik selama berada dirumah sakit kami." Vino terlihat serius dengan ucapannya, ia lalu pergi meninggalkan ruangan tersebut diikuti oleh Tirta dibelakangnya.

Andini terlihat tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya, seorang Vino memberikan perhatian kepadanya. Tapi Andini berpikir bahwa mungkin saja ia melakukan itu karena Andini adalah salah satu pengajar disekolah miliknya, atau mungkin saja karena dia tau bahwa Andini adalah sahabat Kiran wanita yang dulu menjadi kekasihnya.

Rasa herannya membuat Andini tidak memperhatikan Gibran, Gibran tidak mengatakan apapun dan langsung pergi meninggalkan ruangan. Andini yang melihat Gibran pergi berniat memanggil dan menahannya, tapi ia urung melakukannya. Dia bisa melihat ekspresi kemarahan diwajah Gibran, itu sebabnya dia membiarkannya pergi begitu saja.

"Mungkin dia butuh waktu untuk sendiri." batin Andini mencoba memahami situasi ini.

"Sebenarnya ada hubungan apa antara kau dengan ayah dan anak itu? Apa kau tau siapa yang baru saja datang melihatmu barusan?" Dimas mencerca Andini dengan pertanyaan yang sudah menggantung di benaknya sejak tadi.

"Bukan urusanmu!" jawab Andini, dia langsung membaringkan tubuhnya dan mencoba memejamkan matanya, tak lupa ia mengambil bantal untuk menutupi bagian wajahnya.

"Andini aku serius bertanya." Dimas terus memaksa Andini untuk menjawab pertanyaannya.

"Aku mengantuk, bisakah kau pergi agar pasienmu ini bisa istirahat?" Kata Andini dengan mata yang tetap terpejam. Dimas terlihat kesal dengan sikap dingin Andini padanya, dengan cepat ia berlalu pergi meninggalkan ruangan tempat Andini dirawat.

Suara pintu yang tertutup dengan sedikit keras membuat Andini bisa menduga bahwa Dimas benar-benar sudah pergi. Perlahan ia membuka matanya, Andini diam membisu, pandangannya kini bahkan menatap lurus dan kosong. Seolah ada sesuatu yang membebani hatinya saat ini.

**

Gibran berjalan dengan langkah tegas, ia mencoba mengendalikan emosi didalam hatinya. Ia berjalan hingga dirinya tiba didepan pintu kamar tempat ibunya dirawat. Gibran melihat bayangan ibunya dari balik kaca pintu ruangan. Ibunya tengah duduk diranjang dengan tatapan kosong tertuju ke arah jendela, ranjang itu sengaja di setting berada tepat disamping jendela, agar ibunya bisa melihat pemandangan diluar.

"Apa ayahku singgah kesini untuk melihat ibu?" tanya Gibran dengan tanpa mengalihkan pandangannya.

"Tidak tuan." Ucap petugas keamanan yang memang bertugas menjaga dan memastikan kondisi ibunya baik-baik saja. Penyakit seperti ibunya membutuhkan orang yang siap mengawasinya 24 jam.

Gibran menatap sendu ke arah ibunya yang terlihat begitu menyedihkan. Gibran ingin membawa ibunya pulang kerumah, tapi ayahnya menolak dengan alasan perawatan dirumah sakit jauh lebih baik. Ditambah rumah sakit itu adalah rumah sakit milik keluarga mereka sendiri.

"Tolong jaga ibuku dengan baik." kata Gibran sebelum pergi.

"Baik tuan."

Gibran yang tadinya berjalan dengan penuh emosi, kini tampak berjalan gontai dengan kaki yang lemas, hatinya sakit melihat kondisi keluarganya. Gibran lupa sejak kapan kekacauan ini terjadi, ia masih ingat meski tidak sehangat keluarga lainnya tapi keluarga mereka cukup bahagia saat itu.

Sepertinya semua berubah sejak kakek Gibran meninggal dunia, saat itu ayahnya yang begitu lemah lembut dan penyayang mulai merubah sifatnya, ia bahkan mulai berselingkuh dengan beberapa wanita hingga membuat ibunya depresi seperti saat ini.

Tak terasa langkah Gibran berakhir di ruangan Andini, ia tidak tau kenapa langkahnya membawanya kesini. Padahal Gibran berniat untuk pulang kerumahnya. Ia sempat ragu untuk masuk, tapi kemudian ia memilih untuk masuk kedalam saat melihat Andini berbaring sambil menutupi wajahnya.

Andini sengaja menutupi wajahnya dengan bantal, karena ia tidak bisa tidur dengan cahaya yang terang. Tapi meski demikian, ia tetap Tidak bisa tertidur. Suara pintu yang terbuka membuat Andini kaget.

"Ahh, siapa lagi sih yang datang?" batin Andini, ia memilih untuk tidak melihat siapa sosok yang masuk keruangannya. Jika itu Dimas atau Gibran ia enggan merespon dua manusia itu.

"Apa kau tidur?" tanya Gibran.

"Ternyata benar si bocah tengil." ucap Andini dalam hati.

"Sepertinya benar dia tidur." Gibran menjawab pertanyaannya sendiri.

Andini mendengar Gibran menghela napas berat, seolah dirinya baru saja mengalami masalah yang berat.

"Seandainya saja dia tidak berbuat seperti itu? Apa ibuku bisa tetap seperti dulu? Arghh, Entah kapan ibu bisa kembali sehat seperti dulu lagi. Sial! Sial! Siaaal!." gumam Gibran, ia spontan mengeluarkan ucapan tersebut. Gibran tidak tau kenapa ia justru berbicara didepan Andini yang dilihatnya tengah tertidur, tapi tiba-tiba ingin rasanya ia mengungkapkan tekanan yang selama ini menekan hatinya.

"Haiss, Aku bahkan tidak tau harus bercerita dengan siapa." kali ini suara Gibran sepintas terdengar bergetar. "Gibran harus apa sekarang bu?" Imbuhnya dengan suara bernada frustasi. Andini tertegun mendengar kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh Gibran.

"Apa dia menangis?" tanya Andini dalam hati.

"Huufff, Kebencian dan rasa bersalah ini benar-benar membuatku frustasi." Kata Gibran. Ia menangkupkan kepalanya di pinggir kasur tempat Andini berbaring. Beberapa kali Andini mendengar tarikan napas berat dari mulut Gibran. Andini termenung, ia mulai penasaran dengan kehidupan Gibran. Seberat apa beban anak berusia 16 tahun ini.

Yang Andini tau ayah Gibran terlibat skandal perselingkuhan dengan sahabatnya Kiran, dan seperti yang pernah diucapkannya, ibunya kini sedang sakit. Andini paham betul sebagai seorang guru, beberapa anak memang besar Dilingkungan yang jauh dari keharmonisan keluarga. Tak jarang mereka menjadi korban dari keegoisan orangtua. Andini bahkan pernah menemukan kasus anak yang terlibat pergaulan bebas sebagai bentuk pelampiasan atas masalah dirumahnya, itu sebabnya mereka membuat ulah agar bisa lebih diperhatikan oleh orangtua mereka.

Cukup lama Andini larut dalam pikirannya, sementara Gibran hanya diam tak bersuara. "Apa dia pergi? Tapi sepertinya tidak ada suara pintu terbuka." batin Andini. Ditengah keheningan itu, tiba-tiba Kiran datang untuk menjenguk Andini. Ia tidak memperhatikan keberadaan Gibran dari balik kaca pintu ruangan sebelum masuk ke dalam. Gibran yang mendengar suara pintu terbuka langsung mengangkat kepalanya, posisi nya tepat berada disamping ranjang Andini.

"Siapa kau?" tanya Gibran, matanya terlihat sayu seperti orang yang baru bangun tidur.

Kiran melihat Andini menutup wajahnya dengan bantal. Sesaat kemudian ia mulai berpikir.

"Jangan-jangan.." batin Kiran menebak-nebak.

"Apa kau temannya?" tanya Gibran lagi.

"Maaf sepertinya aku salah kamar." Kiran perlahan melangkah mundur, ia bergegas untuk pergi. Tapi Andini yang mengenali suara Kiran langsung berteriak membuat Kiran dan juga Gibran terkejut mendengar suaranya. Ia seketika menyingkirkan bantal itu dari wajahnya.

"Kau mau kemana? Kali ini jangan coba-coba untuk kabur Kiran." itulah

suara teriakan dari Andini, ia tau sahabatnya itu pasti akan kabur jika tau bahwa anak Dihadapannya ini adalah Gibran.

"Kau? Sejak kapan kau bangun?" tanya Gibran yang masih terkejut, Andini hanya diam. "Jangan-jangan sejak tadi kau..?" Gibran terlihat panik, karena itu artinya Andini mungkin mendengar semua ucapannya tadi. Andini tidak menjawab dan langsung memalingkan wajahnya dari Gibran.

Kiran menatap heran ke arah keduanya, ia merasakan atmosfer yang berbeda diantara Andini dan Gibran. Keduanya tidak terlihat seperti guru dan murid pada umumnya.

"Dasar kau ini.." Gibran terlihat kesal, tapi sebelum Gibran sempat meluapkan amarahnya Andini langsung mengalihkan pembicaraan.

"Hey Kiran, jelaskan pada bocah ini apa yang sebenarnya terjadi. Aku sudah muak mendengarnya menyebut ku dengan sebutan pelakor." seru Andini sambil melirik tajam ke arah Gibran. Gibran yang mendengar ucapan Andini langsung mengalihkan pandangan ke arah Kiran.

"Kiran?" Gibran terlihat kebingungan.