Andini berjalan keluar rumah, ia hendak berangkat kekantor lebih lambat. Sudah dua hari dirinya meminta izin sakit dan tidak masuk mengajar. Rasanya menyembuhkan trauma karena kejadian waktu itu tidaklah mudah.
"Haaahh, aku bahkan harus minum obat tidur agar tidak terbangun karena mimpi buruk." Gumamnya dengan wajah yang masih kusut dan pucat.
Baru saja keluar pagar rumah sosok yang tidak asing mengagetkannya. Sosok itu melempar senyum ke arahnya, Melisa sempat tersentak karena mengira itu adalah Daren.
"Ehemm, apa kau sudah sehat?" Tanya Gibran yang terlihat canggung dihadapan Andini.
"Sedang apa kau disini?" Tanya Andini terlihat tidak senang.
"Aku? Tentu saja aku ingin menjemputmu." Kata Gibran jujur. Andini memutar bola matanya dan menarik napas dalam. Ia seolah enggan menerima tawaran itu.
"Aku bisa naik bus. Kau duluan saja." Sahutnya dan langsung berlalu pergi tanpa memperdulikan Gibran. Gibran kaget mendengar Andini menolak ajakannya. Dia pikir tidak ada wanita yang tidak senang naik di mobilnya yang nyaman dan dingin itu.
"Kalau begitu, aku akan ikut naik bus bersamamu." Seru Gibran sambil mengikuti langkah Andini. Seketika Andini berbalik tanpa aba-aba. Membuat Gibran spontan menghentikan langkahnya. Wajah mereka kini hanya berjarak beberapa centi saja.
'Sial! Ini.. terlalu dekat.' Batin Andini menyalahkan dirinya sendiri yang langsung berbalik tanpa memperhitungkan keberadaan Gibran yang berjalan tepat dibelakangnya.
Nafas Gibran tertahan, jantungnya seperti tengah berloncatan. Debarannya bahkan bisa dirasakannya dengan jelas. Wajah cantik Andini bisa dilihat dengan begitu dekat sekarang. Ia hanya bisa diam mematung.
"Jangan macam-macam. Untuk apa kau naik bus kalau kau punya kendaraan?" Sergah Andini, membuat Gibran langsung memutar otak untuk menyanggahnya.
"Ma—macet! Jalanan tadi sangat macet. Bukankah lebih baik naik bus? Bisa sampai dengan cepat."
"Ck, jangan bohong. Memangnya sepagi ini jalanan bisa macet! Kota kita tidak seramai ibu kota tau!" Sahut Andini. "Sebaiknya ambil mobilmu dan segera berangkat ke sekolah." Perintahnya kemudian. Ia lalu berbalik untuk melanjutkan langkahnya.
Andini menghela napas, tangannya sampai berkeringat dingin. Dipeganginya bagian dadanya seolah memeriksa jantungnya sendiri yang masih berdebar kuat.
'Huhhh, semoga saja dia tidak mendengar suara jantungku!' Doa Andini dalam hati.
Andini juga merasa gugup, tapi kemudian dia mencoba tetap bersikap tenang dan dingin didepan Gibran. Untung saja dia bisa mengontrol ekspresinya dengan baik.
Sementara Gibran masih terdiam dengan wajah yang memerah seperti kepiting rebus. Pipinya bahkan terasa panas, dipeganginya pipinya yang merona itu.
"Ya Tuhan, apa aku mengidap penyakit tertentu? Wajahku bahkan terasa panas sekarang." Gumam Gibran pelan. Saat sadar Andini sudah berjalan jauh didepannya.
"Andini tunggu!" Teriak Gibran dan langsung berlari menyusulnya.
Gibran menatap heran melihat banyaknya orang di halte bus, ini kali pertama dia naik kendaraan umum selain taksi tentunya.
"A—apa kau yakin mau naik bus?" Tanyanya lagi dengan wajah ragu.
"Hmm, kalau kau tidak yakin sebaiknya kau kembali dan mengambil mobilmu." Sahut Andini datar. Gibran menelan Salivanya, jika ia pergi begitu saja bisa-bisa Andini akan mencap dia sebagai seorang pecundang.
"Tentu saja aku akan ikut bersamamu, aku hanya khawatir jika kau kepanasan saja." Elaknya.
Andini tersenyum kecil, dia tau kalau Gibran sebenarnya sedikit tidak nyaman dengan banyaknya orang yang akan naik kedalam bus.
"Apa kau pernah naik bus sebelumnya?"
"Bel.." Gibran sempat ingin mengatakan yang sejujurnya, tapi karena gengsi dia akhirnya memilih berbohong.
"Tentu saja sudah, memangnya ada orang didunia ini yang tidak pernah naik bus?" Ucapan Gibran terdengar yakin, tapi Andini tidak mudah dibohongi. Dia tau kalau Gibran tengah berbohong.
Sesaat kemudian sebuah bus berhenti dihadapan mereka. Orang-orang mulai ramai berdesak-desakan untuk naik. Tentu saja mereka berebutan untuk mendapatkan kursi. Gibran tercengang melihat pemandangan itu, saling berdempetan hanya untuk naik kendaraan umum sungguh hal yang paling konyol baginya.
"Jaga langkahmu." Pesan Andini.
Tapi seolah terpanah dengan apa yang dilihatnya saat ini, Gibran justru hanya diam mematung dan fokus memperhatikan sekeliling.
"Hey, kau mau ketinggalan bus? Kalau sampai ketinggalan kita bisa terlambat kesekolah!" Teriak Andini dan langsung menarik tangan Gibran. Gibran kaget melihat tangannya yang digandeng oleh Andini. Wajahnya seketika memerah, dan ada senyum kecil terukir di bibirnya.
"Ya ampuuun, apa-apaan tadi? Aku hampir jatuh tau!" Bisik Gibran ketika mereka sudah ada didalam bus.
"Huhh, diamlah! Gara-gara kau lambat naik kita jadi tidak dapat kursi. Apa kau tau lelahnya berdiri selama setengah jam didalam bus?" Protes Andini, Gibran seketika terdiam dan tidak berkutik.
Kini dia mulai memperhatikan isi bus. Dirinya berniat mencarikan kursi untuk Andini. Setiap kali bus berhenti dia selalu melihat ke arah orang yang akan keluar. Tapi yang justru turun dari bus adalah mereka yang juga tidak mendapatkan kursi seperti dirinya. Kaki Gibran mulai terasa pegal berdiri lama dibus, jika bisa ingin rasanya dia duduk dan mulai meregangkan kakinya.
"Ohh itu.." Gibran spontan menuju ke arah kursi yang kini kosong. Tapi baru saja akan duduk, seorang ibu hamil mendahuluinya.
"Maaf dek, saya sedang hamil." Kata wanita itu dengan tatapan mengiba. Gibran hanya bisa mengangguk pasrah dan kembali ke sebelah Andini.
"Ppffffttt.." Andini terlihat menahan tawa. "Apa kau sebegitu inginnya duduk?" Ejek Andini. Gibran mendengus sebal dan tidak menjawab pertanyaan Andini.
"Aku bisa mencarikanmu kursi, tapi.."
"Tapi apa?" Tanya Gibran.
"Tapi kau harus pura-pura jadi anak yang penyakitan, beberapa orang pasti iba dan mau memberikanmu kursi. Hahaha." Tawa Andini kembali membahana, berbanding terbalik dengan Gibran yang kesal dan memanyunkan bibirnya.
Beberapa menit kemudian dua orang lainnya turun dan menyisakan dua kursi kosong. Bersamaan dengan itu tampak sepasang lansia juga baru saja naik kedalam bus. Gibran terlihat girang karena kursi yang kosong ada dua, itu artinya dia dan Andini bisa duduk bersama. Tapi baru saja menempelkan bokongnya ke kursi suara Andini membuatnya kaku seketika.
"Oma, silahkan duduk disini." Kata Andini yang dibalas senyuman penuh syukur dari wanita tua itu.
Kini Andini menatap tajam ke arah Gibran yang duduk dikursi sebelahnya. Pria tua dan wanita tua itu juga ikut menatapnya dengan tatapan memelas.
'Jangan berikan kursimu itu Gibraaaannn! Tidak mudah mendapatkan kursi kosong ini. Ingat itu!' Teriak Gibran dalam hati.
"Terimakasih yah nak." Kata pasangan lansia itu, Andini tersenyum manis. Berbeda sekali dengan tatapan tajam yang sebelumnya ditujukan ke Gibran karena menolak memberikan kursi untuk si pria tua. Saat ini Andini bahkan menyenggol lengan Gibran agar ikut membalas senyuman pasangan lansia itu. Dengan terpaksa Gibran menunjukan senyumannya.
"Huufffftt..." Gibran membuang napas pelan.
"Kau jago berkalahi tapi tidak kuat berdiri lama di bus."
Andini lagi-lagi mengejek Gibran, membuat Gibran semakin kesal saja.
"Haahh, siapa bilang aku tidak kuat. Lihat, aku bahkan bisa berdiri tanpa berpegangan saking kuatnya berdiri lama." Katanya mulai unjuk kebolehan.
Ckiiiiitttt!
Tiba-tiba bus berhenti mendadak karena ada kucing yang melintas di jalan, semua orang berpegangan kuat untuk menopang tubuh mereka, kecuali Gibran tentunya. Seketika tubuhnya limbung kearah Andini, Andini yang kaget sontak menangkap tubuh Gibran. Gibran yang tanpa persiapan justru tanpa sadar tangannya mengarah ke bagian dada Andini. Tangannya bahkan bisa merasakan dua benda kenyal dan padat itu.
Wajah Andini seketika memerah, dia bisa merasa jelas sentuhan itu. Mata mereka beradu, sementara Gibran terlihat sama syoknya.
"Sso—sorry." Teriak Gibran panik.